Sabtu, 22 Mei 2010

TUHAN

—Sebuah logika sederhana

Sudah hampir satu tahun saya meninggalkan pesantren dan kehidupan di dalamnya. Tanpa penyesuaian apapun, saya langsung masuk Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, rahim para intelektual dan pemimpin bangsa ini. Banyak sekali perubahan yang ekstrim di sini, dari mulai cara bergaul, berfikir, belajar, dan banyak hal lainnya. Di pesantren saya terbiasa menghafal ayat-ayat suci, menelaan pendapat para ahli tafsir, mengkaji kitab kuning, dan lain sebagainya. Sementara di sini, hampir semua hal dalam mata kuliah dan ceramah-ceramah didasarkan pada logika rasional tanpa dasar agama. Semua menjadi harus sangat logis. Saya mengalami bantingan dari satu cara pemikiran ekstrim (di mana semua harus berdasar pada agama) kepada sisi ekstrim lainnya (di mana semua harus berdasar pada logika). Beberapa bulan berlalu, fikiran saya mulai berkeliaran.

Kenapa saya harus sholat? Kenapa harus Islam? Kenapa harus beragama? Pertanyaan-pertanyaan liar itu keluar selepas solat Jumat suatu hari. Tiba-tiba saja saya berfikir bahwa alasan saya beragama adalah karena dari dulu orang tua menyuruh untuk begitu, doktrin-doktrin ustadz juga. Lantas saya mengikutinya tanpa ada ruang samasekali untuk berfikir ulang tentang sebuah alasan penting, kenapa harus beragama? Usai solat jumat itu saya benar-benar termenung. Tuhan pernah berfirman bahwa kita akan mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan sendiri. Lantas, jika agama adalah suatu yang dipaksakan dari kecil tanpa kesadaran yang jelas, maka apakah kita akan bertanggungjawab juga padahal itu bukanlah kesadaran murni kita, akan tetapi lebih merupakan kesadaran paksaan dari banyak orang? Jika saya beragama karena orang tua saya adalah orang yang fanatik beragama, lantas saya mengikutinya, apakah Tuhan akan menilai keberagamaan saya dengan baik? Lalu bagaimana dengan orang yang dilahirkan dari keluarga atheis, atau agnostik yang orang tuanya tidak sempat “memaksakan” untuk beragama? Apakah ia akan disiksa akan ketidakberagamaannya karena orang tua mereka tidak beragama? Adilkah?

Fikiran saya kemudian beranjak untuk meninjau ulang kembali keberagamaan ini. Keberagamaan atau tidak adalah tanggungjawab pribadi, saya yang berhak menentukan. Saya yang mempertanggungjawabkannya di depan Tuhan. Dalam kegalauan itu, mulai tergambar arah-arah yang beragam, mulai dari menjadi benar-benar muslim dengan alasan yang jelas, mencari Tuhan, bahkan, menjadi agnostik. Dalam pencarian itu, seakan saya menjalani keagamaan secara ‘netral’ meski tetap menjalankan ritual ibadah Islam. Entah, mungkin dorongan beribadah dari kecil tidak bisa ikut netral.

Hari-hari berlalu. Kegalauan akan keberagamaan semakin menjadi-jadi, dan mungkin mencapai titik kulminasinya. Saya mulai ‘capek’, ah, susah sekali menemukan Tuhan. Di titik itu, kehidupan sudah semakin tak berarah, liberalisme!

Singkatnya, suatu hari lain saya melaksanakan solat Jumat di mesjid yang sama. Selepas salat Jumat, fikiran tentang Tuhan itu muncul kembali. Tuhan, Dia Dzat yang Maha Agung. Keagungan Tuhan tidak mungkin dapat dicapai dan dijelaskan oleh manusia secara logis, karena jika dapat diterangkan secara logis, Tuhan sudah tidak Agung lagi, Tuhan sudah sama dengan hal-hal lain yang dapat dipelajari oleh manusia: robot, teknologi, alam semesta, politik, binatang, dan lain sebagainya. Sesuatu yang dapat dipelajari oleh manusia tak lain merupakan sesuatu yang lebih ‘rendah’ dari manusia itu sendiri, karena ia dapat ditangkap oleh akal dan dapat dimanipulasi dalam bentuk lain, atau dapat ditaklukan dan dikendalikan oleh manusia. Jika Tuhan dapat dicapai oleh logika, maka itu artinya Tuhan dapat tertangkap oleh logika manusia, dan, sama dengan hal lain yang dapat ditangkap akal, Tuhan menjadi lebih rendah dari manusia. Ah, menurutku Tuhan tidak serendah itu, ia jauh lebih pintar dari manusia, karena itu kepintarannya tidak dapat dijangkau oleh logika manusia. Tingkah laku Tuhan sangat jauh nan elok dari semua keelokan yang terfikir oleh manusia, maka dari itu keelokannya tidak dapat tertangkap logika manusia. Seperti halnya kenapa ia menciptakan manusia dan memberinya banyak nikmat, sementara ia tidak butuh manusia itu sendiri? Biarlah Tuhan yang tahu, karena jika manusia mengetahuinya, Tuhan tidak lagi menjadi Maha Elok. Segala sesuatu harus ada yang menciptakan, lantas siapa yang menciptakan Tuhan? Ah, jika manusia tahu, maka Tuhan tidak lagi Maha Agung. Justeru karena Dia tidak dapat ditangkap oleh logika manusia, Dia menjadi Tuhan. Mungkin kalau Tuhan dapat ditangkap oleh logika manusia, manusia dapat menciptakan tuhan-tuhan baru seperti halnya menciptakan teknologi. Lantas, mungkin Tuhan sangat sayang kepada manusia, kemudian ia ciptakan agama, agar manusia dapat mencapai Tuhan.

Saya kemudian tertunduk, ah, percuma bermain-main dengan logika tentang Tuhan, toh pada akhirnya jika kembali mengakui adanya Tuhan kita akan beragama lagi. Kemudian saya berfikir ada tiga kategori manusia menurut keberagamaannya, yaitu: orang bodoh, orang naïf, dan orang sadar. Orang bodoh bisa jadi atheis atau beragama dan mengakui Tuhan, tapi tidak benar-benar meresapi stance-nya karena hanya mementingkan hal lain yang bersifat keduniaan. Orang naïf adalah orang atheis, yang berfikir bahwa Tuhan tidak logis maka Dia tidak ada. Orang kelompok ini sudah mencapai satu titik kesadaran keagamaan, akan tetapi terlalu dangkal hanya sebatas pemahaman manusia. Orang sadar adalah orang yang sungguh-sungguh beragama setelah sebelumnya ia ragu, karena ia dapat mencapai kesdaran keagungan Tuhan.

Akhirnya, saya sadar Tuhan adalah Dzat Yang Maha Agung. Keagungannya tak dapat ditangkap oleh logika manusia. Saya putuskan untuk beragama secara benar. Bagaimna dengan kalian? Kalau ada yang berandai bahwa keberagamaan dan pengakuan Tuhan itu seperti permainan adu nasib (saya tidak berani menggunakan kata berjudi untuk ini), maka beragama dan mengakui Tuhan adalah pilihan terbaik. Seperti yang pernah dikatakan seorang teman, pilihan untuk ber-Tuhan adalah pilihan paling menguntungkan. Jika seseorang tidak bertuhan dan tuhan tidak ada, maka ia tidak akan apa-apa. Jika ia tidak bertuhan sedangkan Tuhan ada, maka ia akan celaka. Jika ia ber-Tuhan dan Tuhan itu tidak ada, maka ia tak akan apa-apa. Jika ia ber-Tuhan dan Tuhan ada, maka ia beruntung. Lantas jika logika masih belum mau menerima? Ah, biarkan ia bermain di ruang yang disediakan Tuhan untuknya, jangan di ruangan Tuhan yang terlalu besar dan tidak dapat dijangkau. Capek sendiri nantinya.

Jumat, 21 Mei 2010

MEMAKNAI KEMBALI ARTI SYUKUR

Dalam sebuah perjalanan menuju kampus, saya teringat sebuah ayat yang sering didengungkan di pesantren, “lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzabi lasyadid”. (Jika kalian bersyukur maka Aku tambahkan nikmat-Ku, dan apabila kalian kufur, maka sesungguhnya adzab-Ku amat pedih). Ayat tadi sangat sering muncul di kultum-kultum santri, karena mungkin sangat mudah untuk dihafal dan diuraikan dengan contoh-contoh klasik. Akan tetapi, di perjalanan itu saya mendapat ide lain yang cukup konstruktif.

Syukur secara sederhana dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat oleh-Nya. Dengan syukur tersebut kita mengakui ke-Maha Pengasih dan Penyayang sebuah Dzat yang Maha Agung. Dengan sebuah logika sederhana, dapat dikatakan bahwa kasih sayang dari Yang Maha Pengasih sekaligus Maha Agung pastilah berwujud sesuatu yang besar. Maka, berangkat dari sini kita dapat katakan bahwa bersyukur kepada Tuhan harus diawali dengan pemahaman dan pengakuan bahwa kita telah diberi sesuatu yang sangat besar dan luarbiasa oleh-Nya. Sebagai seorang pelajar, saya membuka wacana ini dalam konteks kapasitas pelajar (dalam lingkup pendidikan formal).

Bersyukur bagi seorang pelajar berarti berterimakasih kepada Tuhan karena telah diberi kapasitas belajar (dalam arti seluas-luasnya) yang luar biasa. Anugerah keluarbiasaan tersebut tidak harus dalam bidang yang sama, akan tetapi Tuhan menganugerahkan nikmat keluarbiasaan itu dalam berbagai bidang yang beragam. Ada yang mahir matematik, ada yang bahasa, ada yang olah raga, dan lain sebagainya. Mengingat ayat syukur ini diturunkan untuk semua manusia, maka berarti semua manusia mempunyai keluarbiasaan yang sama. Permasalahan yang terjadi adalah kenapa justeru banyak terlihat kebodohan dan keputusasaan? Kenapa kemudian terjadi perbedaan besar antara si pintar dan si bodoh? Melihat kasus ini, maka jawaban analitisnya adalah banyak orang yang tidak faham keagungan Tuhan yang dianugerahkan kepadanya, meski dalam banyak kesempatan ia secara ritus bersyukur habis-habisan. Tak sedikit pelajar (baik yang mengaku bersyukur atau tidak) merasa bodoh dan putus asa. Dengan kata-kata yang merendahkan dirinya sendiri, mereka memandang dunia dan masa depan secara pesimistis. Akhirnya, terjadi kasus kemalasan, kekecewaan, pembiaran kebodohan, dan lain sebagainya. Sederhananya, banyak orang bersyukur tanpa faham keluarbiasaan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Berangkat dari asumsi bahwa semua orang diberi anugerah yang luar bisa, maka hal pertama yang harus dilakukan untuk dapat bersyukur adalah menyadari dan memahami terlebih dahulu adanya keluarbiasaan dalam diri sendiri. Tidak usah dalam hal akademis, tapi dalam hal-hal lain juga. Bolehlah nilai akademis tidak sempurna, tidak mendapat peringkat satu, tapi dalam hal lain kita pasti mempunyai potensi yang luar biasa. Maka tugas kita adalah menemukan potensi tersebut sampai kita terpesona karenanya dan menyadari bahwa Tuhan telah memberi kita sesuatu yang sangat hebat, bahkan diluar bayangan kita. Setelah itu barulah kita bisa bersyukur dengan dasar pemahaman yang jelas bahwa Tuhan memang Maha Agung dan Pengasih. Jika tidak ada potensi luar biasa yang dapat ditemukan (dan tidak mungkin tidak ada), maka mungkin gugurlah kewajiban untuk bersyukur.

Lanjutan ayatnya adalah jika kita telah bersyukur, maka Tuhan akan menambah nikmat-Nya. Saya melihat ini bersambung dengan pemahaman yang tadi. Ketika kita menemukan potensi luar biasa dalam diri sendiri, maka kita akan terdorong untuk mengembangkannya sehebat mungkin. Kita akan merasa menjadi orang terhebat di bidang itu (atau setidaknya menjadi yang sangat hebat), yang karenanya kita percaya diri dan kemudian terus melaju kencang menggapai prestasi-prestasi. Inilah kiranya salah satu yang dimaksud dengan penambahan nikmat tersebut, bahwa keluarbiasaan akan terus lahir setelah kita menyadari sumber keluarbiasaan yang dianugerahkan Tuhan. Setelah kita menyadari potensi kita.

Kemudian, ayat dilanjutkan dengan hal sebaliknya, bahwa jika kita kufur, maka Tuhan akan mengadzab dengan sangat pedih. Hal yang bersambungan dengan ini adalah jika kita tidak menyadari potensi besar dalam diri kita, lantas kita mengeluh dan putus asa (dan itu artinya kita kufur terhadap nikmat-Nya), maka kita akan mendapati hal yang sangat buruk dan pedih dalam hidup ini: rasa ketidakberdayaan, kebodohan, ketersingkiran, keterhinaan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Mungkin dalam intensitas tertentu ini bisa disebut sebagai salah satu adzab yang amat pedih tersebut.

Teman-teman pelajar, saya hanya ingin mengucapkan, mari kita bersyukur kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya syukur. Tidak hanya melalui doa-doa berbahasa asing (yang mungkin kita juga tak faham betul artinya) sementara dalam berdoa tersebut kita meratapi diri kita sendiri, kita meratapi kebodohan kita sendiri. Seakan-akan kita berkata, Tuhan, aku bersyukur kepadamu dengan segala kebodohan ini. Saya yakin, bukan itu yang Tuhan maksudkan dalam perintah syukur. Mari kita temukan potensi-potensi hebat yang dianugerahkan kepada kita. Mari kita bersyukur dengan sebenar-benarnya syukur.