Ketika peradaban manusia masih dalam tahap pra-modernitas (pra-modernity), dikotomi peran antara laki-laki dan perempuan terbentuk berdasarkan perbedaan fungsional dari aspek fisik yang dimiliki oleh keduanya. Perempuan mempunyai alat yang menyebabkan terjadinya proses reproduksi. Mereka mengalami masa kehamilan yang cukup panjang, di mana pada masa-masa kehamilan tersebut perempuan dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang ringan. Setelah melewati masa kehamilan, kaum Hawa ini harus menyusui dalam waktu yang relatif lama pula. Semua proses reproduksi ini menyebabkan perempuan cenderung statis, sehingga pekerjaan-pekerjaan rumah sangat relevan dengan struktur fisiknya.
Sementara itu laki-laki dianugerahi fisik dengan ketahanan yang relatif tinggi. Kekuatan yang dimiliki laki-laki cenderung lebih besar daripada perempuan. Hal ini menempatkan laki-laki pada posisi yang dinamis, yaitu untuk bekerja keras dan mencari nafkah. Dari sini dikotomi jenderpun terbentuk secara implisit dan diakui secara tidak langsung bahwa perempuan memainkan peran sebagai ibu rumah tangga, dan laki-laki sebagai pencari nafkah.
Akan tetapi, dinamika peradaban melesat begitu cepat yang ditandai oleh revolusi industri di Inggris. Teknologi mulai merebak di daerah perkotaan dan mengambil alih berbagai sektor pekerjaan manusia. Pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan langsung oleh manusia kini tergantikan oleh tenaga mesin dan teknologi. Teknis pekerjaan fisikpun mengalami transformasi pada pekerjaan yang lebih mengutamakan fikiran dan tidak lagi mengambil tempat di sawah, hutan, atau pegunungan, akan tetapi lebih dominan dilakukan di perkantoran.
Seiring dengan revolusi peradaban di atas, timbul satu pemikiran bahwa sektor privat yang digeluti oleh kaum feminis sudah tidak lagi relevan untuk kondisi zaman sekarang. Kini pekerjaan rumah tangga telah banyak tergantikan oleh teknologi. Wanita sudah tak lagi harus menghabiskan banyak waktu untuk menyusui, karena sekarang sudah tersedia botol susu. Begitupun dengan pekerjaan rumah tangga lainnya, yang bahkan sampai pada kehamilan sekalipun. Dewasa ini telah ditemukan proses hamil kontrak yang memungkinkan seseorang menitipkan bayinya dalam rahim orang lain sehingga ia dapat mempunyai anak tanpa harus melewati masa kehamilan.
Jika melirik fakta, perempuan memiliki peran yang cukup krusial terhadap implementasi perdamaian. Di Aceh, terdapat inisiatif kaum perempuan untuk membuat kongres Duek Ureung Pakat Inong Aceh dengan tujuan resolusi konflik. Di Ambon, kelompok-kelompok perempuan berada di garis depan untuk aktif memulai kembali aktifitas ekonomi ketika para laki-laki terus berperang. Bahkan perempuan dari Kei di Maluku berkemah di tengah-tengah jembatan menuntut kedua kelompok yang bertikai untuk berhenti. Dengan demikian, secara faktual terbukti bahwa perempuan memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat khususnya dalam resolusi konflik. Hal ini memungkinkan bagi terbukanya peran untuk kaum perempuan di sektor publik. Dan tentu saja terdapat dikotomi peran antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada konsep biologis, agama, dan konsep lainnya yang berlaku di masyarakat.
Akan tetapi, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan nampaknya masih berupa idealisme. Sektor publik begitu didominasi kaum pria. Untuk menanggapi hal ini, sejak tahun 1960an gerakan feminisme (feminism movement) mulai lahir. Gerakan ini menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan yang terdistorsi oleh diskriminasi jender. Dalam gerakan ini, perempuan dinyatakan begitu dirugikan oleh ide-ide dikotomi jender seperti konsep patriarkal yang hanya menyebabkan hegemoni kaum maskulin terhadap kaum feminin. Secara teknis, objek kritikan gerakan ini berbeda-beda. Feminisme liberal melancarkan kritikannya terhadap paham liberal yang mengutamakan kesamaan dan kebebasan individual yang berlaku, akan tetapi hal itu lebih cenderung hanya untuk kaum laki-laki. Feminisme sosialis menyerang sistem sosial ekonomi kapitalis yang mengenal kelas sosial (social class). Feminisme radikal terhadap aspek biologi (nature) yang menyebabkan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, seperti kehamilan yang harus dialami kaum hawa. Kelompok ini juga menolak lembaga perkawinan yang menurutnya adalah formalisasi penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dan selanjutnya adalah feminisme teologi, yang berdasar pada asumsi bahwa agama merupakan alat untuk membebaskan golongan tertindas, bukan untuk melegitimasi hegemoni penguasa.
Selain itu, teori feminis juga mencuat pada tingkat internasional. Teori ini berupaya menyelidiki dan memperbaiki sistem yang tercemar oleh diskriminasi jender. Dalam pandangan Hilary Charlesworth, teori ini difokuskan pada upaya menyelidiki apa yang menyebabkan berlangsungnya peran dominan dari kelompok laki-laki atas kelompok perempuan. Pada gilirannya, kelompok feminis ini akan berupaya supaya kejadian tersebut tidak terulang lagi.
Akan tetapi, sejak kebangkitannya pada tahun 1960an, persamaan hak yang dituntut gerakan feminisme sampai saat ini masih berupa konsep. Sektor publik masih dikuasai kaum maskulin dan sektor privat oleh kaum feminin. Bahkan dewasa ini gerakan feminisme menjadi sebuah polemik tersendiri di kalangan masyarakat karena gagasan-gagasan yang disuarakannya terkesan utopis, dan absurditas target yang dicapainya, yaitu menghilangkan dikotomi peran yang disebabkan jender.
Dalam menanggapi hal ini, gagasan kelompok biological essentialists mungkin dapat diperhatikan. Kelompok ini berasumsi bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan esensial yang berimbas pada dikotomi jender. Perempuan hamil, menyusui dan mengalami proses reprodusi sementara laki-laki tidak. Dengan demikian, kelompok ini beranggapan bahwa peran keibuanlah yang cocok bagi kaum feminis.
Di sisi lain, terlepas dari perbedaan esensial antara feminitas dan maskulinitas, terdapat juga hak-hak yang harus bernilai sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini seperti tuntutan yang disuarakan oleh R.A. Kartini mengenai hak perempuan untuk memperoleh kesamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan entitas yang berbeda dengan tuntutan-tuntutan lainnya seperti tuntutan perempuan untuk menjadi pemimpin dan lain sebagainya. Tuntutan akan pendidikan terlepas dari pengaruh biologis yang secara alami dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Pendidikan terlepas dari faktor apapun yang menghambat perempuan untuk mendapatkannya. Pendidikan mutlak dapat diterima secara sejajar baik oleh laki-laki ataupun perempuan.
Di era modern ini, tuntutan perempuan akan kesamaan hak dalam mendapatkan pendidikan telah terpenuhi sepenuhnya. Kini tak ada lagi diskriminasi jender di mana kaum perenmpuan tidak mempunyai hak seluas yang dimiliki kaum laki-laki dalam mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tinggi kini sudah terbuka bagi kaum perempuan. Akan tetapi, yang menjadi masalah sekarang bukanlah tuntutan hak pendidikan bagi kam perempuan, akan tetapi mengenai aplikasi pendidikan tersebut dalam masyarakat. Zaman sekarang laki-laki dan perempuan mempunyai intelektualitas dan pengetahuan yang sama, akan tetapi dalam kenyataannya peran-peran dalam dunia sosial masih dikuasai laki-laki. Maka seyogyanya sekarang perempuan menuntut perannya dalam praktek lapangan. Dan tentunya harus sesuai dengan potensi esensialnya masing-masing.
Jika ditinjau dari aspek biologis, perempuan dan laki-laki memiliki bermacam perbedaan yang mengharuskan pada adanya dikotomi jender. Misalnya pada perbedaan alat reproduksi. Laki-laki mempunyai buah pelir (testis) yang merupakan sumber pembentukan hormon testosterone dan perempuan mempunyai ovarium sebagai alat produksi hormon prolactin, extrogen, dan progesteron. Hormon-hormon tersebut (khususnya testosterone dan extrogen) selain berpengaruh pada struktur organik seperti pergerakan otot, pola raut muka, dan pelebaran dada, juga memegang peranan krusial bagi terbentuknya sifat feminitas dan maskulinitas. Hormon testosterone dalam tubuh laki-laki membawa sifat agresifitas dan kompetitas yang menyebabkan laki-laki cenderung bersikap agresif dan kompetitif. Sedangkan hormon extrogen dalam tubuh perempuan membawa perempuan pada kecenderungan sinergistik dan pengasuhan.
Dengan perbedaan esensial tersebut, maka terdapat proporsi peran yang berbeda yang harus dimainkan oleh perempuan dan laki-laki sesuai sifat feminitas atau maskulinitas yang terbentuk dalam dirinya. Laki-laki dengan hormon testosteronenya yang berbanding lurus dengan agresifitas dan kompetitas akan sinkron dengan hal-hal yang agresif dan kompetitif seperti pasar bebas (free market) dan glogalisasi. Sedangkan perempuan dengan hormon extrogennya mempunyai proporsi sendiri dalam hal yang cenderung edukatif dan mengasuh.
Sejenak kita bisa melirik pada globalisasi yang digembor-gemborkan oleh Negara-negara Barat khususnya Eropa dan Amerika. Di sini sistem ekonomi semakin terintegrasi tanpa batas yang membuka jalan bagi persaingan global. Di satu sisi, ini membawa dampak positif karena mendukung perkembangan ekonomi dan teknologi secara pesat. Produksi dan inovasi akan lahir setiap saat. Tapi di sisi lain, sistem globalisasi yang berbasis kapitalisme ini juga sinkron dengan sistem feodalisme di mana terdapat kelas-kelas social (social class) dalam masyarakat akibat dari persaingan global. Akhirnya terbentuklah golongan si kaya dan golongan si miskin, dengan eksplorasi besar-besaran oleh si kaya terhadap si miskin. Dalam konsep globalisasi ini, yang memainkan peran subjek dan objek tidak lagi berupa rakyat, akan tetapi semua negara di dunia. Negara maju (developed country) akan memperluas pengaruh ekonominya ke Negara lain, khususnya Negara berkembang (developing country). Negara berkembang ini akan semakin terbelakang dengan kesenjangan yang besar antara tingginya tingkat konsumsi dengan rendahnya intensitas produsi. Imbasnya, Negara-negara berkembang akan menggantungkan kebutuhan-kebutuhan ekonominya pada Negara maju. Dengan begini, muncullah ungkapan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Untuk menghadapi hal ini, diperlukan adanya daya saing (competence) yang tinggi dari pemerintah dan subjek ekonomi. Karena kita tahu bahwa di balik globalisasi ini terselubung ambisi barat untuk mendominasi ekonomi dunia dengan agresifitas dan kompetitas sebagai ciri utamanya. Untuk melindungi eksistenksi Negara dalam globalisasi ini, diperlukan agresifitas dan kompetitas yang tinggi pula. Dan sifat-sifat ini cenderung sinkron dengan sifat maskulinitas.
Di sisi lain, secara internal Negara juga tak lepas dari tuntutan kebutuhan-kebutuhan krusial lain seperti pendidikan (baik moral maupun akademis), kesehatan, dan perdamaian. Agar lebih jelas, mari kita tinjau satu persatu kebutuhan tersebut. Pertama, kebutuhan akan pendidikan. Dewasa ini, realitas sistem pendidikan formal (khususnya di Indonesia) seakan mengalami transformasi ke arah radikalisme. Dewasa ini tindak kekerasan oleh guru terhadap muridnya sudah merupakan satu kelaziman di lingkungan sekolah, mulai dari bentuk tempelengan sampai pemukulan. Semua ini menunjukkan bahwa tujuan edukatif dari pendidikan telah terdistorsi sedemikian rupa. Dan fakta-fakta tersebut didominasi oleh peran laki-laki dengan sifat maskulinitas yang tinggi.
Pendidikan formal idealnya membekali objeknya baik dari segi moralitas maupun akademis secara intensif, sehingga kader yang dibentuknya mempunyai intelektualitas dan karakter yang baik. Akan tetapi, realitas kontemporer dunia pendidikan cenderung diwarnai kekerasan yang selain berpotensi besar untuk mengacaukan proses belajar juga mempunyai potensi yang signifikan dalam membentuk karakter objeknya.
Dengan melihat paradoks dalam dunia pendidikan di atas, maka diperlukan adanya satu reformasi pada beberapa aspek pendidikan. Dan objek esensial dari reformasi tersebut tentu saja adalah realitas radikalisme. Kekerasan dalam dunia pendidikan harus diminimalisir sedemikian rupa dan ditransformasi pada konsep pengasuhan dan pengajaran yang benar-benar edukatif. Dan hal ini sangat relevan dengan sifat feminitas kaum perempuan.
Ke dua, mengenai urusan kesehatan. Tema kesehatan menganbil tempat yang cukup krusial dalam masyarakat. Masalah-masalah kesehatan seperti penyakit-penyakit dan kekurangan gizi menjadi perhatian khusus yang harus ditanggapi secara profesional. Oleh karena itu, idealnya urusan kesehatan diperankan oleh pihak yang mempunyai tingkat kepedulian serta pengasuhan yang tinggi. Dan menurut konsep biologis, perempuanlah yang memenuhi syarat kepedulian dan pengasuhan tersebut.
Akan tetapi, bukan berarti dunia kesehatan harus dipegang oleh kaum feminis secara absolut. Peran sentral seperti menteri kesehatan memang cocok untuk kaum feminis, akan tetapi, lain halnya dengan peran dalam hal teknis lapangan seperti dokter di rumah sakit dan peramu obat-obatan. Peran-peran ini cenderung sejalan dengan intensitas kemampuan seseorang. Untuk meramu obat misalnya, hal ini bergantung pada seberapa besar seseorang menguasai ilmu farmasi, bukan pada seberapa besar kepedulian seseorang. Jadi, hal-hal yang menyangkut peran teknis dapat juga relevan bagi kaum maskulin.
Dengan penempatan secara proporsional tersebut, maka perempuan dapat berpartisipasi secara aktif di sektor publik khususnya dalam memperjuangkan perdamaian. Perjuangan mewujudkan perdamaian merupakan hal yang kompleks, yang tidak hanya dilakukan dengan memberantas kekerasan, peperangan, atau hal lain semacamnya. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerdawarminta, kata damai mengandung artian keadaan tak bermusuhan (tak ada perang dsb.). Maka untuk mewujudkan keadaan seperti demikian, diperlukan masyarakat yang terdidik (baik secara moral dan akademis), stabilitas ekonomi yang memungkinkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyat, dan masyarakat yang sehat secara fisik.
Akan tetapi, fakta menyatakan bahwa kedudukan perempuan ternyata lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini secara khusus dilihat dari aspek pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam paradigma masyarakat, terdapat kecenderungan bahwa maskulinitas lebih tinggi daripada feminitas. Hal-hal yang menyangkut pekerjaan laki-laki dianggap lebih daripada hal-hal yang menyakut pekerjaan perempuan. Padahal, kenyataannya tak ada perbedaan antara jumlah orang pintar laki-laki dan jumlah orang pintar perempuan. Mengenai hal ini timbul anggapan dari kalangan penstudi Hubungan Internasional bahwa kita hidup di dunia di mana sifat maskulinitas dianggap lebih tinggi daripada feminitas. Akibatnya, timbullah apa yang disebut hirarki jender. Menurut hemat penulis sendiri, yang menjadi masalah di sini adalah penempatan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Di tingkat intelektualitas, memang hampir tidak terjadi perbedaan antara kaum feminin dan kaum maskulin, akan tetapi dari segi implementasi, hal tersebut jelaslah berbeda. Intelektualitas memang dapat dimiliki oleh siapapun, akan tetapi realitas adalah tergantung potensi esensial antara perempuan dan laki-laki. Karena tertapat kesenjangan yang cukup lebar antara teori dan aplikasi lapangan (khususnya dalam ilmu sosial). Maka dalam masyarakat yang plural, permpuan haruslah dapat menyesuaikan eksistensinya secara proporsional. Dalam hal ini akar masalahnya bukanlah perbedaan peran dan hak sosial antara laki-laki dan perempuan yang cenderung diskriminatif, akan tetapi bagaimana peran perempuan yang sesuai dengan potensi esensialnya dapat dikembangkan. Karena bagaimanapun juga, laki-laki dan perempuan mempunyai unsur biologis yang berbeda dan oleh karena itu menempatkannya pada peran yang berbeda pula. Bukan berarti perbedaan peran ini mengandung unsur yang diskriminatif, akan tetapi kedua-duanya mempunyai proporsi yang berbeda yang tidak dapat dibandingkan mana yang lebih utama dan mana yang tidak. Sekali lagi, yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana peran perempuan dapat dikembangkan sehingga tidak terus terpaku pada hal-hal tradisional.
Memang, ada anggapan bahwa peran yang dimainkan kaum perempuan baik sebagai ibu rumah tangga atau peran-peran lainnya bersumber dari faktor kultural yang mengakar dari zaman dulu. Secara kultural perempuan ditempatkan dalam posisi yang inferior. Dan hal itu terus terjadi sampai sekarang. Lantas, ada anggapan bahwa untuk meninggikan derajat eksistensi kaum perempuan dalam masyarakat adalah dengan mengubah status quo yang terbentuk sejak zaman purba tersebut dan digantikan oleh kesamaan hak sepenuhnya dalam berbagai aspek kehidupan antara pria dan wanita. Akan tetapi tentulah ini merupakan asumsi yang utopis. Menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan berarti juga membuat laki-laki harus dapat mengandung, menyusui dan lain sebagainya yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh laki-laki. Jadi benang merahnya adalah ada sesuatu yang tidak dapat diperankan laki-laki dan ada sesuatu yang tidak dapat diperankan perempuan. Jika demikian, maka asumsi yang seharusnya muncul adalah derajat baik itu laki-laki atau perempuan tidak diukur dari bagaimana mereka dapat meraih jabatan atau memerankan sesuatu, dengan penilaian yang murni harus sama. Akan tetapi, penilaian tinggi atau tidaknya derajat laki-laki atau perempuan haruslah diukur dari bagaimana ia menjalankan perannya dengan baik. Karena penilaian tentang tinggi rendahnya derajat yang didasarkan pada jender sangatlah terpengaruh oleh faktor-faktor lain seperti kapitalisme dan meterialisme, yang jika penilaian itu didasarkan pada hal-hal tersebut, maka yang akan terjadi adalah relatifitas dan ambiguitas penilaian itu sendiri yang akan terus bias seiring berjalannya waktu dan berbedanya tempat.
Dengan demikian, idealnya potensi esensial yang terdapat pada diri laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Artinya, penempatan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dilakukan secara komplementer di mana laki-laki dan perempuan mempunyai tempat masing-masing yang proporsional. Dalam masyarakat plural (plural society) tentulah akan terdapat begitu banyak perbedaan, baik itu agama, ras, suku bangsa, atau warna kulit. Akan tetapi semua perbedaan tersebut akan menciptakan satu tatanan masyarakat yang bisa saling menghargai dan mengakui eksistensi masing-masing beserta perannya tersendiri. Eksistensi perempuan dan laki-laki harus dapat dilaksanakan secara proporsional dan saling mengakui, bukan diskriminasi. Atau juga berupa tuntutan kesamaan sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki, akan tetapi merupakan penuntutan hak-hak eksistensi perempuan itu sendiri secara proporsional. Secara alamiyah dilihat dari konsep biologis dan konsep alam, perempuan dan laki-laki mempunyai masing-masing perbedaan mendasar secara biologis. Dan otomatis perbedaan tersebut mengakibatkan pada perbedaan peran. Dengan adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara proporsional, maka eksistensi perempuan mendapatkan peran esensialnya dalam tatanan pluralisme.
Sabtu, 11 Agustus 2007
Langganan:
Postingan (Atom)