Jumat, 26 Desember 2008

Di Suatu Sore


―Rangkaian imaji ini ku tulis untuk seseorang yang baru saja menarikku dari keterpurukan dan membawaku ke suatu tempat.




Sore bermandikan cahaya kuning kecokelatan yang berhamburan dari sang surya di seberang laut nan jauh di barat sana. Aku memandanginya sendiri. Indah sekali, fikirku di sela tiang-tiang sebuah balariung yang megah.

***

Di sisi tiang ini 3 orang berkumpul. Setiap hari selepas solat maghrib mereka membuka kembali memori-memori yang telah mereka kumpulkan sepanjang siang: 10 kosakata dari buku SAT yang tebal dan sulit. Seringkali lapar menendang-nendang perut dan fikiran mereka, malas mengganjal mulut, dan beberapa perasaan aneh yang terasa seperti permusuhan tanpa sebab dan dengki menaburkan atmosfer aneh di balik tiang itu. Tapi mereka berkomitmen kuat untuk meraih tujuannya, untuk menggapai mimpi, untuk meraih bintang yang terang dan jauh. Merekalah Utopia Breaker, 3 orang yang berusaha mendobrak kemustahilan, menembus utopia.
abridge
abstemious
abstruse
accessible
acclaim
acknowledge
adulation
adversary
adversity
advocate
adalah 10 kata pertamanya. Jika tidak hafal 1 kata saja, maka harus membayar denda untuk uang kas.

Selepas perkumpulan rutin mereka menumpuk telapak tangan di tengah seraya berteriak, “Bisa, bisa, bisa, Allahu akbar!” Layaknya sebuah tim sepakbola yang akan menghadapi pertandingan paling penting dalam hidupnya.

“Suatu saat saya akan berjalan-jalan di Fifth Avenue dan menikmati suasana sore di sana yang indah dan romantis. Saya akan kembali lagi ke Boston, untuk kedua kalinya nanti. Bukan sebagai seorang siswa pertukaran pelajar, tapi sebagai Utopia Breaker”.

“Oke, nanti beberapa tahun lagi kita bertemu di sana, dan kita berkumpul lagi untuk menghafal 10 kosakata pertama ini. Semua harus hafal!”

“Ya, kita pasti bisa!” Begitulah percakapan mereka suatu sore, disaat lapar, malas, lemas, pusing, dan jenuh terkalahkan oleh semangat dan optimisme. Kita bisa, pasti bisa!

***

Malam sudah hampir tiba. Aku masih bersandar di balik tiang, menunggu dua orang yang dulu berjanji padaku di suatu sore. Apakah ia sedang menikmatinya di Machasussette, Fifth Avenue? Sudahkah ia membelikan T-shirt untukku? Atau apakah orang yang dulu berkata bisa itu sedang berkeliling Eropa seperti mimpinya dulu? Aku menunggu, bersana sepuluh kata itu.

***

I just wanna remind all members of utopia breaker, this is why UB exists. Keep our struggle, guys!

Minggu, 07 Desember 2008

Generasi Muda: What do You Think The Nation is


Kita memang memiliki masalah yang pelik. Bayangkan saja, hampir di setiap sudut negeri ini kita jumpai kesalahan dan kegilaan dengan beragam wujud yang tak menentu. Mulai dari ketidaktertiban penyebrang jalan seenaknya yang terlihat biasa saja, bedesak-desaknya penumpang bus kota yang terasa melelahkan, pemandangan asap rokok dari mulut pelajar yang terfikir menjengkelkan, pencopetan, jambret, maling, rampok, penganiayaan dan pembunuhan sadis yang begitu menakutkan sampai penjualan VCD porno, kasus narkoba dan seks bebas yang (sst..) diam-diam menyenangkan.

Semua problematika itu kerap kali kita dengar dari televisi, radio, koran, majalah, atau Internet. Ada masyarakat yang benar-benar antusias dan berfikir kembali tentang perbaikan bangsa, ada yang menjadikannya sekedar pelengkap sarapan pagi, bahkan ada yang sengaja memburu koran untuk membaca berita pelecehan seksual yang menceritakan detail kejadiannya. Alih-alih sadar akan kriminalitas, mereka malah menikmati kasus-kasus porno yang tak kalah ‘panas’ dengan novel-novel porno murahan. Dan redaktur koran itupun sengaja membuatnya untuk dinikmati, bukan direnungi. Karena kalau masyarakatnya sadar, mereka akan bangkrut.

Tapi kita tak akan membahas deretan masalah itu satu persatu yang akan membuat kita kesal. Kita akan berbicara tentang kenyataan bahwa banyak kesalahan dan kejahatan tadi telah menyusupi kehidupan dan berserakan di banyak tempat yang kita jumpai. Ia menjadi teman perjalanan dari TV sampai ke sekolah, pelengkap keripik singkong di kantin sekolah saat istirahat, sampai terselip di sela-sela penjelasan guru kita, “Da negara kitamah Negara susah!”

Akhirnya kita terbiasa untuk mengutuki Negeri kita sendiri. Dengan fasihnya kita berbicara tentang ketidaktertiban, dengan tegas kita meledeki ketidaktepatan waktu, dengan riang kita menertawakan kebodohan masyarakat, dan dengan lantang kita melecehkan moral bangsa.

Kita sudah benar-benar terbiasa untuk menyerapahi Negara kita. Bahkan sampai merasa malu untuk mengaku diri sebagai orang Indonesia. Tapi apa yang sebenarnya kita kutuki dan serapahi itu? Ketika berbicara ketertiban, secara tak sadar kita tengah menyebrangi jalan raya dengan seenaknya yang menyebabkan kemacetan padahal tak jauh dari sana sudah tersedia jembatan penyebrangan, atau mungkin kita sedang menyerobot antrian orang lain karena tak ingin menunggu lama. Saat meledeki ketidaktepatan waktu, kita sepertinya tak ingat lagi berapa kali kita pernah dimarahi guru karena terlambat masuk kelas. Saat dengan riangnya menertawakan kebodohan masyarakat, di kasus Freeport katakanlah, kita terbahak-bahak oleh ketidakbecusan orang Indonesia dalam mengelola pertambangan padahal nilai ulangan Fisika kita merah, dan Kimia kita anjlok. Saat lantang melecehkan moral bangsa karena korupsi, kita tak pernah sadar bahwa kita telah berulang kali menipu orang tua dengan menaikkan harga buku jauh dari harga sebenarnya untuk tambahan uang jajan. Maka saat kita meledek, menertawakan, mengutuk, dan menyerapahi bangsa ini, secara tak sadar kita telah meledek, menertawakan, mengutuk, dan menyerapahi perbuatan kita sendiri. Seperti sebuah pepatah mengatakan, ‘muka jelek cermin dipukul’. Nampaknya seperti itulah kondisi kita. Kita memukuli kenyataan bangsa yang kacau, padahal itu tak lain adalah cerminan dari diri kita sendiri.

Tidakkah kita merasa malu untuk ini semua? Untuk ketidaktertiban, kebodohan, dan imorarilas yang kita buat sendiri. Lantas, siapa yang seharusnya mengaku malu, diri kita untuk menjadi bangsa Indonesia, atau bangsa ini untuk mengayomi orang-orang semacam kita?

Maka sudah saatnya sekarang kita sadar. Ternyata masalah-masalah yang kerap kita bicarakan berasal dari diri kita sendiri. Kita harus dapat memandang permasalahan ini tidak hanya sebagai ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasinya, tapi juga sebagai kekhilafan kita yang terus mengulanginya. Memang benar kita mendapati bahwa korupsi adalah urusan Negara, tapi ternyata kita sendirilah yang menggandongi bibit cikal-bakal korupsi. Begitupun dengan yang lain, kita jugalah yang ikut bertanggung jawab atasnya. Mari sekarang kita pandang setajam mata elang bahwa semua masalah ini adalah masalah yang kita sendiri perbuat, maka untuk memperbaikinya kita harus memperbaiki diri kita sendiri dahulu.

Untuk semua generasi muda, mari sekarang kita bangkit. Sudah saatnya kita keluar dari semua keterpurukan ini. Indonesia tak akan terus menjadi seperti ini jika kita sadar dan menghendaki perubahan. Indonesia belum selesai selama masih memiliki kita. Maka mari kita mulai lembaran baru, untuk menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.