Rabu, 24 September 2008

Kecilku di Indonesia


Aku lahir di Bandung, tepatnya tanggal 26 Oktober 1990. Di salah satu kota metropolitan Indonesia. Aku tak ingat bagaimana kondisiku saat itu, bahkan merasa pernah terlahirpun tidak. Tapi saat aku duduk di bangku sekolah, aku tahu kalau tahun saat ku pertama kali menyapa dunia dengan tangis adalah saat kehancuran komunis Soviet. Setidaknya itu membuatku sedikit bangga, walau aku sama sekali tak melakukan apa-apa kala itu. Mungkin hanya kebetulan.

Kebetulan saja aku terlahir saat itu. Karena ayah dan ibu menikah beberapa tahun sebelumnya, karena seorang bidan baik hati –entah kenapa aku menulisnya demikian– berhasil melepasku dari jejaring rahim sempit ke alam luas, dan karena pada saat itu Gorbachev mengumandangkan semboyan glasnot dan perestroikanya, saat itulah aku, tanpa mengerti apapun, hadir menambah daftar penghuni Indonesia.

Tapi betulkah itu suatu kebetulan yang seutuhnya terlepas dari diri kita? Mungkin tidak. Bukankah setiap hari matahari muncul di ufuk timur karena rotasi bumi sudah sampai pada angka 360 derajat dari pergerakannya, dan bukan kerena kebetulan bumi mampir di salah satu sisi yang tersinari matahari? Bukankah Einstein pernah bercerita tentang sekat-sekat waktu yang akan senantiasa kita temui di setiap titik? Bukankah teori-teori eksak mengajarkan kita kepastian, tidak kebetulan? Dan bukankah Muhammad sengaja di lahirkan di Arab untuk misi mulianya? Ah, tapi kita tidak akan terlalu membicarakan teori-teori filosofis ini lebih detail –mungkin lain waktu saja–.

Oke, kalau kita masih bersikeras bahwa semua ini hanya kebetulan, maka kita tidak akan bisa menyela bahwa semua kejadian yang ‘kebetulan’ terjadi bersamaan itu mempengaruhi dan diam-diam membentuk diri kita, disadari atau tidak. Aku lahir saat komunis hancur, dan perang dingin dimenangkan oleh Barat. Maka aku tumbuh oleh hal-hal itu: acara-acara televisi, obrolan orang-orang, sampai pendidikanku di sekolah, semuanya berdalih bahwa liberalismelah yang unggul, dia yang menang. Guru Pknku bilang kita harus menjauhi komunis. Buku-buku ayahku yang kini ku baca semuanya tentang demokrasi. Fukuyama bilang liberalisme adalah akhir dari sejarah (the end of history).

Maka begitupun dengan kalian. Kau, mereka, guru-gurumu, semuanya juga seperti itu. Kapan kita lahir, di mana kita tumbuh, apa yang terjadi saat itu, semua membentuk kita menjadi ‘aku’. Menjadi manusia. Kalau Whitehead pernah berteori bahwa manusia adalah gabungan dari manusia-manusia lain (kita menjadi kita karena fikiran dari orang tua kita, gutu, teman-teman, dan masyarakat sekeliling kita), maka menurutku itu harus ditambah dengan realitas yang ada di sekitar kita, karena kondisi sosialnya juga.

Dan kini kita tumbuh di Indonesia, Negara dengan peringkat korupsi papan atas dunia. Hutang luar negerinya mencapai 200 triliun, pendapatan perkapita di bawah rata-rata, kasus narkoba pelajarnya mencapai jumlah 86 ribu, seks bebasnya seakan tanpa henti, dan kekerasan di sekolah ditambah minuman keras, vodka, marijuana, kokain sebagai pembodohan bangsa, juga pembodohan di televisi yang konyol.

Kini kita tumbuh di Indonesia, kini kita tumbuh bersama hal-hal itu.

Lantas, dengan banyak hal gila tadi, secara otomatiskah kita juga menjadi gila, bodoh, dan tolol untuk seenaknya menghisap heroin, seks bebas, dan hal-hal brutal lainnya? Kalau begini, bukankah kita memang ditakdirkan untuk menjadi jelek karena hidup di Indonesia? Sebentar, bukan itu maksudku. Kita memang diam-diam dibentuk oleh hal-hal yang ‘tak selesai’ tadi, tapi kita masih punya sisi lain yang paling manentukan. Toh kita bukan keledai kan?

Itulah ‘aku’, sesuatu yang paling dalam dari diri kita yang mungkin kitapun tak mengerti. ‘Aku’lah yang menentukan setiap pilihan. ‘Aku’ akan selalu mempunyai banyak sisi untuk diambil, untuk dipilih, dan ‘aku’ memegang supremasi penuh untuk menentukannya. ‘Aku’ adalah raja ketika lepas dari belenggu negatif dunia ini–seks bebas, narkoba, heroin, vodka– dan naik menuju dimensi yang lebih tinggi. Tapi ‘aku’ berbalik jatuh menjadi budak ketika ia diseret rantai semua ketololan itu. Ketika ‘aku’ lebih memilih pornografi daripada film-film keagamaan dan pendidikan, alkohol pada topi miring daripada maltosa dalam susu sapi, remang lampu diskotik daripada terang ruang kelas.

Kita memang tumbuh di Indonesia. Bersama hal-hal yang tak pernah henti membuat kita gila. Tapi kita selalu punya sisi lain, kita adalah ‘aku’ yang akan selalu mempunyai kekuasaan untuk memilih.

Dan mungkin bukan sesuatu yang kebetulan kita lahir di sini, di tanah ini. Mungkin bukan suatu kebetulan sekarang kita berseragam putih abu-abu (atau putih hitam di sekolahku), karena kita harus mempelajari banyak hal. Mungkin bukan suatu kebetulan kau membaca tulisan ini karena kau memang harus mulai mengambil pilihan lain dari hidupmu. Mungkin bukan suatu kebetulan Tuhan membesarkanmu di Indonesia, karena suatu saat kaulah guru di negeri ini, kaulah bisnismennya, kaulah hakimnya, kaulah menterinya, kaulah presidennya.

Indonesia membutuhkan ‘aku’-‘aku’ yang lain, Indonesia membutuhkan ‘aku’-‘aku’ yang raja.

Untuk seluruh pelajar Indonesia, inilah negeri kita. Negeri yang sejak kecil mengajari kita akan kehidupan. Sayangnya kita belum mampu memandang pelajaran itu dengan jelas. Kalaupun hanya kebetulan saja aku lahir saat hancurnya Soviet, maka aku percaya dunia mengajariku untuk tidak jadi komunis, dan aku harus memilihnya agar tidak hancur lagi. Kita tumbuh bersama hal-hal gila, maka aku percaya ada sisi lain di balik kegilaan itu yang sedang mengajari kita untuk tidak melakukannya, hanya saja kita tidak mendengar dan memilihnya. Kita memang dibentuk oleh keadaan lingkungan, tapi lingkungan itu sendiri menawarkan banyak sisi kepada kita untuk dipilih, dan mungkin kacamata kita masih terlalu tipis untuk melihat sisi lain yang ada di balik sana, di jarak yang lain.

Maka sekaranglah saatnya kita berubah. Gantilah kacamatamu, lihatlah sisi lain yang lebih jauh, dan fikirlah matang-matang untuk memilih.

Saatnya untuk berubah. Saatnya untuk memilih maltosa yang menyehatkan daripada alkohol yang memabukkan, saatnya memilih denias atau Laskar Pelangi daripada tontonan sampah itu, dan saatnya kita memilih kemajuan daripada kegilaan.

Indonesia menantimu, pilihlah.

Senin, 15 September 2008

Pondokku yang hilang (1)

Aku menulis essay ini saat pelajaran matematika. Kebetulan Pak Muntaryo tak hadir, sudah 2 minggu ini beliau tak mengajar. Entah, katanya sakit.

Penat dan stress itu lagi-,lagi mengeroyoki kepalaku tanpa ampun. Minggu-minggu ini aku memang menggumuli matematika lebih intens, kebetulan aku sedang mendalami trigonometri untuk persiapan beasiswa dan Senam PTN. Manaklukan 100 soal dan bertatapan berjam-jam dengan kata sinus, cosines, dan tangent cukup membuatku pusing. Seolah bermain kejar-kejaran dalam lintasan spiral yang rumit, dan angka-angka itupun sangat pintar bersembunyi.

Tapi bukan itu yang membuatku murung dan –kadang– migrant. Akhir-akhir ini aku masuk dalam list orang ‘bermasalah’ di pondok. Kejadian 7 September hari minggu lalu terlanyata membekas begitu dalam.

Singkat saja, 7 September kemarin aku dan teman-teman kelas 6 putera mengadakan forum silaturahmi membahas masalah PKL internal (atau jelasnya penggabungan asrama kelas 6 dengan santri Tsanawiyah) antara pondok, orang tua, dan santri kelas 6. Forum berjalan lancer, walau satu dua kali keluar teriakan-teriakan tak terkonsep. Tapi intinya keinginan kami terwujud: pemisahan asrama kembali. Kami senang.

The bigger the joy, the stronger the problem. Nampaknya kesenangan itu belum bisa kusoraki keras-keras, karena saat keluhan kelas 1 tentang kehilangan dan seabreg masalah sepele lainnya selesai, aku harus langsung berhadapan dengan masalah lain yang tak lagi sepele. Forum itu digugat, dipermasalahkan, dan dimasukkan dalam catatan paling hitam kabid ekstrakurikuler. Itu tak jadi soal besar, hanya saja pascaforum banyak aparatur pondok yang tidak lagi melayangkan senyumnya pada kelas 6. Suasana menjadi begitu suram.

Oke, aku akui aku salah. Aku terkesan memaksa pimpinan dan seluruh aparaturnya dalam forum itu. Surat-surat undangannyapun beredar di bawah tanah. Pimpinan baru tahu akan forum ini sore hari sebelumnya. Tapi ini terpaksa. Bukannya kami tak tahu soal birokrasi dan administrasi, ini terpaksa. Kami sudah banyak mengeluh mengenai PKL internal dan meminta forum dengan pimpinan kepada bawahannya sebulan sebelumnya, tapi seakan tak terjadi apa-apa. Saat IRM menyampaikan permohonan mengenai forum ini, mendengar kata PKL saja sudah langsung distop pembicaraan.

Kami sudah terlalu lelah menunggu, menyusuri jalan datar yang seakan tak berujung ini. Maka kami memutuskan mengambil jalan pintas, menyebrangi jurang curam berbahaya.

Kini aku dan Amalul harus membuat surat permohonan maaf kepada semuanya. Biarlah, memang ini akibatnya. Toh kami sudah sampai tujuan, dan sekarang tinggal mengobati luka-luka akibat tergores bebatuan tajam di jurang tadi. Toh kita sudah sampai rumah, maka tersenyumlah.

Tapi semua ini membuatku sadar, ada hal yang harus kita kaji ulang mengenai pondok ini. Kita terlalu sibuk bergumul dalam liku struktural birokrasi yang rumit, membuat letak semuanya benar-benar rapi. Dan nampaknya sekarang kita lupa bahwa ada satu hal penting yang lapuk, terbang terbawa hembusan angin dan hilang. Figur seorang ulama (kalau tidak ingin disebut Kiayi).

Aku sudah harus bersiap solat dzuhur, mungkin akan kulanjutkan nanti.