Kamis, 03 Juni 2010

Keadilan

Keadilan merupakan sebuah ide kesetaraan bagi setiap individu. Ia menjadi harga mati bagi banyak masyarakat dunia dan cita-cita dari berbagai perjuangan. Darinya mengalir energi besar yang amat dahsyat dan tak terkalahkan. Tengoklah sejarah besar Revolusi Perancis yang karena mimpi akan dunia baru yang adil (dengan slogan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan), masyarakat tertindas dapat menumbangkan rezim besar dan memenggal rajanya yang tidak adil. Untuk bangsa ini, keadilan telah secara gamblang tercantum dalam dasar negara (sila kelima Pancasila), dan pembukaan konstitusi UUD 1945 (..penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…) yang dapat dilihat sebagai titik kulminasi kekecewaan akan ketidakadilan para penjajah. Setelah sekian abad terjajah dalam ketidakadilan, keadilan diam-diam menyelinapkan energinya dalam derap perjuangan dan tetesan darah para pahlawan sehingga Indonesia bisa merdeka, sehingga masyarakat Indonesia dapat meraih kesetaraan seperti masyarakat bangsa lain, kemerdekaan. Begitu juga dengan reformasi, keadilan menyelinapkan energi besarnya lewat impian-impian kesetaraan dalam berbagai hal, baik politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Bagaimanapun, keadilan adalah ide yang inheren dalam setiap diri manusia, dan ia akan senantiasa menyelipkan energinya yang luar biasa dahsyat agar gagasan kesetaraan itu dapat terwujud.

Sepertinya, dalam setiap sejarah, gagasan keadilan pertamakali harus selalu muncul dari kepala para cendikia dalam suatu masyarakat. Titik awal kesuksesan kemerdekaan muncul dari kekelahiran Budi Utomo dan organisasi lainnya yang merupakan golongan intelektual. Begitupula dengan Reformasi, saat mahasiswa meneriakkan tuntutan keadilan di hadapan rezim otoriter.

Sama halnya dengan yang terjadi saat ini. Sebagian masyarakat Indonesia di Cina Benteng yang notabene merupakan masyarakat miskin nyaris akan digusur tanpa kompensasi yang jelas. Mereka tengah berjuang menghadapi hidup yang kian sulit, mengharap keadilan datang sehingga hak-haknya untuk mendapat kompensasi yang adil sebagaimana yang terjadi pada penggusuran di tempat lain tercapai. Saat itulah, sepertinya keadilan mulai menyelinap di kepala para cendikianya.

Sebagai golongan yang tersentuh akan ketidakadilan, maka Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2010 mencoba untuk membantu masyarakat Cina Benteng tersebut agar memperoleh hak-hak mereka seperti yang diperoleh masyarakat lainnya. Melalui acara Advokasi Rakyat Marjinal (ARM), yang diantaranya terdiri dari pencerdasan masalah Cina Benteng (diskusi), Bakti Sosial untuk masyarakat Cina Benteng, dan Audiensi dengan Pemerintah Kota Tangerang, diharapkan masyarakat yang menjadi cikal-bakal sejarah kota Tangerang ini dapat memperoleh hak-haknya secara adil.

Kami mengajak teman-teman mahasiswa yang mempunyai kecukupan baik intelektual atau materi untuk ikut membantu usaha ini. Bantuan dapat diberikan melalui hal-hal kecil, yaitu dengan menyebarkan note ini ke sebanyak mungkin orang, bergabung di group facebook Advokasi Rakyat Marjinal (dengan nama group: Advokasi Rakyat Marginal - Keadilan untuk rakyat Cina Benteng) untuk memberikan dukungan moral, menyumbangkan uang (baik besar ataupun kecil) di posko baksos yang ada di stasiun UI setiap hari Senin-Jumat jam 10.30 dan 16.00, atau bisa juga mengikuti pencerdasan tentang masalah Cina Benteng yang akan diadakan pada tanggal 7 Juni 2010 pukul 14.00-17.00 di FISIP UI. Info lebih lengkap dapat dilihat di media publikasi ARM atau di group facebook Advokasi Rakyat Marjinal.

Akhirnya, kami mengajak teman-teman mahasiswa untuk bersama membantu tetangga kita warga Indonesia di Cina Benteng. Mari bersama-sama kita tegakkan keadilan. Terima kasih.

Rahim Semesta

—Surat dari Fahd, untuk masyarakat dunia.

Teman-teman yang baik, semoga kalian senantiasa berada dalam kebaikan.

Melalui surat ini, saya hanya ingin menyampaikan satu hal sederhana… yang seringkali kita anggap sepele dan bahkan kita abaikan, namun sebenarnya penting untuk kita perhatikan dan selesaikan bersama. Ini tentang hidup. Aku dan kamu, kita semua.

Tahukah kalian, saat ini setiap hari ada lebih dari 115.000 bayi korban aborsi. Kalau satu tahun adalah 365 hari, berarti dalam satu tahun ada 41.975.000 calon bayi yang kehilangan hak hidupnya. Jumlah itu bisa lebih banyak lagi, mengingat kita tak pernah tahu berapa jumlah bayi yang diaborsi secara diam-diam—sembunyi-sembunyi.

Di Indonesia sendiri, ada 2.000.000 lebih kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya. Itu bukan apa-apa sebelum kelian melihat fakta ini, bila jumlah korban meninggal perang Vietnam (58.151), perang Korea (54.246), PD II (407.316), PD I (116.708), Perang Sipil (498.332), dan perang-perang lainnya dijumlahkan, hasil penjumlahannya tidak akan lebih besar daripada jumlah bayi korban aborsi.

Apakah kita akan tetap membiarkan kejahatan ini tetap terjadi? Bila tidak, teruskanlah membaca pesan kebaikan ini;

Bila kejahatan orang tua pada (calon) anaknya lebih dari 41.975.000 setahun, sesungguhnya ada angka yang lebih besar lagi. Angka tadi, kalilakanlah 100 atau lebih. Hasilnya, itulah jumlah “kejahatan” yang dilakukan anak-anak kepada para orang tuanya—terutama kepada para Ibu yang telah merelakan setengah nyawanya ketika mengandung dan merawatnya selama 9 bulan di rahimnya. Para ibu ini melahirkannya, merawatnya, menjaga hak hidupnya, tetapi yang mengherankan… saat mereka tumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri—mereka melukai perasaannya, mengecewakannya, membuatnya menangis, bahkan memukulnya… dan bahkan, saat para Ibu ini beranjak tua, mereka mengirimkannya ke panti jompo dan melupakannya. Bukankah ini kejahatan yang lebih buruk lagi?

Ah, entah virus apa yang menyerang pikiran mereka, mematikan perasaan mereka. Anak-anak itu, saat mereka tumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri secara penuh, mereka berani membentak ibu mereka dengan kemarahan yang menyakitkan. Bahkan lebih dari itu, mereka memukul atau melakukan hal lain yang tidak pantas hingga membuat para ibu menangis dengan bibir yang menggigil, dengan hati yang perih dan terluka.

Mari kita hentikan semua ini. Bila kau bersedia, pulanglah. Duduklah di hapannya. Dekatkanlah lututmu dengan lututnya. Letakan telapak tanganmu di paha-paha sucinya. Lalu tataplah matanya dalam-dalam… Reguklah kesyahduan kasih sayangnya… rasakanlah hingga merasuk ke dalam hatimu—jauh lebih dalam, jauh lebih dalam… Katakanlah padanya, “Bu, terima kasih dan maaf. Betapa aku mencintaimu.” Sebelum dia pergi untuk selama-lamanya…

Mari kita hentikan semua ini, bila kalian tersentuh dan tergerak ingin membantu saya menyebarkan pesan kebaikan ini, saya sedang berencana membuat project Rahim Semesta, lihatlah videonya di sini http://www.youtube.com/watch?v=Wd5YRIo3UJs dan kabari kami kalau kalian ingin ikut terlibat di sana.

Sekarang, sederhana saja, sebarkanlah surat ini pada sebanyak mungkin orang—teman, sahabat, keluarga, kerabat, siapa saja. Sebarkanlah di milis, facebook, blog, atau lainnya. Dan mari kita lihat, kebaikan seperti apa yang akan terjadi di sekeliling kita.

Salamat datang di Rahim Semesta.



Salam Hangat,

Fahd Djibran

Selasa, 01 Juni 2010

..........

—Up to you to entitle this note

It’s been just about four months I involved in Kastrat. I must recognize that many things were changed incredibly so far: my view, experiences, friends, and many more than it were by the time I got in this ‘rebelious’ community. This is considerably one of my greatest turning point of life, besides the dreadfulness of my international relations peers. After all, I am very grateful to be part of this university.

It was the other side of the mainstream in my IR class to be the so-called aktivis pergerakan, or simply categorized by pendemo (or whatever to name it). I got in this ‘other’ side as I believed it is to be the right path to contribute for progress of this nation. Shortly I simply found myself as one claims to be young activist. This ‘poor’ yet rich-potential nation needs me, and my peers of course.

Unfortunately, last days I was told that the so-called demo has lost its moment in this reform era. This nation is no more led by authoritarian regime in which corruption, collution, and nepotism as if had become its tagline. This nation today has many ‘ears’ to listen to people aspiration, so why do we have to scream the rethoric loudly out the building in fact people inside the hedge are very welcome to discuss with us. Moreover, the need of this nation has turned into skill-based and innovative ideas for development rather than critics-based one. I support that view, however. For that, I, whether to be surprising or not, decide this year to be the last of my path in Kastrat, and BEM generally.

I was inspired by my senior that Indonesia needs more talent-based to reach its bright future. I actually don’t claim myself to be one talented person, but I was determined to be part of those people. Instead of being one with specific talent, I could then build ideas to create ‘ideal’ nation with those talented people. Instead of develop this nation through critic path, I could make it through the other way. I don’t judge the Kastrat way to be obsolete or even bad however, yet I only consider all ways to be needed, and I want to fill all those need.

I realize that my journey in Kastrat has just got half of its path and has still another part to go. Now I, along with my peers, get the moment of saving this nation through Advokasi Rakyat Marjinal (ARM), a program to help some people in this country to gain justice. If it is the last chance of the ‘struggle’, so I will make it beautiful. Along with my great peers of course.