Senin, 02 Juli 2007

Rangking: Satu Idealisme atau Kajian “Semiotika” Akademis?

Kemarin siang aku dan orang tua pergi ke Garut untuk mengambil rapot. Jalanan macet, dan udara panas menyengat sampai otak. Sesampainya di Garut, aku disambut rentetan angka di buku rapotku yang, intinya mereka membentuk angka 7 pada kolom paling bawah. Aku rangking 7! Sesaat ku lihat raut wajah orang tuaku yang sepertinya akan meleleh, bukti yang berteriak sangat keras bahwa mereka kecewa. Aku hanya bisa tersenyum, bahkan mungkin ingin tertawa. Aku tak masuk 3 besar kali ini. Mungkin kecewa, atau sebaliknya, aku bangga. Entahlah.

Lantas orang tuaku bercerita dengan banyak orang di luar. Walau tak ku kenal, tapi kadang aku bergabung dengan mereka. Dan pertanyaan yang harus ku jawab dari mereka adalah, ”Rangking berapa sekarang?” Membuatku sedikit risih.

Mungkin ini adalah hasil dari kampanye anti rangkingku atau entah apa namanya. Akhir-akhir ini ku benar-benar tak peduli akan deretan angka-angka di buku biru itu. Dan memberitahukannya juga pada orang lain. Seringkali ulangan harianku juga jelek, tapi ku hanya tersenyum. Ku benar-benar tak peduli.

Ku hanya tak habis fikir bagaimana satu angka dapat mengubah paradigma orang-orang secara signifikan. Tiba-tiba saja seseorang bisa berteriak kegirangan atau sebaliknya. Hanya karena satu angka.

Hanya menurutku ini kebanyakan tak lebih seperti struktur tanda-tanda antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified) dalam kajian semiotika. Singkat saja, salah satu fungsi dari semiotika adalah mengaburkan makna itu sendiri (sebentar, ini bukan berarti sebuah kuliah kelas ilmu sosial, hanya saja ku tak menemukan istilah lain). Dan ini terjadi pada dunia akademis. Orang-orang begitu tergila-gila akan rangking, sedang kebanyakan mereka tak tahu apa makna di balik rangking itu sendiri. Maksudku, kita terlalu berambisi besar untuk meraih sebuah angka dalam buku rapot, tapi kita tak tahu untuk apa angka itu, dan apa makna dari angka itu.

Dalam prosesnya, kita belajar siang malam dan menggeluti setumpuk buku dalam sekejap ketika THB, untuk mendapatkan satu angka. Dan tumpukan buku yang kita hadapi hanya kita siapkan untuk beberapa menit waktu ulangan, selebihnya, terserah. Seringkali ingatan tadi malam menghilang begitu saja setelah selesai ulangan. Dan kita tak peduli, yang penting nilainya bagus, dan rangkingku memuaskan. Hei, apa ini? Bukankan angka-angka yang berjejer di rapot itu seharusnya mencerminkan bahwa kita memang mempunyai kemampuan, dalam Kimia katakanlah. Tapi kenyataannya, makna dari rangking itu sekarang sudah begitu kabur, sehingga kita tak sadar bahwa kini rangking tersebut menggambarkan orang yang ingatannya kuat dalam semalam. Sebagian juga menggambarkan orang yang begitu rapi, sehingga kertas contekan di kartu ujiannya tidak terlihat pengawas.

Tapi ini bukan berarti kampanye untuk serta merta menganjlokkan rangking rapot kita, sama sekali bukan. Ini hanya keprihatinanku bahwa kenyataan yang terjadi sekarang adalah demikian. Kita begitu terbuai dengan angka-angka ”palsu” yang didapat dari kerja semalaman. Aku hanya ingin mengatakan kembali bahwa kia ke pergi ke sekolah untuk belajar dan mengetahui banyak hal, bukan untuk bermain-main dan dalam satu malam menumpukkan buku untuk mendapatkan satu angka. Kita rangking satu karena memang kita tahu banyak hal, bukan karena ingatan sementara yang tiba-tiba saja lenyap setelah ulangan.

Wali kelasku sering panik dan membuat panik semua orang ketika ia melihat nilai di bawah tujuh, kemudian dia meminta kami untuk menghubungi guru yang bersangkutan agar nilainya ditambah. Bagaimanapun caranya. Katanya, kalau nilainya kurang dari tujuh, berarti tidak bisa ikut PMDK. Dari dulu ia selalu banyak berpidato tentang PMDK, seolah semua hanya bisa masuk universitas lewat jalur PMDK. Lantas, kenapa harus PMDK? Kenapa ia tidak pernah sekalipun menyebut kata SPMB, atau tes masuk lainnya yang murni dari kemampuan sehingga murid-muridnya bisa lebih bersemangat dan mempunyai daya kompetitif tinggi? Kenapa banyak orang harus lelah menyalin jawaban LKS orang lain untuk mendapat angka bagus? Kenapa banyak murid sekolah kini berjuang untuk mendapat sebuah angka, bukan untuk mengetahui sesuatu? Entahlah.

The Everlasting Memories, FIKIR 2007

Untuk keributan yang dulu pernah kita buat…

Kapan lagi kita rapat dan berbagi kegaduhan seperti 4 bulan lalu? Kapan lagi kalian membuat acara kudeta dengan slogan oli turun BBM naik? Kapan lagi kita bersama-sama membereskan kursi aula, menata rangkaian bunga, dan menghias sepeda untuk acara penyambutan? Kapan lagi... entahlah, akhirnya kita telah melaluinya. Ini telah selesai. Kita telah benar-benar membuat FIKIR yang berbeda dan, hebat.

Malam itu benar-benar melelahkan. Kau, ku, kita semua begitu ngantuk dan capek setelah semuanya selesai. Karena bukan hanya beberapa jam kita habiskan untuk persiapan acara, tapi kita telah memulai semuanya sejak 6 bulan lalu. Dengan keributan, keegoisan, dan kerjasama. Sebuah harga yang tidak sedikit. Dan karena itulah ku tak ingin semua ini berlalu begitu saja, hanya beberapa jam. Ku ingin kita membuka kembali file-file yang dulu pernah kita buat, setidaknya kita masih bisa merasakan keributan dan perdebatan dulu.

Berawal dari rapat pertama siang itu. Udara begitu panas dan membuatku –dan mungkin kalian juga– tak begitu konsentrasi. Suasana begitu gersang, dan ku harus menghadapi teman-teman baru di seksi acara. Dengan karakter baru pula tentunya. Singkat cerita, rapat berlangsung begitu kacau, dan kita tak menemukan tema yang pantas. Semua berjalan menurut fikirannnya masing-masing. Ku, kalian, kita benar-benar pusing. Setidaknya untuk pertamakali.

Lantas, kita putuskan untuk mengulur waktu rapat. Sampai suatu malam yang menegangkan–entah ku lupa hari apa– ku dan teman-teman putera mengumpulkan sebesar mungkin keberanian untuk rapat di kelas puteri. Meski mungkin akan begitu berat sangsinya jika ketahuan. Rapat berlangsung begitu tenang, meski suasana egois masih terasa kental. Dan dari sana, mungkin untuk pertama kalinya ku kibarkan bendera perang dengan makhluk berinisial I yang juga baru ku kenal. Dari sana pula kita memulai keributan panjang, kau, aku, semuanya.

Kalian pasti masih ingat acara kudeta tempo lalu. Saat kalian tak puas dengan kepemimpinan seorang Amalul. Lalu kalianpun membuat spanduk dengan berpuluh slogan di sana, yang kalian kibarkan di kelas waktu itu. Kelaspun menjadi begitu panas, tak terkendali. Walau akhirnya Amalul tetap menjadi ketua FIKIR.

Haripun berganti, melewati rentetan waktu.

FIKIR tinggal beberapa hari lagi. Kitapun makin sering melakukan rapat, entah di kelas, ataupun di depan rumah Bu Bacih dengan kewaspadaan tingkat tinggi tentunya. Karena saat malam begitu menyelimuti rapat kita, ancaman itu pernah benar-benar datang. Sesosok berinisial A mulai menampakkan batang hidungnya dan kitapun lari tunggang langgang sambil tertawa.

Akhirnya waktunyapun tiba. Saat di mana kita bisa buktikan setiap tetes keringat kita. Kepada Kabid Ekstrakulikuler, yang begitu kerasnya membentak kita tempo hari. Kepada kepala sekolah puteri yang banyak mempermasalahkan dana dan tema, kepada kepala sekolah putera yang sejak dulu selalu menjadi ancaman terbesar saat rapat, dan kepada seluh penghuni DA, bahwa inilah kita. Kelas 4 putera dan puteri yang entah bagaimana kalian anggap.

Tapi tak selancar itu. Banyak masalah baru yang muncul sebelum acara. Listrik yang tiba-tiba mati, tidak ada lampu sorot, laptop yang tiba-tiba tak berfungsi, waktu yang ngaret, sampai pada pemateri yang –katanya– kurang ganteng. Kitapun panik, bahkan ada yang meangis.

Tapi ternyata kepanikan itu tak berlangsung lama. Dugaan-dugaan gila itu lenyap ketika tiba saatnya acara inti. Ternyata seseorang yang kita anggap dengan fikiran gila itu benar-benar hebat. Semua terdiam, acara begitu lancar dan sukses. Benar-benar di luar dugaan.

Kitapun berpelukan, bahkan sebagian ada yang menangis setelah acara selesai.

Dan kini, semua telah berakhir. Kita tak perlu lagi ribut mempermasalahkan tema, acara penyambutan, atau pemateri. Kini tak ada lagi rapat, meet, atau perdebata kecil di telefon dan e-mail. Semua telah berlalu. Lantas, kapan lagi...

Kenapa dengan DA?

Kenapa Dengan DA?

Sore itu huan begitu lebat. Aku dan teman-teman belum puas mengerumuni jendela asrama HIT. Menunggui satu dua santri puteri yang lewat, dan meneriakinya dengan banyak celotehan. Atau sekedar memanggilnya, tanpa tahu kenapa. Tapi biasanya kreatifitas kami muncul saat ada yang merespon panggilan kami, ya untuk menitipi salam, atau sekedar menjailnya.

Tapi hujan begitu lebat. Tak ada puteri yang pergi ke koperasi, orang-orangpun jarang. Biasanya walau tak ada puteri yang lewat, kami tetap tak kalah berisik untuk meneriaki teman putera sendiri jika kebetulan ia terlihat dari jendela. “Sedikit” ejekan dapat membuat kami ceria. Tapi kini jalan benar-benar sepi, mungkin sekarang hujanlah yang sedang meneriakiku dan teman-teman. Sama berisiknya.

”Boring euy, euwuh job!” spontan temanku berceloteh, sambil menarik kepalanya dari jendela dan merebah di atas kasur.

”Heueuh, teu jiga baheula.” yang lain menjawab. Sedikit-sedikit kamipun meninggalkan jendela, dan semua tiba-tiba saja berkumpul di kasur asrama HIT.

”Ah, ayeunamah DA teh kieu nya! Teu jiga baheula!” sebuah suara memulai pembicaraan panjang dan–mungkin–cukup serius. Emif meneruskan kata-katanya, dan dapat kulihat tatap kecewanya yang begitu pias. ”Baheulamah rame teh!”

Sore itu benar-benar mengingatkanku dan teman-teman pada kenangan kami dulu. Saat kami memulai perjalanan panjang di kehidupan yang aneh ini.

”Baheulamah resep teh ngumpul di masjid jeung kakak kelas ngomongkeun masalah agama.” Kemal yang dari tadi terdiam kini tak kalah antusias meluapkan kata-katanya.

”Heueuh, da ayeunamah mmasjid teh dipisah.” Galih menjawab.

Entah, sekarang aku dan teman-teman lebih serius membicarakan tentang kenapa dengan DA daripada ada apa dengan DA. Setelah akhir-akhir ini kami rasakan semua benar-benar berubah. Oke, mungkin agar lebih jelas harus ku obrolkan satupersatu ”prubahan-perubahan” itu.

Mungkin masjid yang harus menjadi sorotan utama. Tempat di mana ku memulai titik balik dari sekolah dasar yang begitu lugu, menuju proses kedewasaan yang hebat. Ku mulai mengenal apa itu agama, apa itu filsafat, apa itu bahasa dan banyak hal besar. Dari masjid, dari obrolan-obrolan yang terjadi di sana. Tapi sekarang mesjid Tsanawiyah dan Aliyah telah dipisah dengan alasan tidak cukup. Entahlah. Dan imbasnya, kini tak ada lagi obrolan hebat seperti dulu. Tak lagi ku lihat transisi berarti dari anak Tsanawiyah sekarang. Semua berjalan begitu datar, hambar. Atau kalaupun satu dua kali kami bertemu di mesjid, yang terjadi bukanlah obrolan tentang hal-hal hebat, tapi hal-hal lugu dan kekanak-kanakan.
Lantas, kami–ku dan teman-teman– haus akan semua itu. Kaipun menunggu, katanya mesjid akan disatukan kembali saat mesjid Aliyah selesai dirombak. Kamipun menunggu, entah sampai kapan.

Tak habis sampai di situ. Banyak hal yang begitu membingungkan. Kemarin-kemarin aku dan panitia lain mengadakan acara nonton bareng KMR dengan film The Last Samurai. Tujuannnya agar mubaligh-mubaligh KMR dapat bersemangat memperjuangkan Islam seperti orang-orang samurai memertahankan budaya samurainya. Mulai dari permintaan izin, kami meluncurkan surat peminjaman ruang multimedia. Setelah dibicarakan, kami tidak diizinkan menggunakan ruang multimedia dengan alasan komputernya rusak. Walaupun di sana masih ada laptop sebagai penggantinya, tapi kami dilarang menggunakannya. Katanya anak-anak tidak boleh menggunakan laptop multimedia. Entah, apa mungkin uang bulanan yang kini naik menjadi Rp. 400.000,00 masih belum cukup untuk membayar laptop itu. Tapi kami masih diizinkan menggunakan lab matematik. Walaupuin berat, tapi ku tak punya pilihan lain. Sampai di lab, ternyata cobaan iitu belum berhenti. Guru matematik sudah stand by menunggu muridnya untuk belajar. Akupun menjelaskan bahwa lab sudah dicarter untuk acara KMR. Tapi guru matematik dan satu guru Kimia ( yang terkenal killer ) tetap ingin menggunakan lab tersebut. Akhirnya, terpaksa ku luangkan waktu untuk ”ngobrol” dengan mereka mengenai lab itu. Beberapa waktu kemudian guru matematik itu keluar dari lab dan pergi. Sangat jelas ku lihat kesal di raut mukanya. Nonton pun dimulai, dengan waktu yang begitu pas-pasan. Akhirnya, sebelum kami menamatkan Disc terakhir, tiba waktunya adzan. Terpaksa ku menundanya sampai malam nanti. Akupun meminta izin untuk meneruskannnya malam nanti dan diizinkan.

Malampun tiba. Kami dan para anggota sudah siap di lab untuk menyaksikan kelanjutannya. Dan filmpun dimulai. Tapi tak selancar itu. Di tengah-tengah, kepala sekolah datang dan menyuruh membubarkan acara. Akupun kesal, dan kami harus “ngobrol” lagi. Dan “ngobrol” itu dapat mengulur waktu sampai acara habis, dan kamipun bebas. Beberapa hari setelah itu, aku dan beberapa panitia lain dipanggil ke kantor kepala sekolah, dan membicarakan tentang film itu. Beberapa alasan sempat mendarat di telingaku: karena filmnya tak pantaslah, bukan dari Islamlah, tak mendidiklah, dan bermacam alasan lainnya. Dan obrolan kamipun berlanjut panjang, panas. Sampai ku katakan bahwa film itu pernah diputar dalam training ESQ, dia baru bisa menerima. Akupun keluar dari kantor kepala sekolah, dengan tidak mengikuti pelajaran karena panggilan tadi begitu menguras waktu. Tapi beberapa hari kemudian ku merasa sedikit terobati karena guru Tarekhku bilang, ”Tah, cing atuh tonton film The Last Samrai! Etamah film alus. Conto kumaha bangsa Samurai ngabela bangsana, Islam oge kudu kitu!”

Rupanya masalah tak habis sampai di situ. Kami malah sering mendapat ancaman saat kumpul KMR. Pernah dulu kami dibubarkan karena kumpul di tempat puteri. Katanya dilarang putera kumpul di kelas puteri. Entahlah. Kamipun kesal, keterlaluan!

Akhirnya, pada 15 Maret 2007, kelasku mengadakan FIKIR. Saatnya ku buktikan pada kepala sekolah itu bahwa acara yang kami buat bukan sembarang acara seperti apa yang ia bilang. FIKIRpun dimulai, walau sebelumnya ada gertakan juga pada persiapannya karena kami tak masuk kelas.

Saatnya tiba. Ternyata benar! FIKIR itu benar-benar hebat!aku dan teman-teman berpelukan setelahnya dan bersyukur. Keren!

Ucapan selamatpun kami terima. Bahkan, salah satu pembina bilang, “Sejak 9 tahun Bapak tinggal di DA, FIKIR kalianlah yang paling bagus.” Di kantor sekolahpun guru-guru membicarakannya. Kepala sekolah itupun juga. Yang yang paling penting, ia tak lagi semena-mena menggertak ketika ku mengadakan acara KMR, walau kepergok kumpul bareng puteri.

Alam sudah menguning, hujan tak lagi begitu deras. Tapi obrolan kami masih panas. Senja tiba, menjemput mentari di ufuk barat yang jauh. Belum habis obrolan ini, –dan entah sampai kapan akan habis– suara pintu yang dipukuli tongkat kecil memaksa kami mengakhirinya. Pak Asep –pembina kami– sudah menggiring untuk solat maghrib.

Eksistensi Remaja Sebagai Pelajar Ideal

Sekilas, ketika kata pendidikan terlintas dalam benak para pelajar, maka apa yang akan muncul pada fikiran mereka? Seragam putih, kelas yang terkadang begitu mengancam, mayoritas guru yang keras, juga sistem yang cenderung otoriter. Begitulah mungkin kata pendidikan terkonsep sedemikian rupa dalam perspektif mayoritas pelajar Indonesia, dengan kecenderungan keras bahwa segala hal yang berbau pendidikan berarti harus memasuki satu lembaga formal bernama sekolah. Dan ironinya, seluk beluk sekolah yang kontradiktif dan sering kali menakut-nakuti para pelajar juga harus terbawa ketika kata pendidikan melintas di fikiran mereka. Imbasnya, segala hal yang berbau pendidikan haruslah selalu mengancam dan menakutkan. Dan dalam realita seperti ini, bagaimanakah para pelajar dapat meraih haknya dalam memperoleh pendidikan sehingga dapat terwujud kader-kader bangsa yang unggul dari kualitas dan kuantitasnya? Mungkinkah sekolah yang sekarang melandasi kita dalam memperoleh pendidikan telah benar-benar bekerja secara fungsional sesuai dengan visi pendidikan itu sendiri, yaitu untuk menyalurkan ilmu dari genarasi ke generasi, atau hanya sekedar melegalisir para remaja dengan seragam dan perangkat lainnya sehingga dapat benar-benar disebut pelajar?
Sejenak mari kita renungkan proses pendidikan sebelum sekarang, yang seringkali terkenal ortodok, jumud, dan kuno.
Dulu, pendidikan disampaikan melalui tembang, kidung, puisi, juga cerita kepahlawanan. Berbagai tokoh agama telah mengambil eksistensi penting di sini. Karena bagaimanapun, pokok-pokok pendidikan mempunyai relasi langsung dengan ajaran agama itu sendiri. Seperti sejak abad 30SM, di Mesir orang-orang sudah memulai metode seperti ini dengan sumber Kitab Taurat dan Talmud. Atau sejak tahun 1200 SM, pendeta Hindu sudah mulai melaksanakan metode ini di lembah Indus dengan Kitab Vedanya.
Untuk kawasan Eropa, pendidikan mengalami revolusi sejak lahirnya pemikir-pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, setelah sebelumnya pendidikan tersebut mendapat pengaruh besar dari cerita-cerita kuno seperti Iliad, Odyssey, dan lain sebagainya. Dan dari sini mulailah terjadi perkembangan pada sistem pendidikan. Seperti halnya di kawasan romawi abad pertama, di mana pendidikan lebih diorentasikan pada keorganisasian. Imbasnya, penguasaan massa, pidato, dan segala hal tentang keorganisasian menjadi substansi dari pendidikan itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan mengalami evolusi sesuai dengan keadaan sosial yang terjadi waku itu. Seperti halnya yang terjadi di abad 17, di mana Rene Descartes lebih menitik beratkan pendidikan pada bidang filsafat, Wolfgan Ratke pada bidang bahasa atau John Locke yang cenderung pada pertanian, pegembangan kreatifitas, dan kesegaran jasmani dengan sinkronisasi pada keadaan sosial waktu itu.
Barulah di abad 19 mulai adanya pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan yang akhirnya kita sebut dengan pendidikan modern. Pada abad ini mulai lahir gagasan bahwa pendidikan sebaiknya disama ratakan, dalam artian materi pengajaran disesuaikan menurut standar nsional. Dan pada abad 20, akhirnya gagasan ini diperkuat Ellen Key dengan pernyataannya bahwa pendidikan harus dilaksanakan sesuai kemampuan anak didik, bukan karena kebutuhan sosial golongan.
Setelah mengalami berbagai revolusi, sampailah pendidikan pada sistem yang ita kenal sekarang. Dan khususnya untuk negara kita, dengan berbagai atribut, metode dan sistem yang kerap kali berubah-ubah. Akan tetapi, dengan adanya sistem modern seperi ini, secara faktual para pelajar mengindikasikan hal-hal yang kontradiktif. Karena tak sedikit terjadi masalah dengan ketidak sesuaian di kelas, doktrin-doktrin tentang guru: terlalu radikal, kurang perhatian, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada tawuran antar pelajar sebagai indikasi dari dekadensi moral. Lantas, jika dibandingkan, bukankah saat tak ada sistem seperti sekarang (melalui metode yang kita anggap kuno), lahir tokoh-tokoh dunia seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang buah fikirannya mendominasi pemikiran-pemikiran kontemporer? Dengan keadaan seperti ini, bukankah lebih baik pendidikan dilakukan sesuai metode zaman dulu, atau bahkan tanpa sekolah?
Secara ideal, sekolah merupakan sarana yang sangat cocok dalam melakukan proses pendidikan (dan karena itulah di sini sangat diorentasikan pada permasalahan seputar sekolah). Peraturan, sistem, dan fasilitas yang memadai merupakan indikasi penting bahwa sekolah diatur dengan manajemen yang baik. Dan bagaimanapun, pendidikan yang telah diatur dengan metode sedemikian rupa hasilnya cenderung akan lebih baik. Akan tetapi, secara faktual ternyata yang terjadi secara dominan adalah hal-hal kontradiktif. Secara garis besar, ada dua macam faktor yang berpengaruh penting di sini, yaitu faktor internal mengenai kepribadian seorang pelajar, dan faktor eksternal, yaitu teman, keluarga, guru dan peraturan. Dan di sinilah diperlukan adanya peran aktif remaja sebagai pelajar, juga kader bangsa yang terdidik untuk menanganinya, sehingga diharapkan dapat tercipta situasi pembelajaran yang kondusif, efektif, dan efisien.
Pertama, faktor internal mengenai kepribadian pelajar. Di sini masalah yang terjadi tidak begitu kompleks, karena secara dominan telah dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang akan dijelaskan kemudian. Secara garis besar, masalah yang perlu diperhatikan pada aspek ini adalah bagaimana remaja memahami kondisi lingkungannya dan reaksi yang terjadi setelah itu. Dalam hal ini lebih diaksentuasikan pada remaja karena problematika di masa remaja sangatlah komplels, padahal masa remaja adalah masa di mana semuanya mulai dibentuk (jati diri, kepribadian, pola hidup, dan lain sebagainya). Seperti yang diungkapkan Sean Covey,
“Bayangkan seutas tambang sepanjang delapan puluh kaki terpampang di depanmu. Setiap kaki mewakili satu tahun usiamu. Masa remaja hanya tujuh tahun, begitu singkat, tetapi ketujuh tahun itu memengaruhi enam puluh satu sisanya.”
Di sini remaja berperan penting dalam pembentukan kepribadiannya sebagai pelajar yang ideal, agar tidak terbawa arus jika ligkungan sekolahnya lebih mencerminkan kebiasaan negatif. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnhya, pemahaman tentang kondisi lingkungan akan baik dan buruknya juga kesadaran akan eksistensi remaja yang ideal sangatlah penting. Dengan kata lain, remaja berperan untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang-ruang positif bagaimanapun kondisi lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi, dengan begitu kompleksnya problematika masa remaja atau hal-hal yang masih bias tapi cenderung dipandang negatif, besar kemungkinan paradigma remaja akan berubah secara sinkron dengan pola hidup lingkungan yang akhirnya terealisasi lewat perlakuan nyata dan lebih parah lagi hal itu akan membudaya di kalangan pelajar, sehingga eksistensi remaja sebagai pelajar seakan berubah. Seperti halnya ketika dalam satu lingkungan kelas mayoritas pelajarnya sering bolos, maka setidaknya palajar yang lain akan meganggap bahwa bolos adalah hal biasa. Yang karena paradigma seperti demikian, maka pelajar yang lainpun melakukan hal yang sama. Setelah beberapa kali dilakukan, akhirnya bolos menjadi satu budaya dan ironinya, terkadang timbul anggapan bahwa pelajar yang tidak pernah bolos adalah pelajaryang tidak normal. Dan secara tidak langsung hal ini melegalisir bahwa bolos merupakan satu predikat pelajar ideal. Di sinilah benar-benar diperlukan adanya pemahaman pelajar tentang lingkungannya (dalam hal ini sekolah) yang secara teknis diantaranya dapat dilakukan dengan berperan aktif di organisasi-organisasi pelajar.
Kedua, faktor eksternal yang secara garis besar meliputi teman, keluarga, guru, dan peraturan. Di sinilah problematika masa remaja terasa begitu kompleks.
Di sini teman menempati urutan pertama atau faktor terbesar yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja. Karena seringnya bergaul dan berkomunikasi antar sesama teman, maka tercipta satu bentuk solidaritas yang sangat tinggi. Dengan situasi seperti ini, maka tidak heran jika banyak remaja yang mengikuti segala hal agar terjadi kesinkronan dengan teman-temannya, suka atau tidak, positif atau negatif.
Pada umumnya ada dua permasalahan ini di sini. Pertama, jika lingkungan/pergaulan teman seorang pelajar cenderung negatif, dan ke dua, kecenderungan mengikuti apapun kebiasaan seorang teman demi sinkronisasi, baik itu postif maupun negatif.
Untuk lingkungan dengan kecenderungan pergaulan negatif, maka pada kawasan inilah perlu adanya paradigma remaja yang benar-benar dewasa. Karena secara faktual, pola hidup seorang remaja banyak berubah dengan lingkungan seperti ini. Juga terbukti bahwa kecenderungan solidaritas dalam lingkungan seperti ini sangatlah kuat, di mana dedikasi seseorang kepada teman dan kelompoknya mayoritas melebihi apapun. Sehingga pengorbanan menjadi bagian dari proses pertemanan, yang sayangnya, dalam hal ini pengorbanan mengalami reduksi kata yang kontradiktif, dan banyak dijadikan alas an untuk memperbaiki citra suatu perbuatan negatif.
Selanjutnya, masalah yang timbul dalam lingkup pertemanan adalah sinkronisasi. Disadari atau tidak, seorang remaja akan lebih direspon dan diakui eksistensinya ketika ia sinkron dengan teman atau kelompoknya dalam berbagai aspek. Saat mayoritas pelajar dalam satu kelas terbiasa datang terlambat, maka eksistensi pelajar yang senang tepat waktu dalam lingkungan tersebut terasa tidak bersahabat. Dalam keadaan seperti ini, kecenderungan remaja lebih memilih untuk meninggalkan kebiasaannya, dan Mengikuti kelompoknya. Atau jika lingkungannya terbiasa dengan hal positif. Yang menjadi masalah di sini bukanlah perubahan dari kebiasaan negatif menuju positif, tapi tidak tentunya kepribadian. Yang imbasnya akan timbul ketergantungan pada lingkungan yang dan dikhawatirkan adalah ketika remaja tersebut kembali pada lngkungan negatif. Dan inti permasalahannya adalah eksistensi remaja tersebut dikendalikan oleh lingkungan, yang idealnya dialah yang mengendalikan, minimalnya untuk dirinya sendiri, dan lebihnya untuk lingkungan.
Dengan semua realita seperti ini, (dalam lingkkup teman), seringkali timbul anggapan bahwa solusi terbaik adalah menjauhi semua teman yang cenderung negatif, dan mencari teman dengan segala sifat positif. Akan tetapi timbul masalah baru, bukankah dengan cara seperti ini telah benar-bnar lahir anggapan bahwa pada orang-orang yang dianggap baik telah benar-benar terdapat sifat baik yang absolut, dan dalam orang-oang yang dianggap negatif benar-benar terdapat sifat buruk yang absolut? Jika dihadapkan dengan konsep yang ideal, bukankah setiap otrang mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing? Dengan demikian, maka peran remaja yang terpenting di sini bukanlah memilih teman, akan tetapi menempatkan eksistensinya sebagai teman yang benar-benar teman, dalam artian dapat menemani temannya dalam waktu yang dibutuhkan. Ketika ada beberapa pelajar yang sering terlambat, maka pada dasarnya pelajar tersebut membutuhkan teman yang dapat mengatasi keterlambatannya. Sehingga jelas, peran remaja dalam hal ini bukan malah menambah kebutuhan temannya dengan ikut terlambat, akan tetapi memberinya solusi dengan berbagai cara untuk mengatasi keterlambatannya. Bukankah Islam adalah rahmatan li `alamin? Teringat akan kata-kata bijak,
“Ketika kamu melihat laut yang tercemar, maka jernihkanlah laut tersebut, dan tidak ikut tercemar di dalamnya. Atau ketika kamu melihat hutan gundul yang gersang, maka hijaukanlah kembali hutan itu.”
Faktor eksternal kedua adalah keluarga. Masalah yang terjadi pada keluarga pestilah harus terbawa pada semua aspek kehidupan, termasuk pada pendidikan. Seorang yang mempunyai masalah pada keluarganya seperti pertengkaran orang tua, atau masalah ekonomi akan terlihat menyimpan sesuatu yang berbeda, dan semangat belajarnya menurun derastis. Hal ini disebabkan diantaranya karena rasa memiliki remaja terhadap keluarga yang sangat minim.
Adapun di sini, remaja berperan untuk ikut andil lebih dalam pada lingkup keluarga. Dengan aktif berperan seperti ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga secara baik juga mematuhi nasihat orang tua dengan segala kesadaran, maka akan timbul rasa memahami, yang akhirnya menumbuhkan rasa memiliki akan keluarga itu sendiri. Dengan demikian, remaja akan cenderung berperilaku sebagai subjek daripada objek. Dalam artian masalah-masalah yang datang dari keluarga akan senantiasa ditanggapi dengan kata bagaimana, bukan dengan kata mengapa. Sehingga, pendidikan tidak akan terlalu terganggu dengan adanya masalah keluarga.
Faktor ketiga adalah guru. Terkadang guru terasa begitu otoriter, sehingga mambuat kondisi kelas sangat membosankan. Atau juga sebagian ada yang galak, dan membuat kelas seakan di neraka. Dan masih banyak lagi karakter lain yang dengannya situasi kelas dibentuk.
Untuk menghadapi masalah ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menerimanya dengan bijak, kedua, memperbaikinya secara efektif.
Pertama,menerimanya dengan bijak. Adakalanya karakter guru yang tidak relevan dengan aturan pembelajaran menurut peersepsi pelajar menjadi masalah karena kekurangan pelajar dalam memandang baik buruknya sesuatu. Terkadang sesuatu dianggap baik hanya karena kesinkronan dengan hati penilainya. Secara sekilas, tanpa memerhatikan efek jangka panjangnya. Bukankah inti dari pembelajaran adalah membentuk para cendikiawan dan bukan melakukan hal-hal yang selalu sekehendak hati? Bukankah di satu waktu seseorang harus berjuang dan berkorban untuk mendapat sesuatu? Maka di sini pelajar berperan dalam mengubah paradigmanya sendiri. Seperti halnya ketika disodorkan pada banyak tugas, maka mayoritas akan memandang guru dengan persepsi negatif, dan dengan begitu terciptalah situasi belajar yang buruk. Tapi jika paradigma tersebut diubah, dengan menyadari bahwa latihan adalah sesuatu yang penting dan harus dilakukan, juga guru semata-mata memberikan tugas tersebut untuk kepentingan pelajarnya, maka kondisi pembelajaran akan berlangsung dengan lebih kondusif.
Kedua, memperbaikinya secara efektif. Untuk melakukan hal ini, diperlukan adanya waawasan yang cukup tentang baik dan buruknya teknis pengajaran, juga keefektifannya dengan kondisi kelas. Jika dengan paradigma yang matang, pandangan jauh ke depan, juga disertai fakta akan ketikak efektifan teknis pengajaran seorang guru untuk suatu kelas, maka bagaimanapun hal seperti ini harus diperbaiki. Karena dalam satu waktu suatu cara dapat berubah baik buruknya tergantung pada keadaan. Dan yang perlu diperhatikan di sini adalah teknis perbaikannya, agar dapat dilakukan secara efektif. Contohnya dapat dilakukan dengan berbicara langsung secara baik di luar jam pelajaran, atau secara tersirat ketika ada momentum yang memfasilitasinya, seperti drama, pidato, dan lain sebagainya.
Faktor keempat adalah tatatertib. Pada dasarnya, sama seperti guru, di satu sisi perlu adanya kesadaran dan perubahan paradigma seorang pelajar dalam memandang tatatertib. Yang berbeda di sini adalah tata tertib cenderung menunjukkan sesutu yang membawa dampak positif, sehingga kecil kemungkinan perlu adanya perbaikan dari pelajar. Tapi yang berbeda di sini yaitu kurangnya perhatian dalam pelaksanaan yang ironinya sering kali juga dilakukan oleh aparatur sekolah. Sehingga disaari atau tidak, timbul kegalauan pada hati pelajar tentang pelaksanaan tatatertib tersebut. Di mana pelanggaran tatatertib yang dilakukan oleh guru secara tersirat mengandung pembelajaran terhadap murid-muridnya. Dengan keadaan seperti ini, maka peran pelajar tidak terfokus pada perbaikan tatatertib, akan tetapi cenderung pada usaha pelaksanaan tatatertib tersebut oleh berbagai pihak, yang secara teknis dapat dilakukan dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap tatatertib, tidak mencontoh jika satu waktu terdapat guru yang melakukannya (pelanggaran) sehingga timbul rasa sungkan di hati guru tersebut untuk mengulanginya, atau dengan langsung berkonsultasi pada kepala sekolah dengan sikap seorang guru yang terbukti demikian.
Akhirnya, dengan semua hal tersebut diharapkan para remaja sebagai pelajar turut aktif berperan dalam jalannya pendidikan. Yang mana, setelah pendidikan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, maka besar kemungkinan dapat terwujud kecerdasan di kalangan para pelajar sebagai kader-kader bangsa yang akan menentukan eksistensi Tanah Air Indonesia di masa mendatang.

Garut, Oktober 2006

Mengapa Harus Bodoh dan Malas?

Lulus, tidak, mengulang, melanjutkan, senang, kecewa, beribu tanya dan harap tersebut senantiasa hadir dan membayangi setiap orang sebelum tidur, makan, dan ketika menonton telvisi. Sampai secarik kertas putih membawa kabar kelulusan, atau terpampang pengumuman nilai ujian di halaman kantor TU.


Bahasa Indonesia : 08.00

Bahasa Inggris : 07.00

Matematika : 04.00


Tiba-tiba terdengar tangisan seorang, dua orang, empat orang, sampai hampir dua puluh orang ketika melihat salah satu nilainya yang tidak memenuhi standar 04.51. Sebagian yang bernasib sama hanya diam, bingung harus berbuat apa. Sebagian pasrah dan menunggu segala kemungkinan mendatang.


Beberapa hari kemudian muncul sorak-sorai di jalanan, meluapkan kecewa dan sedih, tanda penentangan untuk sistem UAN yang dirasa tidak adil. Menuntut hak ujian ulang, perubahan sistem, penilai, penurunan ketua Mendiknas, dan setumpuk masalah lain yang dianggap merugikan.


Dengan begitu mengejutkan, sedikit-sedikit merebak klaim sebagai balasan, bahwa siswa yang tidak lulus ujian adalah siswa yang malas dan bodoh. Sangat singkat, jelas, tapi juga menantang, karena serentak berhamburan aksi bakar ban bekas, tanda amarah yang kian besar.


Kenapa si A bisa lulus sementara si B tidak? Pertanyaan sangat mendasar dan sebagian menganggapnya kekanak-kanakan, karena dengan mudah dapat dijawab, si A rajin dan pintar, sementara si B tidak. Jawaban yang cukup logis, tapi di sisi lain perlu dipertanyakan kandungan keadilan dan keobjektifannya.


Jawaban tersebut lebih mengacu pada konsep sentrifugal ( aksi raksi ). Awalnya terlihat begitu logis dan idealis, tapi ketika dihadapkan pada realita UAN, seketika kandungannya menjadi begitu kejam dan menindas. Bagi sebagian orang yang berpotensi di ketiga bidang UAN, ujian bukanlah momentum yang begitu menakutkan, karena sehari-hari sudah terbiasa bermain dengan trigonometri, logaritma, passive voice, atau citra dan citraan. Keberuntungan sedang berpihak padanya. Tapi sebalikknya, bagi yang berpotensi di bidang lain, ini merupakan monster paling menakukan. Ketika setiap hari bergelut dengan Hukum Archimedes, mengulik lagu-lagu, atau berbagai kamus bahasa asing, tiba-tiba harus mampu mengerjakan soal-soal `aneh` yang bukan menjadi potensinya. Lantas, jika fakta dibalikkan, logiskah para musisi, politikus atau presiden sekalipun dapat lulus dalam ujian matematika? Apakah ini benar-benar aksi reaksi, atau hanya keberuntungan semata? Masihkah berlaku jawaban si A rajin dan pintar sementara si B tidak? Masihkah dapat dikatakan siswa yang tidak lulus hanyalah siswa yang malas dan bodoh?


Atau mungkin kata bodoh tersebut mengalami peyorasi. Mungkinkah seorang fisikawan, musisi masa depan, calon duta besar, juga calon atlet menerima cap sebagai orang bodoh? Jika kembali pada kamus besar bahasa Indonesi karangan W. J. S. Poerwadarminta, bodoh adalah tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau dapat (mengerjakan dsb). Lantas, apa dasar penyebutan orang-orang bodoh kepada para calon penerus bangsa? Atau mungkin para politikus, menteri, musisi, atlet yang sekarang dipuja-puja adalah orang-orang bodoh jika mereka tidak dapat mengerjakan soal Matematika, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris? Jika tidak, lalu apa maksud kata bodoh tersebut? Tidakkah terlalu sempit?


Juga untuk kata malas. Pantaskah anak yang rajin berlatih sepak bola, musik, menghitung rumus fisika dikatakan malas hanya karena jarang menggeluti matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Masih kembali pada W. J. S. Poerwadaminta, kata malas mengandung arti tidak mau bekerja (berbuat sesuatu). Disini terdapat pengertian kompleks, lantas, apakah sekarang kata malas pengalami pengkhususan hanya untuk orang yang tidak menggeluti Matematika Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris?


Sekali lagi, masihkah siswa yang tidak lulus ujian dikatakan malas dan bodoh?

Terimakasih Kak!

Sekarang, kurasakan nafasku yang terbang, darah yang benar-benar mengalir, dan langkah yang begitu tegap.


Hmm.., berapa kali ku menangis bulan ini? Berpisah, pergi, keluar, kapan kata-kata itu bisa tak lagi ku dengar? Kemarin teman sekelas, sekarang, kau pamit, pergi jauh. Besok, akankah kata itu terus kutemui dan memaksaku menangis lagi?


Ku tak ingin berpisah, sungguh. Jika perpisahan berwujud benda, pasti sudah ku bakar sampai mengabu. Jika tulisan, pasti kuhapus sampai tak terbaca. Jika, jika.., ah, sudahlah, jika hanya membuat imaji menggila, dan tatapan tak terarah. Ku tak bisa apa-apa selain menerimanya, kecewa, dan menangis.


Percuma ku berteriak, suara keras tak membuatmu kembali. Mengeluh, kau telah pergi. Tapi ku tak bisa tersenyum, tegar, dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Ku tak bisa berbohong, aku menangis, tak peduli siapa yang melihat, dan dimana ku berada.


Sekarang kau telah pergi, tak ada lagi yang mengomentari dengan berkata “jelek“ setelah ku turun dari mimbar, mengajak mengisi pengajian di luar, pergi ke warnet bersama, atau berdebat ketika besok ulangan umum. Semua hanya tinggal cerita.


Mulai dari suatu malam yang dingin, kalian masuk kelasku dengan wajah senyum dan penuh persahabatan. Ku sangat kesal, ngantuk dan capek. Ingin rasanya mengambil selimut, menutupi badan sampai esok. Tapi kalian masuk sangat lama, kelas begitu ribut. Perasaanku semakin boring, menyerapahimu dalam hati. Ku tak berani mengusirmu, mengeluh dihadapanmu. Sampai ketika sudah selesai, ku tersenyum lega, bersyukur.


Sedikit-sedikit terjadilah tragedi pais bekok, pais setum, dan goreng patut. Ku tak mengerti apa itu, mungkin makanan khas daerah seperti goreng pisang dan bala-bala. Kalian menyuruhku membelinya di Bu Oyon. Tak masalah, dan ku benar-benar melakukannya. Setidaknya sampai ku bersikap seperti orang bodoh, lalu semua orang memegangi perutnya dan tertawa sangat keras.


Beberapa hari kemudian kalian masuk asrama, bercerita tentang banyak hal. Aku menyukainya, meski setelahnya sering ketakutan jika sendiri di asrama. Ceritanya terlalu seram. Atau kadang ketika ku harapkan kedatangan kalian untuk duduk di kasurku dan ngobrol seperti hari-hari sebelumnya, kalian malah berbicara hal-hal boring yang tak kusukai. Membuatku ngantuk dan jengah.


Kemudian kita memulai saling mengerti di KMR, belajar tentang banyak hal. Bermuka tebal di hadapan puteri, ditertawai, merasakan kekaguman orang-orang, tepuk tangan, dan sebentar kadang menjadi obrolan banyak orang. Semua menikmati perjalanan ini. Lari ke Ngamplang setiap jum`at subuh, berdebat di Mesjid Agung suatu saat, melaksanakan mission impossible, uji mental di pengkolan, buka bersama, tahajud bersama, festival pocong yang menyenangkan–begitulah kita menyebut jurit malam yang tak menyeramkan dulu–, sampai penutupan yang gelap. Kau, aku, mereka menangis disana.


Atau dengan Hisapbu, ketika sore melewati waktu ashar menjadi saat yang luar biasa. Banyak hal yang seharusnya membuatku pusing dan ku kutuki seperti rumus-rumus fisika, data sejarah IPS, dan undang-undang di PPKn. Tapi ini berbeda. Ku, dan semua menyukainya. Ini menyenangkan, hebat.


Lalu Mading yang penuh kreasi. Meski tak bisa melahirkan tokoh imaji seperti Si Siuk dan Si Fulan, setidaknya ku masih punya puisi yang hebat–dulu ku anggap begitu–. Ini suasana menyenangkan, ketika banyak orang berkerumun untuk melihat apakah karya mereka dipajang, pagi-pagi, selepas bangun tidur di kelas.


Waktu membawa semua orang pada ruang yang berbeda. Ku memegang nama kelas II, dan kalian kelas V. Tak ada lagi KMR, KQR, Hisapbu, atau Mading seperti kemarin bersama. Kalian sudah harus mengurusi ini-itu IRM. Entahlah, ku tak begitu faham. Tapi ku senang. LT, Nasyfest, Marakat, MC dan semua yang kalian buat.


Tapi ini bukan sekedar tertawaan, hiburan yang menghilangkan stress akan hari ini yang entah berapa bahasa kita gunakan untuk menyebutnya, walau seakan tak tertemukan kata yang cocok. Kalian telah membuat sesuatu yang lebih. Dan sekarang, lihatlah, adik-adikmu sudah menjadi seperti ini.


18 Juni 2006, ketika kau memelukku dan menangis...


Ku kesal, tak ingin mengalirkan air mata lagi. Tak ingin kalian pergi, meninggalkan obrolan mesjid, kurawa di ruang makan, dan semuanya. Kalian juga begitu.


Sampai akhirnya, kau benar-benar menutup cerita ini. Tak banyak kata yang tertulis di paragrap terakhir, tapi sangat berharga.


”Maneh neruskeun di DA? hiks, hiks”

”–ku sangat bingung– Hiks, hiks, heueuh“

”Bal, maneh tong ngerakeun urang, nitip DA heueuh, hiks, hiks, hampura urang lamun sok salah ka maneh, hiks”


“Bal, A masih pengen ngobrol di mesjid lagi, hiks, becanda lagi, A gak pengen ninggalin DA, hiks.”

“Iya A, maafin Iqbal, hiks”


Tapi biarlah, kita tak punya jalan lain, karena memang beginilah hidup. Sudah bukan waktunya lagi kalian di sini, ini sudah selesai. Selamat, kalian hebat! Maafkan aku, Terimakasih Kak!

Sahabatku, Friend 14

Setelahnya kita tak lagi menundukkan kepala, dan berbisik sendiri


Bagaimana ujian Nahwu kemarin? Apa kalian juga membuat tanda tanya besar di lembar jawab? Atau sama-sama lieur dan mengutuk soal dengan berpuluh kata MUNADA disana? Atau mungkin lebih baik. Entahlah, bukan itu yang kita ingin bicarakan sekarang.


Aku tak begitu tahu tentang lingkup hari kalian. Kita tak hidup satu asrama, kau disana, dan ku disini. Pembina kalian perempuan, dan pembinaku laki-laki. Kelasku berlantai keramik, kelas kalian tidak. Kalian sering dipuji guru-guru, sedang aku diserapahi. Apa yang kalian lakukan ketika pertama kali masuk? Menangiskah? Bagaimana pembina kalian, kapan kalian biasa tidur malam, bagaimana tanggapan kalian tentang menu makan, siapa santri putera terganteng menurut kalian? Hm.. ku tak banyak mengerti, kalian jauh lebih tahu. Lantas, apa yang harus ku tulis? Dari mana kita mulai? Entahlah, tapi setidaknya, ada banyak cerita yang telah kita buat.


Dulu kita masih sangat malu-malu, meski sebenarnya ingin bersama berkenalan, ngobrol, tertawa, dan melakukan banyak hal layaknya seorang teman. Ku menyembunyikannya, mengatakan tak ingin, bersama orang-orang yang juga begitu. Bahkan mungkin orang yang membawa cap dan mengkampanyekan diri sebagai orang ter-JM juga menyimpan keinginannya dan menyulapnya menjadi rasa malu yang amat besar, sim salabim! Tapi itu hanya proses, karena sekarang kita sudah mempunyai cukup adrenalin untuk meeting di bawah aula, di Bu Apip, atau di depan rumah Bu bacih. Setidaknya sampai Pak Dudung datang, atau Pak Nasrun yang begitu watados duduk dan memperhatikan. Dulu kita masih menyimpan sendiri sebuah nama di memori khusus ingatan kita. Tanpa suara, ataupun hanya sekedar bisik-bisik. Mungkin karena terlalu malu. Tapi sekarang muka kita sudah cukup tebal untuk meneriakkan sebuah nama, memamerkannya, dan setelahnya, kita merasa bangga.


Sekarang asrama sudah terlalu ribut dengan kata-kata jadian, kabogoh, nembak, ditolak, dan lingkup love lainnya. Sedikit demi sedikit kita mulai mengatur strategi dan mewaspadai wilayah danger meeting, memilih waktu yang cocok untuk nge-date,sampai perencanaan pulang bareng. Kita sudah memasuki daerah terlarang, meski mungkin tak terlalu kriminal. Tapi darisanalah kita belajar dan mengetahui banyak hal: dari tempat yang bersinyal cukup kuat, menghemat uang jajan, belajar untuk tidak nervous, sampaipada psikologi seseorang: tentang perasaan putera dan puteri, tanda-tanda seseorang jatuh cinta, strategi pede-kate untuk mendapat hati seseorang, dan banyak hal besar lain.


Setelahnya, walau tak pernah kita sadari, kita tumbuh begitu dewasa, sudah begitu mandiri bahkan dalam berpacaran. Kau, aku, mereka, semua senang dengan saling menitipi salam, berkirim surat, sms, menelefon, berbagi cerita, dan semua yang selama ini telah membuat kita bersatu, saling mengerti. Kita telah melewati banyak proses. Sangat panjang.


Tapi ini tak sesederhana sebuah telenovela yang begitu saja menghilang dari obrolan pagi hari di halaman rumah setelahnya datang trelenovela lain yang lebih menjanjikan. Ini bukan cerita yang mudah lenyap. Kita tak hanya berkirim surat yang bertahan sebulan dua bulan saja, atau sms yang kadang tak terkirim, tak bisa membalas karena pulsa habis, juga jadian begitu saja putus ketika sudah merasa ”bosan”. Kita telah menyimpan sesuatu yang lebih selama ini. Surat-suratku padamu, makanan yang sering kali kau titipkan pada adik kelas, bantuanmu, kerja sama, bahkan ketika kita berperang sekalipun. Ku kotori kelasmu dengan lumpur, lalu kau soraki aku jika melewatimu, ”Hu...”.


Kita tak setiap hari bertemu. Kau tak pernah membangunkanku, hingga akhirnya sebuah sajadah mendarat di tubuhku. Kau tak pernah meminjamkanku piring, hingga Mak Dapur pergi, dan ku tak makan. Akupun begitu, padamu. Tapi sebenarnya kita ingin. Kau tak rela melihatku dipanggil dan dihukum, kau marah jika ku diganggu, kau ingin ku senang, akupun begitu.


Sekarang kita sudah satu hati, karena kemarin kalian juga menangis, sama seperti ku. Untuk semua kebersamaan dan persahabatan. Karena walaupun pembina kita berbeda, asrama kita jauh, kita adalah satu, menjalani hari yang sama.


Kau tak rela aku keluar, begitupun denganku. Kita ingin selalu bersama, membuat acara hebat lagi, meeting di bawah aula lagi, berkirim surat lagi. Tapi ini tak mungkin. Kau telah bersedia berpisah denganku saat pertama kali kita bertemu. Saat kau pertama kali menyalamiku. Saat dulu kau jadian denganku. Kita tak bisa berbuat apa-apa.


Atau jika kau bukan pacarku. Kita tak pernah jadian, kau tak pernah menyalamiku, memberiku gorengan dari pengkolan, jalan berdua, surat-suratan, juga menelfon dengan kata-kata romantis. Aku tak cinta kau, kau juga tak mencintaiku. Tapi ku tak ingin kau keluar, pergi dariku.


Aku ingin kita terus bersama, kau menitipi salam, dan ku menyampaikannya. Menyuruhku memanggil seseorang untuk meet, curhat tentang pacarmu, sahabatan, membuat acara hebat lagi, seperti dulu. Tapi sudahlah, kita memang tak bisa selalu begitu. Kau harus pergi, dan ku tetap disini. Atau sebaliknya. Masih banyak hal yang harus kita lalui.


Aku tak memberimu kenang-kenangan, ucapan selamat tinggal, menangis untukmu atau apapun, kau juga begitu.


Tapi ku tahu, kita telah berbagi banyak hal lebih. Karena sekarang ku tak lagi menundukkan kepala dan berpaling jika melihatmu, kau tak lagi menganggapku orang lain.


Kita tetap bersahabat, ku mengingatmu dan kau mengingatku.


Terima kasih FRIEND, jangan lupakan aku.


Sahabatmu,


SMART26

The Last Step, SMART 26

Dalam sebuah penjara suci, bersama menanti waktu


Mau kemana sekarang? SMA Negeri, SMK, atau terus di DA? Huh..., akhinya ini sudah selesai. Simpan saja semua frustasi itu, karena sekarang kita tak lagi harus memikirkan ujian, pembina yang garang, suara kaca yang bising ketika waktu sholat tiba, sajadah yang tiba-tiba membuyarkan mimpi, atau tempelengan yang siap mendarat kapan saja ketika lengah. Karena sekarang kita sudah tinggal di asrama lain, di kelas lain, di kehiupan lain.


Tak terasa, tiga tahun sudah kita habiskan untuk semua ini. Merasakan kehidupan baru, menghembuskan berjuta nafas, dan tumbuh bersama di DA yang sekarang menjadi rumah kita, walau sering kali kita berontak, “Uh, boring euy, hayang kaluar!”


Asrama yang terkadang hanya berlampu satu setelah yang lainnya pecah oleh bola basket, kelas yang seakan berganti fungsi menjadi tempat tidur, mesjid, aula dan semua yang ada di pondok dengan ciri khasnya masing-masing kini telah membawa kita pada banyak hal. Ditampiling pembina, bolos sekolah bersama untuk nongkrong di pojok, gigitaran, atau nyumput di lemari ketika pembina ngagiring ke asrama. Ha, ha, kita bersama mengutuk semua itu, tapi tak bisa kita sangkal, kita tumbuh bersamanya. Bersama semua hal yang kadang membuat kita lieur dan stress setengah mati.


Tiga tahun bersama disini, bukan waktu yang sedikit. Dulu kita memulai perjalanan panjang ini dengan sama-sama menitikkan air mata. Semua merasa kesepian, setelahnya tak ada lagi belaian hangat ibu, padahal malam begitu dingin. Tak ada lagi tawa ayah yang bersahabat, padahal malam begitu sepi. Kita merasa bosan dan tak bernafsu untuk menyentuh makanan yang sengaja dibeli dari super market, kita merasa sendiri. Dan akhirnya, seseorang menyembunyikan wajahnya di balik bantal, dua orang, tujuh orang, sepuluh orang, sampai semuanya, menangis: tanda rindu pada rumah, tanda sedih, tanda berontak, dan bahwa kita masih seorang anak kecil yang manja dan cengeng.


Tapi setelahnya kesal dengan hanya menutupi mata yang basah dan wajah yang pucat, kita ingin mencari suasana baru yang lebih baik. Sejak itu, mulailah kita berkenalan, curhat, walau dengan sekedar mengatakan: ”Urang leweh euh”. Sehari kemudian kita mulai mengobrol layaknya seorang teman, memberi sabun cuci piring yang dibungkus dengan plastik penggaris setelah selesai makan malam, barteran jeruk dengan Yakult, ku tersenyum, lalu kau membalasnya. Dua hari kemudian kita mulai berbuat jail dengan mengoleskan belsem pada teman lain yang sudah tidur, setidaknya sampai dia bangun dan menyerapahi kita, atau kadang membalas di malam berikutnya. Seminggu kemudian kita mulai berkelahi, mempersoalkan ini-itu, pabelik-belik. Dan sebulan kemudian kita pulang bersama, duduk di bis berdua.


Dulu semua masih terlalu kecil sehingga harus comel kepada pembina ketika ada yang nyarekan, ketika merasa tak aman, dan terlalu banyak alasan untuk melampiaskan kekanak-kanakan kita. Tapi kita terus menjalani hari itu: dijajah kakak kelas, meminjamkan uang walau tak jelas kapan kembalinya (atau kadang tidak kembali sama sekali), mengeluh dengan menu sarapan (hari gini makan cuanki?), dan semua yang entah dimana ujungnya. Tapi dari sanalah hidup kita yang sebenarnya dimulai, dari sanalah segala perubahan terjadi. Sedikit demi sedikit kita tak lagi mempermasalahkan piring yang tak dikembalikan kakak kelas yang terkadang kita temukan di pojok, di tong sampah dan di sembarang tempat lain. Atau gayung yang hilang dan tiba-tiba sudah hancur di atap WC kontes, sendal baru yang raib tanpa jejak di bawah kasur, dan hal lain yang kemudian kitalah yang melakukannya.


Sekarang kita sudah dewasa, tak lagi cengeng seperti ketika ditinggal orang tua dulu. Sekarang kita lebih senang mandiri dan membawa wajah ceria ketika sampai di pondok. Kita ceria dengan berebut sebungkus tahu sumedang, seplastik kacang rebus atau makanan lainnya yang jauh berbeda dengan cemilan di rumah. Kita senang dengan menjalani kehidupan ini: kelaparan di malam hari, meminjam uang teman karena bekal bulanan telah habis, dimarahi guru dengan tidur di kelas karena malamya main ping pong sampai larut, dan banyak hal lainnya.



Sampai pada suatu senja yang begitu suram...


Kemarin kehidupan sampai pada sudut 360 derajat dari rotasinya. Kita menitikkan air mata dan berteriak kembali, karena semua telah berakhir. Selama tiga tahun ini. Kita meratap dan tersedu-sedu seperti dulu, bahkan lebih keras. Tapi semua karena kita sudah bukan anak mama papa yang manja dan cengeng lagi, dan kita harus menangis, benar-benar menangis.


Setelah sama-sama membuat tanda tanya besar di lembar jawab ujian Ilmu Nawu, ku bertanya padamu.

”Maneh kaluar teu?”

”Heeuh, urang kaluar.”


Lalu ku menangis, kau juga.

”Hampura heeuh, urang sok jail ka meneh, urang sok nyarekan maneh, sok nyarekan bapa maneh, sok nyieun nyeri hate maneh...”

”Heeuh, urang oge, hampura nya, tong poho ka urang... urang masih teu rido maneh kaluar, hiks, hiks...”


Kita berpelukan satu sama lain, membludakkan kesedihan dan penyesalan dalam tangis dan teriak.


Kemudian semua keluar kelas bersama dengan sisa air mata yang membuat wajah pucat, bahkan sebagian masih menangis.


Dalam detik-detik terakhir, kita nga-HIT bersama di pinggir asrama HIT Menyoraki orang yang lewat, menyalami guru-guru, foto-foto, dan tertawa bersama. Mungkin karena kita sudah menjalani semuanya, dan yang lain belum.


Lalu semua kenangan ini memuncak dengan The Next Study Practice yang hebat. Menggigil di puncak, ngadugem di dalam bis, pacarekan-carekan, nonton bareng, observasi di TMII (walau mungkin kita sudah menggantinya dengan waktu caper abiz), dan menghabiskan perjalanan yang menyenangkan, sehari penuh. Seragam SMART Dua Genep yang keren, PIN dan ID card, dan semua yang telah kita buat.


Sampai ketika malam sudah begitu menyelimuti perjalanan pulang,

”Urang tiheula heueuh,”

”Naha, maneh moal ka Garut heula?”

”Moal siganamah.”

”Ah, atuh bal, malam terakhir di DA.”

”Sorry...”

”Bal, jangan lupa,tanggal 26 ke DA, ya!”

“Heueuh.”


Sekarang sebagian telah keluar, bebas dari penjara suci–begitulah orang-orang bilang–. Bebas dari keluhan-keluhan tentang jadwal belajar yang memaksa untuk membuka selimut jam setengah lima, karena kita sudah harus belajar dan memulai hari ini, beberapa jam lebih cepat dari anak SMP lain. Merelakan waktu main Persib untuk pelajaran Bahasa Indonesia, dan waktu santai malam untuk menggeluti buku-buku yang sering kali membuat kita berteriak, “Euh, jangar euy...!!!”


Tapi percayalah, bagaimanapun kehidupan baru nanti, suatu saat, di hari seperti ini, kita akan sama-sama kangen pada semua cerita ini. Kita ingin kurawa lagi, ingin babaledogan di kelas lagi, ingin main bola di lapang basket lagi, ingin pacarekan-carekan lagi, ingin ngadugem di asrama untuk melepas ke-jangar-an lagi, ingin bertemu dan ingin hidup bersama lagi. Dan percayalah, “This story hasn`t finished yet, and never!”


Banyak hal yang sudah kita lakukan, dan terlalu panjang untuk mengisi tulisan ini. Huh, biarlah, semua menjadi kenangan kita bersama, sangat indah. Hanya kita yang merasakan, hanya kita yang tahu. Karena ini buknlah kata, yang dapat mengalir dalam bahasa. Ingat, hanya kita yang tahu.


”Kawan, lihatlah, kau menangis, menangisiku ketika ku hendak pergi. Kau memelukku, mengatakan sesal dan harap yang belum pernah ku dengar langsung dari ucapmu. Selama ini. Biarlah, kali ini senja memisahkan kita. Simpan tangismu kawan, sekarang tersenyumlah, karena kita sama-sama berharap, kita menunggu senja lain yang masih menyediakan ruang untuk kita. Suatu hari nanti, bersama seperti ini lagi. Simpan semua kenangan ini kawan, jika besok atau lusa kau kangen padaku, pandangi ia, aku hadir disana. Kawan, yakinlah, kita masih punya hari seperti ini. Ini belum berakhir, dan tak akan pernah”.