Sekarang, kurasakan nafasku yang terbang, darah yang benar-benar mengalir, dan langkah yang begitu tegap.
Hmm.., berapa kali ku menangis bulan ini? Berpisah, pergi, keluar, kapan kata-kata itu bisa tak lagi ku dengar? Kemarin teman sekelas, sekarang, kau pamit, pergi jauh. Besok, akankah kata itu terus kutemui dan memaksaku menangis lagi?
Ku tak ingin berpisah, sungguh. Jika perpisahan berwujud benda, pasti sudah ku bakar sampai mengabu. Jika tulisan, pasti kuhapus sampai tak terbaca. Jika, jika.., ah, sudahlah, jika hanya membuat imaji menggila, dan tatapan tak terarah. Ku tak bisa apa-apa selain menerimanya, kecewa, dan menangis.
Percuma ku berteriak, suara keras tak membuatmu kembali. Mengeluh, kau telah pergi. Tapi ku tak bisa tersenyum, tegar, dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Ku tak bisa berbohong, aku menangis, tak peduli siapa yang melihat, dan dimana ku berada.
Sekarang kau telah pergi, tak ada lagi yang mengomentari dengan berkata “jelek“ setelah ku turun dari mimbar, mengajak mengisi pengajian di luar, pergi ke warnet bersama, atau berdebat ketika besok ulangan umum. Semua hanya tinggal cerita.
Mulai dari suatu malam yang dingin, kalian masuk kelasku dengan wajah senyum dan penuh persahabatan. Ku sangat kesal, ngantuk dan capek. Ingin rasanya mengambil selimut, menutupi badan sampai esok. Tapi kalian masuk sangat lama, kelas begitu ribut. Perasaanku semakin boring, menyerapahimu dalam hati. Ku tak berani mengusirmu, mengeluh dihadapanmu. Sampai ketika sudah selesai, ku tersenyum lega, bersyukur.
Sedikit-sedikit terjadilah tragedi pais bekok, pais setum, dan goreng patut. Ku tak mengerti apa itu, mungkin makanan khas daerah seperti goreng pisang dan bala-bala. Kalian menyuruhku membelinya di Bu Oyon. Tak masalah, dan ku benar-benar melakukannya. Setidaknya sampai ku bersikap seperti orang bodoh, lalu semua orang memegangi perutnya dan tertawa sangat keras.
Beberapa hari kemudian kalian masuk asrama, bercerita tentang banyak hal. Aku menyukainya, meski setelahnya sering ketakutan jika sendiri di asrama. Ceritanya terlalu seram. Atau kadang ketika ku harapkan kedatangan kalian untuk duduk di kasurku dan ngobrol seperti hari-hari sebelumnya, kalian malah berbicara hal-hal boring yang tak kusukai. Membuatku ngantuk dan jengah.
Kemudian kita memulai saling mengerti di KMR, belajar tentang banyak hal. Bermuka tebal di hadapan puteri, ditertawai, merasakan kekaguman orang-orang, tepuk tangan, dan sebentar kadang menjadi obrolan banyak orang. Semua menikmati perjalanan ini. Lari ke Ngamplang setiap jum`at subuh, berdebat di Mesjid Agung suatu saat, melaksanakan mission impossible, uji mental di pengkolan, buka bersama, tahajud bersama, festival pocong yang menyenangkan–begitulah kita menyebut jurit malam yang tak menyeramkan dulu–, sampai penutupan yang gelap. Kau, aku, mereka menangis disana.
Atau dengan Hisapbu, ketika sore melewati waktu ashar menjadi saat yang luar biasa. Banyak hal yang seharusnya membuatku pusing dan ku kutuki seperti rumus-rumus fisika, data sejarah IPS, dan undang-undang di PPKn. Tapi ini berbeda. Ku, dan semua menyukainya. Ini menyenangkan, hebat.
Lalu Mading yang penuh kreasi. Meski tak bisa melahirkan tokoh imaji seperti Si Siuk dan Si Fulan, setidaknya ku masih punya puisi yang hebat–dulu ku anggap begitu–. Ini suasana menyenangkan, ketika banyak orang berkerumun untuk melihat apakah karya mereka dipajang, pagi-pagi, selepas bangun tidur di kelas.
Waktu membawa semua orang pada ruang yang berbeda. Ku memegang nama kelas II, dan kalian kelas V. Tak ada lagi KMR, KQR, Hisapbu, atau Mading seperti kemarin bersama. Kalian sudah harus mengurusi ini-itu IRM. Entahlah, ku tak begitu faham. Tapi ku senang. LT, Nasyfest, Marakat, MC dan semua yang kalian buat.
Tapi ini bukan sekedar tertawaan, hiburan yang menghilangkan stress akan hari ini yang entah berapa bahasa kita gunakan untuk menyebutnya, walau seakan tak tertemukan kata yang cocok. Kalian telah membuat sesuatu yang lebih. Dan sekarang, lihatlah, adik-adikmu sudah menjadi seperti ini.
18 Juni 2006, ketika kau memelukku dan menangis...
Ku kesal, tak ingin mengalirkan air mata lagi. Tak ingin kalian pergi, meninggalkan obrolan mesjid, kurawa di ruang makan, dan semuanya. Kalian juga begitu.
Sampai akhirnya, kau benar-benar menutup cerita ini. Tak banyak kata yang tertulis di paragrap terakhir, tapi sangat berharga.
”Maneh neruskeun di DA? hiks, hiks”
”–ku sangat bingung– Hiks, hiks, heueuh“
”Bal, maneh tong ngerakeun urang, nitip DA heueuh, hiks, hiks, hampura urang lamun sok salah ka maneh, hiks”
“Bal, A masih pengen ngobrol di mesjid lagi, hiks, becanda lagi, A gak pengen ninggalin DA, hiks.”
“Iya A, maafin Iqbal, hiks”
Tapi biarlah, kita tak punya jalan lain, karena memang beginilah hidup. Sudah bukan waktunya lagi kalian di sini, ini sudah selesai. Selamat, kalian hebat! Maafkan aku, Terimakasih Kak!
Senin, 02 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar