Minggu, 06 September 2009

UTOPIA BREAKER

Sudah hampir dua bulan kita hidup di tempat kita masing-masing. Di tempat yang dulu hanya muncul dalam khayalan kita yang paling tinggi. Ya, dua bulan yang tak mudah, dua bulan yang sulit. Tiba-tiba saja kita harus berhadapan dengan banyak hal berbeda. Teman-teman, budaya, lingkungan, kompetitas, dan banyak hal lainnya. Terlebih di sini, aku hanya mendapati beberapa gelintir orang Sunda, tak ada teman sesekolah, tak kutemui senior dari DA (pernah sekali, dan hanya sepintas saja), membuatku seakan sendiri dalam planet dan peradaban lain. Apalagi kehidupan pesantren yang membentuk diriku sangat berbeda dengan kehidupan anak SMA pada umumnya.

Mungkin kalian juga begitu. Kita sama-sama melewati dua bulan yang sulit ini. Saat dulu kau sms aku meminta saran untuk hidup yang lebih baik, aku langsung sadar ternyata kita mempunyai masalah yang sama; seakan kehilangan segalanya. Jelasnya, dulu kita tumbuh di pesantren dengan kebiasaan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan di manapun, dan sekarang kita harus pindah pada kehidupan baru yang berbeda itu. Kita kehilangan pesantren kita, kehilangan hidup kita.

Mungkin ini hanya masalah adaptasi. Kita hanya kaget dan belum mengerti sepenuhnya tentang hidup baru ini. Begitu kufikir. Tapi justru menurutku saat inilah yang penting. Ini adalah saat kita membentuk hidup dan pandangan baru. Saat-saat ini adalah saat kita menentukan ke mana kita melangkah nantinya. Begini, sekarang kita seakan membuang semua titel dan status yang menempel di dada kita sebelumnya. Jika dulu kita ke mana-mana membawa predikat pintar, jenius, kritis, di dada kita, sekarang semua itu harus luntur karena teman-teman baru kita juga sama orang-orang pintar dan jenius. Kalau kata teman baruku yang pernah sekolah di Belanda bilang, di sini kamu seakan menemui copy-paste dirimu sehingga kamu yang tadinya pintar kini menjadi biasa saja seperti yang lainnya. Kita kehilangan status dulu dan mulai mencari status lain sehingga menjadi seperti anak lugu polos yang sedang kebingungan mencari jalan untuk melangkah. Kita menemui kebingungan antara menjadi orang pintar yang entah seperti apa sosoknya, menjadi orang biasa, menjadi pendiam, menjadi aktivis tukang demo, menjadi militeristik, intelektual, debator, atau bahkan menjadi sosok berandal, hedonis, dan, mungkin juga jauh dari agama. Aku fikir tidak mudah bagi seorang yang tadinya dianggap ‘dewa’ kemudian derajatnya turun derastis menjadi orang biasa untuk percaya dan optimis. Ia seperti orang yang terbanting begitu keras dan jatuh kesakitan sampai seakan lumpuh. Jatuh terbanting dari derajat ‘kedewaan’ pada derajat orang biasa. Ia harus memilih, antara berjuang atau putus asa.

Ada satu masalah yang sama kita hadapi di saat seperti ini. Kita tak punya teman yang mengulurkan tangannya untuk membantu kita bangun saat jatuh terbanting tadi. Aku melihat teman-teman baruku di sini datang bersama banyak teman se-SMA-nya, atau setidaknya sedaerahnya. Dengan begitu mereka bisa saling berbagi, mengerti, dan mendorong satu sama lain. Sementara kita datang sendiri-sendiri. Tak ada yang benar-benar mengerti kita sebagai anak pesantren, kita juga tak benar-benar mengerti mereka sebagai anak SMA. Maka meskipun kita akrab dengan teman-teman baru ini, masih ada ruang di mana mereka tak bisa mengerti kita dan kita tak bisa mengerti mereka.

Maka yang kita butuhkan sekarang adalah teman. Orang yang mengerti dan memotivasi kita untuk maju. Orang yang bisa mengerti dan membuat kita tak lagi seakan sendiri. Orang yang dulu kita anggap sebagai keluarga. Orang yang mampu mengarahkan kita pada jalan baru yang lebih baik. Maka UB, sekarang saatnyalah kita berkumpul lagi. Seperti usai solat maghrib dulu, kita berdoa bersama dan berkomitmen bersama. Kita butuh itu sekarang. Dulu kita saling mengingatkan untuk tahajjud bersama, saling membangunkan malam-malam. Kita butuh itu sekarang agar spiritualitas yang–aku yakin– telah membuat kita sukses sampai di universitas terbaik sekarang ini tidak pudar.

Aku mengerti jarak kita tak sedekat dulu. Aku di Depok, kalian di Bandung dan Jogja. Pasti jarak harus menjadi alas an utama kurangnya koordinasi. Ditambah deretan kesibukan lain yang acap kali membuat kita lupa akan segalanya, termasuk ‘keluarga’ kita dulu. Tapi aku ingin kita mengerti keadaan kita sekarang, bahwa kita menghadapi kehidupan yang sulit, dan saat ini adalah saat yang menentukan untuk ke depannya akan seperti apa kita. Setidaknya aku ingin bilang bahwa aku butuh UB sekarang, dan aku fikir kalian pun begitu.

Mari kita berkumpul lagi kawan, dengan komitmen dan idealisme dulu. Cita-cita kita belum selesai. Bukan UGM, ITB, atau UI tujuan akhir kita, bukan itu utopia yang ingin benar-benar kita tembus. Ingat Harvard, ingat Eropa, dan ingat rencana kita untuk bertemu di sana. Aku tak ingin komitmen itu kabur begitu saja karena kita kita salah melangkah dan salah memandang di saat-saat yang menentukan ini. Karena tak ada yang mengulurkan tangannya saat kita jatuh terbanting keras. Bukan putus asa yang harus kita pilih, tapi berjuang dengan sekuat tenaga. Dan kita dapat melakukannya jika bersama seperti dulu.

Oke, aku minta komentar kalian para UB untuk ini. Terima kasih.