Indonesia merupakan satu entitas bangsa yang terdiri dari kesatuan budaya yang kompleks. Sejak berabad lamanya keragaman suku dan tradisi tumbuh subur dan menjadi kekayaan tersendiri bagi bangsa ini. Tak kurang dari 360 bahasa dan ratusan budaya memenuhi khazanah kebudayaan Indonesia. Hal ini merupakan satu bukti nyata bahwa bangsa ini mempunyai daya kreasi dan nilai-nilai kehidupan yang tinggi.
Di satu sisi, kita mengakuinya sebagai khazanah budaya yang bernilai tinggi. Akan tetapi di sisi lain, ketika dua karakter sosial dan budaya bertemu, primordialisme seakan menjadi satu sekat yang membuat mereka benar-benar menjadi dua entitas berbeda, menjadi air dan minyak. Rasa kesukuan menjadi tameng utama dalam menghadapi budaya dan bahasa suku lain. Seseorang yang berbahasa Jawa dalam lingkungan Sunda akan dianggap inferior dan lebih ekstrim lagi ditertawakan. Begutupun dengan suku lain yang juga mendiskreditkan budaya bangsa yang bukan berasal dari sukunya. Dalam kondisi seperti ini, potensi disintegrasi bangsa tampak begitu jelas.
Tapi jika kita melirik pada realitas, di mana dewasa ini budaya kosmopolitan, think globally, act locally, mendapatkan signifikansinya dalam kehidupan sosial bangsa kita sebagai satu prakondisi bagi kehidupan multikultur yang membuka jalan bagi budaya lain untuk masuk dan eksis dalam lingkungan lokal, maka nampaknya primordialisme sebagai satu ideologi defensif perlu kita kaji ulang. Ketika dunia sudah semakin bias akan batas teritorial dan globalisasi benar-benar mendekati masa gemilangnya, maka yang terjadi bukan hanya kompetisi ekonomi dan persaingan kerja, akan tetapi di sana terjadi pula persaingan yang begitu halus dan tidak terlihat, yaitu persaingan kultur. Karena bagaimanapun, orang luar yang masuk ke Nusantara ini tidak hanya membawa komoditinya saja, akan tetapi juga sesuatu yang tak kalah pentingnya, yaitu budaya. Makanan Barat yang kian menerobos pasaran kita secara tak langsung mengajari kita akan budaya tempat mereka berasal. Dari mulai cara makan, kecenderungan pada makanan asing, sampai pada tempat makan yang kesemuanya mengantar kita pada paradigma inferior dalam memandang makanan lokal. Begitupula dengan hal-hal lain yang dikemas dengan begitu cantik oleh kaum kapitalis dalam satu paket gaya hidup (lifestyle) yang dengan lembutnya mengaburkan pandangan kita terhadap budaya sendiri dan sedikit-sedikit kita mulai melupakannya.
Lantas, dalam keadaan seperti ini, kita semakin mabuk dalam kultur orang lain dan lupa akan jati diri kita. Sedikit-sedikit kita lupa akan punten kita, kita lupa akan horas kita, kita lupa banyak hal tentang diri kita. Dan klimaksnya, kita mulai mencaci bangsa sendiri sebagai bangsa yang kuno, ketinggalan zaman, dan inferior dibanding dengan bangsa lain. Kita mulai durhaka pada Indonesia, kita mulai lupa akan kulit kita. Dengan begini, nasionalisme akan semakin pudar, orang-orang semakin malas membela bangsa sendiri, bahkan sekedar untuk mengaku sebagai bangsa Indonesiapun malu. Maka bagaimanakah persatuan akan terjalin antara orang yang malu untuk mengakui identitasnya sendiri sementara ia juga merendahkan budaya suku lain dalam negaranya?
Menggali kembali catatan historis negeri ini, saat semangat persatuan mulai muncul. Beberapa dekade sebelum kemerdekaan, orang-orang mulai sadar akan pentingnya jiwa nasionalisme, bukan hanya sukuisme belaka. Benih-benih persatuanpun mulai bermunculan, organisasi-organisasi nasional mulai tumbuh. Sampai klimaksnya yaitu pada deklarasi sumpah pemuda, 28 Oktober 1928. Semangat anak bangsa ini ditujukan dalam rangka meraih kemerdekaan bangsa, dalam meraih hak-hak hidup, kebebasan dari penindasan, hak untuk merdeka baik secara de facto ataupun de joure.
Dilirik dari lensa historis, peristiwa yang dihadapi pahlawan bangsa dulu merupakan penjajahan secara fisik, di mana persatuan bangsa dan penafian primordialisme benar-benar dibutuhkan agar perlawanan terhadap penjajah tidak terus-menerus bersifat kedaerahan. Akan tetapi yang sekarang kita hadapi benar-benar berbeda. Kita hidup dalam rentang waktu 79 tahun setelah peristiwa deklarasi sumpah pemuda. Sejarah sudah banyak berubah. Kini penjajahan bukan lagi berbentuk penindasan fisik, akan tetapi yang kita alami sekarang adalah penjajahan kultural. Kultur-kultur kebanggaan bangsa digerogoti sedemikian rupa sehingga eksistensinya menjadi bias dan terlupakan. Nasionalisme saja tidak cukup, karena yang kita butuhkan sekarang bukanlah pembelaan nasional, akan tetapi pembelaan budaya daerah agar kita dapat mengenal bangsa ini kembali. Lantas apakah di era multi-kultural ini primordialisme memegang satu peran yang signifikan untuk diaplikasikan?
Realitas berteriak kepada kita bahwa yang sekarang kita hadapi bukan lagi kultur Jawa di lingkungan Sunda, bukan lagi kultur Batak di lingkungan betawi, akan tetai kultur-kultur Amerika dan Eropalah yang merasuki kita. Dan anehnya, ketika kultur tersebut mengambil alih posisi kultur ibu kita, kita malah merasa nyaman seolah segalanya berjalan baik. Dulu kita melotot tajam ketika ada satu etnis berbeda dengan budayanya sendiri muncul di daerah kita. Akan tetapi kini kita malah menutup mata ketika budaya kita sendiri digerogoti oleh budaya asing. Sekali lagi, apakah lantas primordialisme adalah paradigma yang harus kita pegang di era multi-kultural ini?
Jika saya ambil satu ilustrasi, di sekolah saya rasa primordialisme terasa begitu kental. Egoisme angkatan benar-benar menjadi ideologi tabu yang digunakan untuk memunculkan eksistensi kelasnya masing-masing. Saat ada acara internal sekolah misalnya, ketika kelas A mendapat giliran untuk tampil, kelas tersebut terlihat begitu antusias apapun yang terjadi. Sementara kelas lain terlihat begitu sinis, bahkan jika penampilannya bagus. Akan tetapi ketika dihadapkan pada lingkungan yang lebih kompleks, lomba di luar misalnya, rasa primordialisme tersebut seakan bias jika dihadapkan pada penampilan satu sekolah, akan tetapi malah muncul ketika sekolah lain tampil. Dan yang justru diinginkan di sini adalah munculnya kata-kata khas yang sering terdengar di sekolah saya, baik itu dari kelas sendiri atau dari kelas lain. Begitupun dengan bangsa ini. Yang sekarang kita hadapi bukanlah era monokultur, akan tetapi multi-kultur. Saat budaya Sunda benar-benar diharapkan dapat muncul di percaturan budaya ini bahkan oleh orang Jawa sekalipun, paradigma kepemilikan budaya itu seakan hilang entah ke mana. Ketika bangsa ini akan bergelut dalam persaingan global, identitas dirinya malah hilang dan orang-orangnyapun pergi jauh. Lantas terjadilah apa yang dinamakan brain drain, di mana tenaga ahli kita malah senang tinggal di luar. Hal ini tak pelak pula disebabkan karena paradigma kultural yang sudah terkontaminasi sedemikian rupa oleh westernisasi. Kalau tidak ada suku bangsa yang memegang budayanya secara utuh, maka siapa lagi? Kalau Indonesia sendiri sudah malu mengakui kultur dan negaranya, maka siapa yang akan memperjuangkan bangsa ini? Terlebih dengan semangat persatuan di mana mereka juga harus mengakui budaya suku lain yang juga didiskreditkan.
Nampaknya kata primordialisme perlu dikaji ulang melalui lensa objektifnya. Kata primus yang berarti pertama dan ordiri yang berarti ikatan yang akhirnya melahirkan kata primordialisme dengan pengertian kurang lebih satu paradigma yang selalu mengedepankan segala hal yang dibawa sejak kecil baik tradisi, adat, nilai-nilai, dan lain sebagainya nampaknya harus kita dekonsturksi ulang agar mendapat teori yang lebih objektif mengenai kehidupan sosial bangsa ini. Kalau definisi di atas lahir pada zaman nenek moyang kita saat lingkungan masih bersifat mono-kultural dan kedaerahan, di mana semangat persatuan begitu dibutuhkan dalam menghadapi penjajah secara fisik, maka apakah definisi tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa yang sudah plural dan mengandung budaya yang begitu kompleks? Yang sekarang dihadapi suku Jawa bukan lagi budaya Maluku atau Papua, akan tetapi budaya asing seperti budaya kapitalis yang menciptakan dinding-dinding sosial, yang mengokohkan strata-strata sosial, yang membuat orang-orang dalam dinding atas mabuk dalam gemerlap posmodernisme dan lupa akan kondisi sosialnya, sementara orang-orang di bawahnya terbatasi oleh dinding-dinding proletar yang diciptakan kaum kapitalis tersebut. Untuk menghadapi kondisi kultural seperti ini, maka perlu adanya paradigma yang lebih kondusif dalam mengartikan apa itu primus ordiri, apa itu ikatan pertamanya.
Dewasa ini masalah kebudayaan perlu dipandang dari lensa moralitas. Peralihan waktu menuju periode modern adalah satu tantangan nyata bagi bangsa ini. Masuknya unsur-unsur kebudayaan asing yang begitu kental dengan aura posmodernisme haruslah kita tanggapi dengan paradigma yang lebih holistik. Ideologi posmodernisme, form follows fun dengan kilau pesonanya menggiring bangsa ini pada satu ruang baru kebudayaan yang begitu absurd, pada kemabukan ekstasi. Kitapun semakin lupa pada budaya, tradisi, adat istiadat, norma, dan nilai tinggi yang kita miliki. Kalaulah tidak ada satu ikatan yang kuat pada kebudayaan masing-masing suku bangsa atau primordialisme, maka bagaimanakah eksistensi budaya nenek moyang yang berharga ini beberapa dekade ke depan?
Salah satu faktor yang menyebabkan dihindarinya primordialisme adalah etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan satu paradigma inferioritas terhadap budaya lain yang dikenal timbul sebagai implikasi logis dari primordialisme. Akan tetapi kita harus mengkaji terlebih dahulu, apakah sama antara menjunjung tinggi kebudayaan sendiri dengan menganggap rendah budaya orang lain? Apakah ketika kita menjunjung budaya sendiri lantas harus mendiskreditkan budaya lain? Bisakah kita berpengan mati-matian pada budaya sendiri tanpa memandang budaya lain melalui lensa etnosentrisme? Lantas, apa yang menyebabkan keterkaitan antara primordialisme dan etnosentrisme? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka ada dua solusi yang penulis tawarkan: 1). Etnosentrisme timbul karena dalam kebudayaan suatu daerah terdapat ajaran untuk memandang rendah budaya lain; 2). Ada unsur lain yang menggiring subjek-subjek dalam suatu budaya untuk memandang rendah budaya lain dengan maksud tertentu yang unsur tersebut berkontaminasi dengannya sedemikian rupa sehingga dianggap menjadi bagian dari budaya itu sendiri.
Untuk solusi pertama, hal ini banyak terjadi pada kaum agamis konservatif yang umumnya disebabkan oleh pemahaman parsial mengenai ajaran agama yang dianutnya. Tak sedikit penganut suatu agama menghafal dalil-dalil dan menyuarakan ajaran-ajaran yang berisi kebenaran dan kesucian agamanya sementara ayat-ayat toleransi antar agama yang juga tertuang dalanm kitab suci kerap kali diabaikan bahkan seakan tidak pernah ada. Akibatnya, eksistensi suatu agama tertentu dianggap sebagai satu entitas yang mutlaq harus tegak sebagai satu-satunya jalan kebenaran, sedangkan agama yang lainnya hanya dilirik sebagai jalan sesat yang mutlaq harus dihilangkan.
Sedang untuk solusi ke dua, di sinilah akar etnosentrisme banyak bermunculan. Seringkali pemahaman terhadap suatu budaya terkontaminasi sedemikian rupa oleh unsur eksternal sehingga unsur yang masuk tersebut seakan mutlaq merupakan bagian dari budaya itu. Hal ini tak jarang terjadi untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelomopok tertentu. Dalam dunia politik misalnya, tidak sedikit subjek yang menyalah gunakan kelompok masyarakat dan budaya tertentu sebagai tunggangannya dalam mencapai cita-cita politik. Subjek A, dengan propagandanya menggunakan kelompok masyarakat A, sedang di sisi lain subjek B juga menggunakan kelompok masyarakat B dalam kompetisi politiknya. Dengan kelihaian berpolitik, secara begitu halus terjadi diskredit terhadap subjek B yang berasal dari kelompok masyarakat B oleh subjek A. Begitupun sebaliknya. Diskredit inipun menjalar pada paradigma kelompok masyarakat untuk memandang kelompok lain yang terdiskreditkan dalam pertempuran politik secara negatif pula. Akhirnya kompetisi politik beralih kepada pergulatan kelompok sosial. Selain mendistorsi esensi perpolitikan, di mana masyarakat sudah tidak lagi memandang subjek politik dari segi kapabilitas dan akuntabilitas, akan tetapi dari segi kelompok etnis, budaya, dan organisasi kemasyarakatan, hal ini juga berpotensi besar dalam menimbulkan disintegrasi bangsa. Untuk meminimalisir hal tersebut, maka dibutuhkan kesadaran berpolitik yang profesional baik dari subjek politik atau masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, kita harus memandang primordialisme secara holistik. Anggapan tentang etnosentrisme sebagai implikasi logis dari primordialisme nampaknya perlu kita fikirkan kembali, karena ternyata masih terdapat faktor eksternal yang bercampur dengan unsur murni suatu kebudayaan dan kerap kali kita lupakan.
Sementara kita lupa akan faktor-faktor tersebut, kita juga semakin lupa akan budaya dan bangsa kita. Kita semakin terhisap pada gemerlap budaya asing karena tak ada ikatan yang kuat pada tiang-tiang kebudayaan kita sendiri. Lantas kitapun mulai mendiskreditkan budaya-budaya bangsa ini dan mengagungkan budaya asing. Maka apakah persatuan bangsa akan benar-benar terwujud?
Sabtu, 05 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar