—Untuk cahaya kecil, yang menyelinap di balik andromeda
(02.00) Malam sudah melewati setengah perjalanannya mengantar hari menelusuri jalanan waktu yang sepi dan gelap. Menuju sang fajar yang menunggunya di ujung timur sana. Diiringi detak jarum jam, desir angin, suara tokek, dan gemerisik dedaunan. Bintang-bintang juga masih asik bermain.
Seseorang masih menulis. Di tengah mimpi-mimpi yang bertebaran bebas, dan godaan kantuk, ia tetap menulis. Tentang secercah cahaya kecil yang ditemukannya lepas senja tadi. Tentang cerita baru yang dialaminya, tentang keberuntungan yang kekal, atau tetap bertahan lama, setidaknya.
Suatu pagi, sore, malam, saat semuanya pudar menjadi begitu buram.
Aku masih mengembara, menelusuri jalanan panjang menuju sebuah utopia besar di khayangan sana. Menjejaki hutan, bukit, gunung-gunung. Sejenak aku berhenti, melihat seorang anak menari-nari di balik alg-alang. Ceria sekali, fikirku. Ia melihatku, tersenyum, dan seakan mengajakku untuk juga ikut menari. Ah, mungkin ini sejenis ritualisme dunia mistis. Entahlah. Aku memutuskan mendekatinya, meski tidak ikut menari; aku tak bisa menari! Sama sekali.
Aku memandanginya, aneh. Lantas ia berhenti menari, dan duduk di sampingku yang masih terheran-heran. Aku bertanya padanya, “Kamu praktisi mistis?” Dia sontak tertawa “Hahaha, bukan, aku orang biasa”. Tapi aku masih belum percaya, biarlah, kusimpan saja keheranan itu. “Aku pengembara”, kataku “aku sedang memburu sesuatu di ujung langit sana.” Wajahnya sesaat menjadi lesu, yah, dia tak tertarik sama sekali. “Aku tak percaya ada orang yang bisa sampai ke sana.” Dia menjawab. Aku pun begitu, sebenarnya. Setengah hatiku juga berteriak tidak mungkin ada yang bisa sampai ke sana. Tapi kalau sama sekali tidak ada yang mencoba, maka khayangan itu akan benar-benar menjadi dongeng anak-anak yang paling indah. Sedangkan aku percaya bahwa itu bukan dongeng, itu ada, dan aku ingin melihatnya.
Lantas aku bertanya tentangnya dan tentang tariannya. Tapi ia hanya tersenyum, senyum mistis yang mengandung banyak teka-teki. Aku tak mengerti, sama sekali. Ia hanya menyelipkan kata-kata ‘mau tau aja, atau ada deh, atau pecahkan sendiri, atau kata-kata lain yang hanya membuatku bertambah tak mengerti. Ah, bisa gila aku dibuatnya. Tapi aku bisa melihat, tersimpan secercah cayaha kecil di balik matanya yang mistis itu. Entahlan.
Hari sudah mulai gelap. Aku tak bisa terus duduk di sini; perjalanan masih panjang. Sudah waktunya kembali berjalan, karena tak terasa detik berlalu begitu cepat, hari melesat menembusi waktu, dan sudah enam bulan aku di sini. Aku tak bisa hanya duduk di sini. Sudah waktunya kembali berjalan..
Senin, 21 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar