Jumat, 26 Desember 2008

Di Suatu Sore


―Rangkaian imaji ini ku tulis untuk seseorang yang baru saja menarikku dari keterpurukan dan membawaku ke suatu tempat.




Sore bermandikan cahaya kuning kecokelatan yang berhamburan dari sang surya di seberang laut nan jauh di barat sana. Aku memandanginya sendiri. Indah sekali, fikirku di sela tiang-tiang sebuah balariung yang megah.

***

Di sisi tiang ini 3 orang berkumpul. Setiap hari selepas solat maghrib mereka membuka kembali memori-memori yang telah mereka kumpulkan sepanjang siang: 10 kosakata dari buku SAT yang tebal dan sulit. Seringkali lapar menendang-nendang perut dan fikiran mereka, malas mengganjal mulut, dan beberapa perasaan aneh yang terasa seperti permusuhan tanpa sebab dan dengki menaburkan atmosfer aneh di balik tiang itu. Tapi mereka berkomitmen kuat untuk meraih tujuannya, untuk menggapai mimpi, untuk meraih bintang yang terang dan jauh. Merekalah Utopia Breaker, 3 orang yang berusaha mendobrak kemustahilan, menembus utopia.
abridge
abstemious
abstruse
accessible
acclaim
acknowledge
adulation
adversary
adversity
advocate
adalah 10 kata pertamanya. Jika tidak hafal 1 kata saja, maka harus membayar denda untuk uang kas.

Selepas perkumpulan rutin mereka menumpuk telapak tangan di tengah seraya berteriak, “Bisa, bisa, bisa, Allahu akbar!” Layaknya sebuah tim sepakbola yang akan menghadapi pertandingan paling penting dalam hidupnya.

“Suatu saat saya akan berjalan-jalan di Fifth Avenue dan menikmati suasana sore di sana yang indah dan romantis. Saya akan kembali lagi ke Boston, untuk kedua kalinya nanti. Bukan sebagai seorang siswa pertukaran pelajar, tapi sebagai Utopia Breaker”.

“Oke, nanti beberapa tahun lagi kita bertemu di sana, dan kita berkumpul lagi untuk menghafal 10 kosakata pertama ini. Semua harus hafal!”

“Ya, kita pasti bisa!” Begitulah percakapan mereka suatu sore, disaat lapar, malas, lemas, pusing, dan jenuh terkalahkan oleh semangat dan optimisme. Kita bisa, pasti bisa!

***

Malam sudah hampir tiba. Aku masih bersandar di balik tiang, menunggu dua orang yang dulu berjanji padaku di suatu sore. Apakah ia sedang menikmatinya di Machasussette, Fifth Avenue? Sudahkah ia membelikan T-shirt untukku? Atau apakah orang yang dulu berkata bisa itu sedang berkeliling Eropa seperti mimpinya dulu? Aku menunggu, bersana sepuluh kata itu.

***

I just wanna remind all members of utopia breaker, this is why UB exists. Keep our struggle, guys!

Minggu, 07 Desember 2008

Generasi Muda: What do You Think The Nation is


Kita memang memiliki masalah yang pelik. Bayangkan saja, hampir di setiap sudut negeri ini kita jumpai kesalahan dan kegilaan dengan beragam wujud yang tak menentu. Mulai dari ketidaktertiban penyebrang jalan seenaknya yang terlihat biasa saja, bedesak-desaknya penumpang bus kota yang terasa melelahkan, pemandangan asap rokok dari mulut pelajar yang terfikir menjengkelkan, pencopetan, jambret, maling, rampok, penganiayaan dan pembunuhan sadis yang begitu menakutkan sampai penjualan VCD porno, kasus narkoba dan seks bebas yang (sst..) diam-diam menyenangkan.

Semua problematika itu kerap kali kita dengar dari televisi, radio, koran, majalah, atau Internet. Ada masyarakat yang benar-benar antusias dan berfikir kembali tentang perbaikan bangsa, ada yang menjadikannya sekedar pelengkap sarapan pagi, bahkan ada yang sengaja memburu koran untuk membaca berita pelecehan seksual yang menceritakan detail kejadiannya. Alih-alih sadar akan kriminalitas, mereka malah menikmati kasus-kasus porno yang tak kalah ‘panas’ dengan novel-novel porno murahan. Dan redaktur koran itupun sengaja membuatnya untuk dinikmati, bukan direnungi. Karena kalau masyarakatnya sadar, mereka akan bangkrut.

Tapi kita tak akan membahas deretan masalah itu satu persatu yang akan membuat kita kesal. Kita akan berbicara tentang kenyataan bahwa banyak kesalahan dan kejahatan tadi telah menyusupi kehidupan dan berserakan di banyak tempat yang kita jumpai. Ia menjadi teman perjalanan dari TV sampai ke sekolah, pelengkap keripik singkong di kantin sekolah saat istirahat, sampai terselip di sela-sela penjelasan guru kita, “Da negara kitamah Negara susah!”

Akhirnya kita terbiasa untuk mengutuki Negeri kita sendiri. Dengan fasihnya kita berbicara tentang ketidaktertiban, dengan tegas kita meledeki ketidaktepatan waktu, dengan riang kita menertawakan kebodohan masyarakat, dan dengan lantang kita melecehkan moral bangsa.

Kita sudah benar-benar terbiasa untuk menyerapahi Negara kita. Bahkan sampai merasa malu untuk mengaku diri sebagai orang Indonesia. Tapi apa yang sebenarnya kita kutuki dan serapahi itu? Ketika berbicara ketertiban, secara tak sadar kita tengah menyebrangi jalan raya dengan seenaknya yang menyebabkan kemacetan padahal tak jauh dari sana sudah tersedia jembatan penyebrangan, atau mungkin kita sedang menyerobot antrian orang lain karena tak ingin menunggu lama. Saat meledeki ketidaktepatan waktu, kita sepertinya tak ingat lagi berapa kali kita pernah dimarahi guru karena terlambat masuk kelas. Saat dengan riangnya menertawakan kebodohan masyarakat, di kasus Freeport katakanlah, kita terbahak-bahak oleh ketidakbecusan orang Indonesia dalam mengelola pertambangan padahal nilai ulangan Fisika kita merah, dan Kimia kita anjlok. Saat lantang melecehkan moral bangsa karena korupsi, kita tak pernah sadar bahwa kita telah berulang kali menipu orang tua dengan menaikkan harga buku jauh dari harga sebenarnya untuk tambahan uang jajan. Maka saat kita meledek, menertawakan, mengutuk, dan menyerapahi bangsa ini, secara tak sadar kita telah meledek, menertawakan, mengutuk, dan menyerapahi perbuatan kita sendiri. Seperti sebuah pepatah mengatakan, ‘muka jelek cermin dipukul’. Nampaknya seperti itulah kondisi kita. Kita memukuli kenyataan bangsa yang kacau, padahal itu tak lain adalah cerminan dari diri kita sendiri.

Tidakkah kita merasa malu untuk ini semua? Untuk ketidaktertiban, kebodohan, dan imorarilas yang kita buat sendiri. Lantas, siapa yang seharusnya mengaku malu, diri kita untuk menjadi bangsa Indonesia, atau bangsa ini untuk mengayomi orang-orang semacam kita?

Maka sudah saatnya sekarang kita sadar. Ternyata masalah-masalah yang kerap kita bicarakan berasal dari diri kita sendiri. Kita harus dapat memandang permasalahan ini tidak hanya sebagai ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasinya, tapi juga sebagai kekhilafan kita yang terus mengulanginya. Memang benar kita mendapati bahwa korupsi adalah urusan Negara, tapi ternyata kita sendirilah yang menggandongi bibit cikal-bakal korupsi. Begitupun dengan yang lain, kita jugalah yang ikut bertanggung jawab atasnya. Mari sekarang kita pandang setajam mata elang bahwa semua masalah ini adalah masalah yang kita sendiri perbuat, maka untuk memperbaikinya kita harus memperbaiki diri kita sendiri dahulu.

Untuk semua generasi muda, mari sekarang kita bangkit. Sudah saatnya kita keluar dari semua keterpurukan ini. Indonesia tak akan terus menjadi seperti ini jika kita sadar dan menghendaki perubahan. Indonesia belum selesai selama masih memiliki kita. Maka mari kita mulai lembaran baru, untuk menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.

Kamis, 09 Oktober 2008

She Never Ceases to Amaze me

This is my story about a complicated experience I went through several months ago. About fascination, revolution, consciousness, and fact. Actually I’ve already told it out here titled ‘Nm, Merçi!’, but as it was written in french, I’m not sure many people would be interested in reading. So I’m going to retell this great story about a–mm.. sorry– weirdest person I’ve ever met.

Last March I, along with my friends, joined Annual English Contest and seminar (AECS) 2008 in UPI. I took quiz contest and teamed up with the two other friends. Shortly I was lost, although I was sure we could win as we had several technical problems during the competition. That’s oke, I remained fine.

I stayed going to UPI in the next days though no more contest I had. Just keeping responsibility as my teacher pointed me out as a coordinator of my school. It was merely not bad to just watch the other contestants showed their abilities up. I could learn something here.

And exactly, I got the valuable one.

It was March 05, 2008. Approximately at 13.00, final of speech contest would be conducted. We waited for the notification whether our school would pass this section, although we were sure not. But we still hoped. And right, we didn’t, that’s ok. We just watch in the audience seats, and see everything went.

In the last time, at the time the last final participant got her turn, I found something great in my life. She’s from Pribadi Advanced School Bandung, and everyone must have known how famous the school was. For me, how weird it was. People gave great ovation while she went forward. And at the time she started speaking, the audiences were silent, as if they had been hypnotized by her eloquence speech and weird opinion. Even I was doub’t whether the jury understood her speech or not. And I thought I wasn’t possible that she’s Indonesian then. Great!

Time kept on rounding.

I talked about her to my friends very much, perhaps I was fascinated. Telling out her performance, the silence of audiences, and my view that she was weird, I couldn’t avoid to think about her. So I tried to find out more about her, and I got that she was the first winner of International Debate Contest and the Indonesian contestant of International Young Inventor Project Olympiad (IYIPO) in Bosnia! Great! I never found that kind of 16 year old person before. Her mother must skip cheerfully everyday to bore that kind of person.

Feeling a big motivation, fascination, challenge, revenge, love, I practiced my English practically every time. I got a really great encouragement then.

And recently, when I feel destroyed, she brought a new elegance. I found out an English blog told about Indonesian student of Pribadi Advanced School showed a great performance in England. She got the best-of-the best international speaker in ELSA, and defeated the student of Leicester School of Debating in England.

I was really surprised and looked at myself. What I’ve got? I felt the motivation back. I felt the revenge back.

I’m encouraged once more by her. I bought three books on the next day as I realized I must endeavour far more strongly. I started learning Chinese. I keep on memorizing history and I wasn’t reluctant to spent out my money to buy those quite expensive books which initially I saved to start an advantageous business but I canceled it as I realize that I must study.

Ya, I must study…

Thus, thank you Nm, the smart, cool, and weirdest person I ever met. And for all people read this writing, I suggest you to look for experiences as far as you can. Because you never know that probably you’ll get the unpredictable one change your life. I did.

Rabu, 24 September 2008

Kecilku di Indonesia


Aku lahir di Bandung, tepatnya tanggal 26 Oktober 1990. Di salah satu kota metropolitan Indonesia. Aku tak ingat bagaimana kondisiku saat itu, bahkan merasa pernah terlahirpun tidak. Tapi saat aku duduk di bangku sekolah, aku tahu kalau tahun saat ku pertama kali menyapa dunia dengan tangis adalah saat kehancuran komunis Soviet. Setidaknya itu membuatku sedikit bangga, walau aku sama sekali tak melakukan apa-apa kala itu. Mungkin hanya kebetulan.

Kebetulan saja aku terlahir saat itu. Karena ayah dan ibu menikah beberapa tahun sebelumnya, karena seorang bidan baik hati –entah kenapa aku menulisnya demikian– berhasil melepasku dari jejaring rahim sempit ke alam luas, dan karena pada saat itu Gorbachev mengumandangkan semboyan glasnot dan perestroikanya, saat itulah aku, tanpa mengerti apapun, hadir menambah daftar penghuni Indonesia.

Tapi betulkah itu suatu kebetulan yang seutuhnya terlepas dari diri kita? Mungkin tidak. Bukankah setiap hari matahari muncul di ufuk timur karena rotasi bumi sudah sampai pada angka 360 derajat dari pergerakannya, dan bukan kerena kebetulan bumi mampir di salah satu sisi yang tersinari matahari? Bukankah Einstein pernah bercerita tentang sekat-sekat waktu yang akan senantiasa kita temui di setiap titik? Bukankah teori-teori eksak mengajarkan kita kepastian, tidak kebetulan? Dan bukankah Muhammad sengaja di lahirkan di Arab untuk misi mulianya? Ah, tapi kita tidak akan terlalu membicarakan teori-teori filosofis ini lebih detail –mungkin lain waktu saja–.

Oke, kalau kita masih bersikeras bahwa semua ini hanya kebetulan, maka kita tidak akan bisa menyela bahwa semua kejadian yang ‘kebetulan’ terjadi bersamaan itu mempengaruhi dan diam-diam membentuk diri kita, disadari atau tidak. Aku lahir saat komunis hancur, dan perang dingin dimenangkan oleh Barat. Maka aku tumbuh oleh hal-hal itu: acara-acara televisi, obrolan orang-orang, sampai pendidikanku di sekolah, semuanya berdalih bahwa liberalismelah yang unggul, dia yang menang. Guru Pknku bilang kita harus menjauhi komunis. Buku-buku ayahku yang kini ku baca semuanya tentang demokrasi. Fukuyama bilang liberalisme adalah akhir dari sejarah (the end of history).

Maka begitupun dengan kalian. Kau, mereka, guru-gurumu, semuanya juga seperti itu. Kapan kita lahir, di mana kita tumbuh, apa yang terjadi saat itu, semua membentuk kita menjadi ‘aku’. Menjadi manusia. Kalau Whitehead pernah berteori bahwa manusia adalah gabungan dari manusia-manusia lain (kita menjadi kita karena fikiran dari orang tua kita, gutu, teman-teman, dan masyarakat sekeliling kita), maka menurutku itu harus ditambah dengan realitas yang ada di sekitar kita, karena kondisi sosialnya juga.

Dan kini kita tumbuh di Indonesia, Negara dengan peringkat korupsi papan atas dunia. Hutang luar negerinya mencapai 200 triliun, pendapatan perkapita di bawah rata-rata, kasus narkoba pelajarnya mencapai jumlah 86 ribu, seks bebasnya seakan tanpa henti, dan kekerasan di sekolah ditambah minuman keras, vodka, marijuana, kokain sebagai pembodohan bangsa, juga pembodohan di televisi yang konyol.

Kini kita tumbuh di Indonesia, kini kita tumbuh bersama hal-hal itu.

Lantas, dengan banyak hal gila tadi, secara otomatiskah kita juga menjadi gila, bodoh, dan tolol untuk seenaknya menghisap heroin, seks bebas, dan hal-hal brutal lainnya? Kalau begini, bukankah kita memang ditakdirkan untuk menjadi jelek karena hidup di Indonesia? Sebentar, bukan itu maksudku. Kita memang diam-diam dibentuk oleh hal-hal yang ‘tak selesai’ tadi, tapi kita masih punya sisi lain yang paling manentukan. Toh kita bukan keledai kan?

Itulah ‘aku’, sesuatu yang paling dalam dari diri kita yang mungkin kitapun tak mengerti. ‘Aku’lah yang menentukan setiap pilihan. ‘Aku’ akan selalu mempunyai banyak sisi untuk diambil, untuk dipilih, dan ‘aku’ memegang supremasi penuh untuk menentukannya. ‘Aku’ adalah raja ketika lepas dari belenggu negatif dunia ini–seks bebas, narkoba, heroin, vodka– dan naik menuju dimensi yang lebih tinggi. Tapi ‘aku’ berbalik jatuh menjadi budak ketika ia diseret rantai semua ketololan itu. Ketika ‘aku’ lebih memilih pornografi daripada film-film keagamaan dan pendidikan, alkohol pada topi miring daripada maltosa dalam susu sapi, remang lampu diskotik daripada terang ruang kelas.

Kita memang tumbuh di Indonesia. Bersama hal-hal yang tak pernah henti membuat kita gila. Tapi kita selalu punya sisi lain, kita adalah ‘aku’ yang akan selalu mempunyai kekuasaan untuk memilih.

Dan mungkin bukan sesuatu yang kebetulan kita lahir di sini, di tanah ini. Mungkin bukan suatu kebetulan sekarang kita berseragam putih abu-abu (atau putih hitam di sekolahku), karena kita harus mempelajari banyak hal. Mungkin bukan suatu kebetulan kau membaca tulisan ini karena kau memang harus mulai mengambil pilihan lain dari hidupmu. Mungkin bukan suatu kebetulan Tuhan membesarkanmu di Indonesia, karena suatu saat kaulah guru di negeri ini, kaulah bisnismennya, kaulah hakimnya, kaulah menterinya, kaulah presidennya.

Indonesia membutuhkan ‘aku’-‘aku’ yang lain, Indonesia membutuhkan ‘aku’-‘aku’ yang raja.

Untuk seluruh pelajar Indonesia, inilah negeri kita. Negeri yang sejak kecil mengajari kita akan kehidupan. Sayangnya kita belum mampu memandang pelajaran itu dengan jelas. Kalaupun hanya kebetulan saja aku lahir saat hancurnya Soviet, maka aku percaya dunia mengajariku untuk tidak jadi komunis, dan aku harus memilihnya agar tidak hancur lagi. Kita tumbuh bersama hal-hal gila, maka aku percaya ada sisi lain di balik kegilaan itu yang sedang mengajari kita untuk tidak melakukannya, hanya saja kita tidak mendengar dan memilihnya. Kita memang dibentuk oleh keadaan lingkungan, tapi lingkungan itu sendiri menawarkan banyak sisi kepada kita untuk dipilih, dan mungkin kacamata kita masih terlalu tipis untuk melihat sisi lain yang ada di balik sana, di jarak yang lain.

Maka sekaranglah saatnya kita berubah. Gantilah kacamatamu, lihatlah sisi lain yang lebih jauh, dan fikirlah matang-matang untuk memilih.

Saatnya untuk berubah. Saatnya untuk memilih maltosa yang menyehatkan daripada alkohol yang memabukkan, saatnya memilih denias atau Laskar Pelangi daripada tontonan sampah itu, dan saatnya kita memilih kemajuan daripada kegilaan.

Indonesia menantimu, pilihlah.

Senin, 15 September 2008

Pondokku yang hilang (1)

Aku menulis essay ini saat pelajaran matematika. Kebetulan Pak Muntaryo tak hadir, sudah 2 minggu ini beliau tak mengajar. Entah, katanya sakit.

Penat dan stress itu lagi-,lagi mengeroyoki kepalaku tanpa ampun. Minggu-minggu ini aku memang menggumuli matematika lebih intens, kebetulan aku sedang mendalami trigonometri untuk persiapan beasiswa dan Senam PTN. Manaklukan 100 soal dan bertatapan berjam-jam dengan kata sinus, cosines, dan tangent cukup membuatku pusing. Seolah bermain kejar-kejaran dalam lintasan spiral yang rumit, dan angka-angka itupun sangat pintar bersembunyi.

Tapi bukan itu yang membuatku murung dan –kadang– migrant. Akhir-akhir ini aku masuk dalam list orang ‘bermasalah’ di pondok. Kejadian 7 September hari minggu lalu terlanyata membekas begitu dalam.

Singkat saja, 7 September kemarin aku dan teman-teman kelas 6 putera mengadakan forum silaturahmi membahas masalah PKL internal (atau jelasnya penggabungan asrama kelas 6 dengan santri Tsanawiyah) antara pondok, orang tua, dan santri kelas 6. Forum berjalan lancer, walau satu dua kali keluar teriakan-teriakan tak terkonsep. Tapi intinya keinginan kami terwujud: pemisahan asrama kembali. Kami senang.

The bigger the joy, the stronger the problem. Nampaknya kesenangan itu belum bisa kusoraki keras-keras, karena saat keluhan kelas 1 tentang kehilangan dan seabreg masalah sepele lainnya selesai, aku harus langsung berhadapan dengan masalah lain yang tak lagi sepele. Forum itu digugat, dipermasalahkan, dan dimasukkan dalam catatan paling hitam kabid ekstrakurikuler. Itu tak jadi soal besar, hanya saja pascaforum banyak aparatur pondok yang tidak lagi melayangkan senyumnya pada kelas 6. Suasana menjadi begitu suram.

Oke, aku akui aku salah. Aku terkesan memaksa pimpinan dan seluruh aparaturnya dalam forum itu. Surat-surat undangannyapun beredar di bawah tanah. Pimpinan baru tahu akan forum ini sore hari sebelumnya. Tapi ini terpaksa. Bukannya kami tak tahu soal birokrasi dan administrasi, ini terpaksa. Kami sudah banyak mengeluh mengenai PKL internal dan meminta forum dengan pimpinan kepada bawahannya sebulan sebelumnya, tapi seakan tak terjadi apa-apa. Saat IRM menyampaikan permohonan mengenai forum ini, mendengar kata PKL saja sudah langsung distop pembicaraan.

Kami sudah terlalu lelah menunggu, menyusuri jalan datar yang seakan tak berujung ini. Maka kami memutuskan mengambil jalan pintas, menyebrangi jurang curam berbahaya.

Kini aku dan Amalul harus membuat surat permohonan maaf kepada semuanya. Biarlah, memang ini akibatnya. Toh kami sudah sampai tujuan, dan sekarang tinggal mengobati luka-luka akibat tergores bebatuan tajam di jurang tadi. Toh kita sudah sampai rumah, maka tersenyumlah.

Tapi semua ini membuatku sadar, ada hal yang harus kita kaji ulang mengenai pondok ini. Kita terlalu sibuk bergumul dalam liku struktural birokrasi yang rumit, membuat letak semuanya benar-benar rapi. Dan nampaknya sekarang kita lupa bahwa ada satu hal penting yang lapuk, terbang terbawa hembusan angin dan hilang. Figur seorang ulama (kalau tidak ingin disebut Kiayi).

Aku sudah harus bersiap solat dzuhur, mungkin akan kulanjutkan nanti.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Saatnya Ekspansi


–Ruang ini sudah benar-benar sesak, kian hari terasa semakin mengecil. Entah mungkin karena sekarang kita sudah tumbuh besar. Maka saatnya luaskan kamar kita.

Lima tahun sudah di sini. Menghabiskan masa-masa SMP dan SMA dalam kehidupan yang aneh. Kita telah melewati hari-hari panjang bersama perasaan yang campur aduk, sekali lagi dalam dunia aneh ini. Sampai kita menyatu dengannya, dan mungkin kini kita telah menjadi orang-orang aneh untuk ukuran anak SMA. Entahlah.

Bukan itu yang akan kita bicarakan, karena aneh tidak selalu berarti buruk, bahkan sebaliknya, justeru seringkali memiliki makna tersendiri. Dan ku fikir tak masalah dengan itu. Tak masalah dengan sebutan aneh untuk anak SMA yang selalu digiring ke mesjid 5 kali sehari sementara anak-anak di luar sana tidak, dengan jadwal bagun jam 5 subuh kita dan bel keluar jam 9 malam sementara mereka yang di luar sana tidak, atau dengan kegiatan organisasi kita yang katanya sekelas mahasiswa sementara mereka di luar sana tidak. Juga karena kita sekedar tak tahu film up to date di 21, jarang nonton konser, dan tak banyak nongkrong di mall. Semua itu aneh, tapi tak buruk menurutku.

Ruang sempit kita yang akan kita bongkar di sini, kawan. Ruang tempat kita hidup dan bernafas, ruang yang kita buat sejak dulu, ruang yang kita susun dari angan dan khayalan, ruang yang sudah kita buat, ruang tempat kita berjalan, berkeliling, sekarang dan nanti: idealisme, cita-cita, kesadaran kita. Itulah yang akan kita bongkar sekarang.

Aku tertarik dengan kata-kata seorang guru BP tempo hari. Orang sukses adalah orang yang bisa berfikir jauh ke depan, bukan orang yang hanya memikirkan sejengkal dua jengkal dari kepalanya. Ya, orang sukses adalah orang yang sudah memikirkan apa yang harus ia lakukan 10-20 tahun ke depan, orang sukses adalah ia yang sudah menentukan sendiri akan jadi apa 15 tahun ke depan. Dan bukan sekedar bersantai-santai memainkan asap rokok di warung seberang saat jam bahasa Inggris dengan alasan klasik: kagok teu bisa, atau sangat polosnya, bisi ngadosa moyokan guru! Orang sukses adalah dia yang punya idealisme tinggi, cita-cita yang jauh.

Itulah ruangan kita. Fikiran-fikiran dan cita-cita itu kini mencetak tindakan-tindakan kita. Apa yang kita buat, yang kita pelajari, semuanya dipengaruhi angan itu. Sederhananya, kita berjalan-jalan di ruangan yang kita buat sendiri. Lantas, sebesar apa kita sudah membuatnya? Sejauh apa kita menyusun lantainya, sekuat apa kita menegakkan tiangnya, dan seleluasa apa kita bisa berjalan sekarang? Sebesar apa cita-cita kita?

Kelas kosong! Hanya 15 dari 44 santri kala itu. DA kosong, hanya beberapa dari kita yang muncul kala itu. mesjid kosong, hanya beberapa jas biru bersujud saat itu. Mungkin kita harus kembali bertanya, seberapa besar kita telah membangun ruangan ini? Cukup luaskah? Kurasa tidak. Maka sekarang kita butuh ekspansi, kita butuh perluasan cita-cita kita sendiri. Kita butuh penguatan kesadaran kita sendiri.

Aku sering mendengar keluhan pesimis akan masa depan kita. Ah, itulah kesalahan pertama. Kita telah membatasi ruangan sendiri dengan sangat sempit. Saat dulu kau berkata aku tak kan bisa, maka itulah ruang hidupmu. Kau akan terus berputar-putar di sana. Kau akan terus bertindak sebagai orang yang tidak bisa. Ketika kau dulu bilang pesimis untuk sukses, maka itulah ruang sempitmu.

Kini kita butuh ekspansi, kawan. Kita butuh perluasan angan dan cita-cita. Berfikirlah kau akan sukses, yakinlah kau akan berguna. Setelah itu berjalan-ja.lanlah di sana. Dan kau akan mempunyai ruang yang lebih luas dari sekedar kamar tidur tempatmu bermalas-malasan. Kau akan mempunyai kelas untuk belajar, mesjid untuk bersujud dan berdo’a, perpustakaan untuk membaca, dan universitas untuk berjuang. Kau akan mempunyai lebih dari sekedar kamar tidur, lebih dari sekedar kasur kecil itu!

Semua belum terlambat, maka beranganlah. Lakukan ekspansi, dan hiduplah di ruangan luas, di ala mini. Jangan kunci dirimu di kamar sendirian, kawan! Berjuanglah!

The Unexpected Ecstasy: Repeated!

–I never thought it would be back here.

I just came home this evening. My school is free for 4 days onward. Actually I have 5 days for this pra-Ramadhan holidays, but I had some classes in Primagama to take last daylight. That’s ok.

Tired, that’s what I feel right now. I wanna go to bed and say ‘good night’, but I think I have to write first here; I have yet to post here quite long time, I wanna answer a weird question of my classmate sounded: “Does Iqbal love girl?”.

Oke, just get the point, the answer is YES, I love a girl. She’s my junior in secondary school (Tsanawiyah) at the moment. I met her a year ago or so, but I just had the feeling recently.

It’s been very long I didn’t think about girl in my life, but now the the ecstasy has been back. So I’ve fundamental question: must I devote this and get some relations, or I just have to keep it and focus on my university preparation? I don’t know.

It’s 23.00 now, I think I sould take a nap immadiately. Good night.

Jumat, 01 Agustus 2008

Tawaran Aneh

Saya menulis posting ini beberapa jam setelah selesai MABICA. Capek! Oke, singkat saja, saya hanya ingin menawarkan sebuah ide aneh tentang mesin waktu.

Mesin waktu, banyak orang menganggapnya hal gila, mustahil, aneh, dan banyak lagi. Perjalanan waktu akan menyalahi takdir, bahwa manusia tak kan perah bisa mengetahui masa depannya. Sayangnya, sekarang saya ada di pihak gila yang menganggap bahwa mesih waktu itu mungkin!

Saya memandang waktu sebagai konstelasi kompleks yang rumit. Sederhana saja, waktu merupakan suatu urutan kejadian yang telah, sedang dan akan terjadi, tapi berupa banyak pilihan dan bukan sekedar satu kemungkinan. Jadi masa depan kita sudah tersedia sekarang, tapi berupa banyak pilihan yang rumit. Dan kitalah yang nantinya akan menentukannya, ke waktu mana kita akan pergi.

Jika demikian, maka mesin waktu tidak akan menyalahi kodrat manusia. Manusia bisa pergi ke masa depan tapi masa depan yang ia datangi bukan berarti masa depan yang akan ia pilih, karena itu hanya merupakan satu pilihan dari beragam pilihan yang banyak.

Sekarang saya tawarkan ide ini kepada siapapun, untuk sekedar diskusi. Saya tunggu komentarnya.

Jumat, 25 Juli 2008

Nm, Merçi!

–Pour toi, j’espére t’en lis.

Salut, comment ça va? Est-ce que ton sourire est toujours puéril comme le passé? Ou tu restes pousser un soupir à l’examen de la chimie?ha.. pas mal; tu a grande réussite internationalle, formidable!

Nous n’avons rencontré que plusieurs fois, à la petit occasion. Nous ne nous connaissais pas avant, même je pense t’étais bizarre à l’époque. Ya, en le passé t’avais l’air différent de les autres. Ta voix, te discours, bizarre!

Mais ce n’était pas grand problèm. Parce que après ça, tu faisais tout le monde surpris par ton discours, perce que avec ta grande voix tu faisais tout le monde silencieux. Formidable! Tout la monde a applaudi.

J’apprend t’étais la première gagnante l’époque, ya, félicitations. Bien que peut-être c n’était grand pas pour toi parçe que tu as gagné le concours pareil à viveau international. Les gens ici étaient beaucoup de toi.

Bientôt notre programme finissait, et je devais retourner. T’étais aussi..

Séparer, c’était dificile pour moi l’époque. Nous ne nous connaissons jamais, faisions conversation. Je ne voyais que ta visage plutôt sourire, peut-être pour moi. Je ne sais pas. Que je me penserais quand attendaisl’autobus allait était rouge uniforme, uniforme de t’école. Huh.

L’occasion était court, très. Mais la je me rendais compte, la je savais je devais étudier; il y a beaucoup de chose je ne savais pas. Tu détruisais le mur de arrogance donc je veux courir plus loin.

Donc maintenant je veux dire merçi. Merçi beaucoup pour ton visage bizarre et puéril, ton sourire, et ton discours. Merçi pour tes histories beaucoup je lis: de ta réussite de la physique, de ta formidable expérience, et de ta vie que, franchement, bizarre. Mais formidable! Perçe que de ça, je me sens il y a grand challenge attend moi la. Parçe que de la temps, je me sentais encouragement étudier beaucoup de choses, y compris exact que je regarderais avant.

Peut-être dois à toi, pour le discours à la finale de AECS en lae passé. Pour l’encouragement que, je ne sais pas comment, je me sens coule de toi. Très solide. Je décide à en repondre par façon pareil: te faire stupéfait à speech contest l’année prochaine. Je vais former. Insya Allah.

J’espére tu lis ça écriture; je ne dis que merçi. Et peut-être je répondrai ton mérite l’année prochaine, quand nous renconterai encore une fois à AECS. Si nous avons toujours l’occasion à en participer. J’espére.

Minggu, 20 Juli 2008

PKL atau Sacrificing Kelas 6?

Aku mengirim posting ini di warnet saat selesai pembekalan PKL seminggu ini. Posting ini akan lumayan singkat, kita mulai saja.

Huh, liburan selesai, kini ku akan mulai mengukir catatan di hari-hari yang aneh lagi. Menanjaki jalan lurus dari gerbang masuk, berlari tak karuan ke kelas setelah 20 menit bel berbunyi, atau berdiri di antrian panjang saat makan malam. Tapi tahun ini berbeda, tahun di mana usiaku sudah mencapai puncak 6 tahun di penjara suci ini. Bukan karena banyak peraturan baru, Loundri yang menggantikan emak dapur khusus untuk kelas satu, atau kelas putera yang pindah, tapi karena kini ku harus tinggal bersama santri kelas satu dalam asrama yang sama. Aku harus mengasuh mereka!ha!

Aku tak mengerti bagaimana pondok dapat membuat kebijakan ini. Yang sampai padaku dan teman-teman kelas 6 adalah bahwa ini merupakan program PKL, jadi untuk tahun sekarang kita tidak PKL di desa-desa seperti Pameungpeuk atau Pakenjeng, tapi kita PKL di sini, di kelas satu! kami telah dijelaskan bahwa kelas 6 dituntut untuk mengabdi pada pondok, sekalian belajar bertanggung jawab. Katanya kelas satu sekarang semakin tak kondusif, mudah-mudahan dengan adanya kelas 6 situasi dapat membaik. Ha?! Semudah itukah pekerjaan pembina dibebankan kepada kami? Kepada santri yang hanya punya sisa waktu belajar 8 bulan dan harus berjuang mati-matian untuk mengejar saringan masuk universitas dan beasiswa?

Oke, agak jelasnya seperti ini. Kami harus membuat asrama kelas satu tertib, rapi, aman, dan kondusif dengan tinggal di sana. Beberapa program telah dibuat, dan kamilah yang harus menjalankannya. Selama satu tahun! nanti setiap pembina mengontrol ke asrama malam-malam dan mengecek begaimana jalannya program itu, lantas mereka menilainya. Masalah kelas satupun mau tak mau kamilah kelas 6 yang harus menanganinya, dari mulai sakit, kehilangan, dan banyak lagi. Lantas, kapan kami belajarnya, Pak?! Kapan kami fokus untuk masa depan?

Aku sangat kecewa dengan putusan pondok kali ini yang seakan mengorbankan kelas 6 demi kondusifitas kelas satu. Bukankan permasalahan kelas satu adalah tanggung jawab pondok dan kerja kami sekarang adalah fokus masa depan? Bukankan kelas satu sudah punya pembina masing-masing?!

Kami sudah tinggal bersama kelas satu selama satu minggu, dan stress, frustasi, itulah yang ku dapat. Bahkan aku dan teman-teman sempat sakit kemarin. Entah, ini terlalu memberatkan. Kesan psikologis yang ku dapatkanpun sangat menakuti, sehingga ku benar-benar tak betah tinggal di DA sekarang. Aku harus berpusing-pusing di kelas satu untuk menjaga semuanya beres, sementara pembina hanya datang waktu adzan dan menggiring mereka yang sebagian telah ke mesjid setelah di giring kelas 6. Kita yang capek, pembina yang diberi gaji. Ha?!

Pondok menjawab bahwa stress ini hanya masalah adaptasi saja. Adaptasi? Kami harus beradaptasi lagi? berapa bulan? Kami tinggal di sini sudah 5 tahun, kenapa harus beradaptasi lagi? Kalau beradaptasi ini harus membuat konsentrasi kabur, haruskah kita melaku,kannya dalam masa-masa akhir yang singkat? Bukankah sebulan saja nilainya sangat berharga unuk kelas 6?

Aku harap pondok bisa lebih profesional dalam membuat kebijakan. Tidak hanya mencontoh pondok lain walau sekaliber gontor sekalipun, karena kita punya identitas sendiri yang khas. Pondok harus lebih proaktif dan kreatif, tidak hanya memplagiat orang lain karena untuk apa pimpinan rapat setiap minggu bahkan pada waktu adzan berkumandang dengan aneka makanan kecil dan minuman botol di ruang kepala kalau hasilnya hanya untuk memplagiat pondok orang?

Aku merasa kehilangan idealisme dulu. Entah. Ku harap program ini bisa diubah secepatnya dan bisa kembali normal seperti dulu.

Kamis, 10 Juli 2008

Enigma, Labyrinth, Lay, Life!

Fuh, I am quite tranquillized to be able to write here more times. It’s been long-term this blog stay like an old shed filled by forgotten archaic range. Yeah, I didn’t ‘make it over’, post my writings, or add some new features. I don’t know, but I seem to run out of passion in writing recently.

As you know, i think I’ve told you in my ‘Intermezzo’, I turn into enormous pasca-mature baby scientist! Since the last several months, at the time I met ‘Nm’, I went through really different world; I begin passionating to eat banquet served by Mr. Edi, my physics teacher. I seemed to restart getting formulas of physics and maths which were really unconcerned at all by then.

In my past time I was lost in a dark idealism sounds to be the best is to be focus on one thing, just one. So then I got myself to wrestle in social sciences, I wanted to be UN secretary general! I also aspired to get the first of national writing contest and to write my own book as fast as I could. I was really rash, and not conscious myself. Making me write dynamite topic of philosophy and social, I didn’t realize (and not let myself realize) that it was too huge for my small body and insight. However I didn’t concerned about, I just pretended myself to be a huge philosopher. I deceived myself.

Recently I get it. I just knew that I’ve to be able in physics, maths, and the previously unconsidered banquet: chemistry and biology! I kew that Ibnu Shina was a medical master as well as huge philosppher, Newton was a dynamite mathematician, physician, philosopher, and Leibniz was great at physics, maths, law, philosophy, politics, languanges, and religion. So just being able in social, who am i?

Also I’d like to criticize the far-reaching view: just to focus on one. I still remember my senior told me that life is like digging. Which one do you wish: the shallow wide one, or the deep narrow one. Then I chose the latter, and undertook my life in that way. In addition, I knew I got much, but didn’t feel enlighted. I could get postmodernism, semiotics, realism, security dilemma, which are the matters for college student but I didn’t know who myself is. I went out from my world to walk in the space that I really didn’t know.

Now I have alternative choice: wide as well as deep. Ya, like Ibnu Shina, Newton, and Leibniz. I think l’ve committed crime to restrict myself in a small room (or perhaps prison) among the unlimited world.

However, I merely don’t intend to regret my past time. I walk in complicated labyrinth, and there must be turnings; in which I have to change my direction. I know the time has come, the time for me to turn over. However, I am bent on not repeating the same waste, I still want to write, study about social sciences, philosophy, languages, and I don’t wanna let everyting go. It is not lay, just a complicated enigma. Finally, at the edge there, I’ll know something. It’s life.

Mesin Waktu, Mungkinkah? (Chapter 1)

‘Hm, kalau saja bisa kembali ke masa lalu, aku akan..’ siapa yang pernah bergumam seperti itu? Kita semua! Kau, aku, mereka, kerap kali menyesali kenyataan, menyalahkan diri sendiri untuk segala hal yang kita lakukan dulu. Kenapa dulu tak benar-benar serius belajar, kenapa dulu sering bolos sekolah, kenapa dulu.. ah, terlalu banyak kenapa yang hanya akan membuat kita lemas, dan kitapun mulai putus asa. Akan tetapi, pernahkah terlintas dalam sesal kita pertanyaan kenapa tidak kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya? Hm..

Mungkinkah? Tidak! Mungkinkah? Tidak! Itulah jawaban yang dapat dipastikan langsung membungkam mulut kita bahkan sebelum pertanyaannya keluar semua dari tenggorokan. Perusahaan sepatu NIKEpun akan berfikir sepuluh kali sebelum ia menjawab dengan mottonya, ‘impossible is nothing’, atau mungkin ia akan mengganti mottonya untuk masalah ini sebelum digugat pengadilan karena menyebarkan teori yang bohong. Alih-alih memikirkan kata orang, mari kita berbicara sedikit tentang apa itu mesin waktu.

Dunia yang kita jejaki adalah sebuah tempat empat dimensi, begitu kata Einstein. Tiga dimensi ruang (panjang, lebar, dan tinggi), dan satu dimensi waktu. Keempat dimensi itu (ruang-waktu) merupakan kesatuan yang utuh, tidak terpisah-pisah. Artinya, di mana ada ruang, di situ juga ada waktunya. Contoh sangat sederhananya adalah ketika kita menyatakan ada di Garut, maka kita juga menyatakan waktu di sana. Misalnya di Ciledug pukul 05.00. Lantas apa hubungannya dengan mesin waktu? Sabar, kita butuh sedikit pengetahuan tentang geometri untuk masalah ini.

Sedikit ilmu tentang geometri Euklid akan banyak membantu di sini. Luas persegi panjang adalah panjang kali lebar, volum tabung adalah π kali kuadrat jari-jari kali tinggi, itu sudah banyak kita pelajari. Tapi masalahnya sekarang, bagaimana hubungannya dengan waktu? Kita dapat menyatakan panjang waktu sebagai lamanya suatu kejadian, lantas, bagaimana dengan luas waktu, volum waktu? Hei, tunggu, kata siapa juga waktu mempunyai volum? Konyol!

Ya, kau boleh mngenggapnya pertanyaan konyol, tapi coba dengarkan dulu. Persegi panjang dapat mempunyai luas karena ia merupakan hasil dari sebuah garis lurus yang melengkung pada satu titik. Ia punya empat lengkungan. Bagun-bangun lainpun demikian. Artinya, semua benda di dunia mempunyai luas dan volum karena adanya lengkungan. Kalau lengkungan dapat menghasilkan luas dan volum dalam ruang, maka bagaimana kalau lengkungan itu terjadi dalam waktu? Maksudku, kalau waktu melengkung, maka berapa luas dan volumnya? Ha, bukan itu yang akan kita bicarakan sekarang, itu hanya intermezzo saja.

Wait, waktu melengkung? Ya, waktu bisa melengkung. Kata Einstein gravitasi menyebabkan ruang dan waktu melengkung. Semakin besar gravitasi, maka semakin besar lengkungannya. Dan sekarang bayangkan kalau asalnya waktu merupakan bidang lurus, lantas bidang itu dilengkungkan dengan sangat tajam sampai ada satu titik di masa lalu yang bersatu dengan titik lain di masa depan, dan kita buat lorong di tengahnya, maka jadilah mesin waktu. Kita bisa pergi ke masa depan lewat lorong itu!

Sudah sempurnakah mesin waktu kita? Belum, terlalu jauh untuk itu! Kita masih butuh proses panjang, mulai dari mencari benda bergravitasi super tinggi dengan volum relatif kecil, menggerakkannya dengan kecepata cahaya, mencari benda eksotik, dan merumuskan banyak hal yang belum terpecahkan. Mungkin kita akan membicarakannya di bab selanjutnya, nanti.

Kita masih punya konsep paling sederhana yang berbeda tentang mesin waktu. Berdasarkan relativitas Einstein, waktu akan memanjang dan memendek untuk menjaga kecepatan cahaya agar tetap konstan, artinya agar kecepatannya tetap, yaitu 300 ribu kilometer per detik. Di manapun kita berada di jagad raya ini, kecepatan cahaya akan tetap seperti itu. lantas, bagaimana jika cahaya itu berada dalam kereta yang katakanlah berlari dengan kecepatan 30 kilometer per jam? Bukankah harusnya kecepatan cahaya itu bertambah sebesar kecepatan kereta ( Vt = Vo + V )? Ya, harusnya seperti itu, tapi waktu selalu mencegah hal itu terjadi. Maka ia memanjang dan memendek. Semakin tinggi kecepatan, maka semakin melambat waktu. Jika kecepatan itu dapat mencapai kecepatan cahaya, maka waktu akan berhenti, dan jika melebihi kecepatan cahaya, maka waktu akan mundur! Lantas, untuk kembali ke masa lalu, tinggal bergerak saja dengan kecepatan melebihi cahaya. Eit, tunggu dulu, tak semudah itu bung! Kita akan hancur karena gaya ini itu.

Lantas mesin waktu, mungkinkah? Kita lanjutkan nanti, Insya Allah.

A Week Toward Renaissans, or ‘Denaissance?

I, along with my friends, just conducted IRM Fair last month. The program was established for a week or so. It consisted of stadium general, band festival, Science exhibition, PKRM ( Trainning of Muhammadiyah Adolescent generation ), and so on. We took ‘Renaissance’ as our theme, exactly, ‘a week towards Renaissance’.

Ya, Renaissance. The word was taken from French vocab, re and naissance. Re: again, and naissance means birth. In its historical contex, renaissance means enlightenment. In addition, the program was intended to extract that from its abstract concept into the real world. Ya, to enlighten the world!

However, probably the concept was too ideal for us remaining hibernating in our small ville. I don’t know, but I didn’t feel the renaissance then. There were too much hostility, greed, hatred, political hardship, and any other chaos! Our organization was changed to be a stage for political fighting. We were like gangs, with our own party, ready to destroy each others; affecting juniors, spreading negative doctrine, and commiting dirty politic. I was really not loving it, and who was?

Unfortunately, I didn’t know what to do. I tried to let everything go, but it was too naïf. I undertook my life among a battle, and it was too fool to just sit down and wait for what would be. I wouldn’t let myself victimized. So I thought I didn’t have any choice, except to be a troop, and involved into the battle.

However, the farer I walked, the worse I felt. I was really disturbed (who wasn’t?) and confused. I could only hope that I could release this post and be free as soon as possible. I’ve been really agonized here.

Renaissance or denaissance? I don’t know. I felt also my team gradually became enemy! How could? I don’t know.

Yeah, at list we only have the last a month or so for this organization. The structure will be changed next month. I’ll be very excited then, I hope.

Minggu, 08 Juni 2008

Intermezzo

Lama sekali ku tak menulis di sini. Setidaknya untuk dua bulan, atau mungkin tiga bulan ke belakang, entahlah, ku tak terlalu ingat. Terakhir kali aku berjanji pada Joshua, Wil, dan Rainer untuk meng-up date blog ini dengan postingan hebat, tapi ternyata ku tak menyisakan banyak waktu untuk menyulap blog ini menjadi sefuntastic seperti yang kujanjikan dulu. Aku minta maaf. Tapi tentunya ini bukan karena tanpa alasan; ada banyak hal yang bisa kujadikan apologi. Hal-hal yang kini membuatku seakan sendirian di rimba yang tak berujung, hal-hal yang sekejap saja menghilangkan banyak hal dariku, bahkan mungkin diriku sendiri. Entah.

Ini berawal saat ku mulai lebih akrab dengan orang paling berpengaruh nomor dua sedunia, Newton. Dia menyapaku hangat dengan konsep dasarnya tentang gerak, menceritakan kembali padaku apa yang pernah dikatakan guru fisikaku beberapa tahun lalu. s = vt, ya, materi yang sekarang menjadi makanan adikku di SD pada pelajaran matematika. Kemudian dia melanjutkan dengan konsep kekekalan momentum, sentrifugal, dan hal-hal lain yang seakan baru saja ku temui hari ini.

Tapi bukan itu yang akan kita bicarakan sekarang. Aku hanya ingin menulis ringan dan bukan membuat kepala kita berputar-putar dengan relativitas Einstein atau hukum gravitasi universal Newton, setidaknya untuk saat ini.

Bagaimana perasaan kalian di DA sekarang? Masihkah seperti terkurung dalam sebuah penjara suci? Kukira tidak. Kakak kelasku bilang bahwa sekarang DA seperti sebuah spiteng, tempat pembuangan kotoran. Hanya ada beberapa butir emas yang tersisa, dan kalau emas-emas itu pergi, keluar, maka sempurnalah DA menjadi sebuah spiteng, lengkaplah demetamorfosis kita. Tapi menurutku tidak, DA sama sekali bukan tempat sekotor itu (dan tentunya kita tak rela untuk disebut penghuni tempat semacam itu kan?), sebuah reduksi yang begitu kejam fikirku. DA adalah sebuah rimba liar yang angker dan buas, dan kita adalah pendekar dadakan (kukira itulah yang cocok) yang menjelajahi hutan ini untuk satu misi. Camkan ini, di hutan yang kita jejaki ada setangkai mawar merah bercahaya yang dinantikan banyak orang di luar sana, bahkan oleh dunia sekalipun. Dan misi kita adalah mendapatkannya, membawanya keluar lalu menancapkannya di pusat kota tempat kita tinggal yang sudah terselubungi kabut gelap. Kita harus membawanya, harus.

Sayangnya ini tak semudah membalikkan telapak tangan; ada banyak hewan buas dan mawar palsu yang menyilaukan cahaya palsu dan hanya akan mematikan kita dengan racunnya. Sayangnya ini tidaklah semudah berucap ’aku akan belajar’ karena ternyata kita banyak tertipu oleh idealisme palsu bahwa masuk kelas hanya unktuk anak kecil. Sayangnya ini dak semudah berjanji untuk menjadi soleh karena kita sudah begitu jauh tergiring pada titik salah. Sayangnya ini tak sesederhana kehidupan remaja karena kita kita sudah harus menghadapi kekerasan politik, perbedaan kelas sosial, sampai senioritas angkatan. Sayangnya ini tak sekecil, segampang, seenteng, dan semenyenangkan yang pernah kita kira seumur hidup!

Yah, mungkin untuk sekedar perbandingan, ku juga berfikir bahwa anak-anak di luar sana sama-sama mencari mawar. Seperti kita. Hanya bedanya mereka pergi diantar Papa mama mereka dengan mobil peugeotnya yang berkilauan, menuju toko bunga di tengah kota! Sambil menikmati pemandangan gedung pencakar langit yang megah, mereka dapat mencarinya sambil mampi-mampir ke toko es krim untuk sekedar mencicipi conello. Hm...

Tapi aku ingatkan kawan, mawar yang kita cari adalah mawar yang bercahaya. Mawar yang tak hanya dipakai untuk mengungkapkan perasaan sayang atau menghias taman kota yang gelap dan semakin kabur. Bukan hanya teknologi yang kita kejar, bukan! Bukan juga sekedar astronomi untuk mengetahui ramalan cuaca, biologi untuk membedah orang sakit, dan fisika untuk membuat pesawat. Bukan hanya itu kawan, kita membawa cahaya, sinar yang menerangi kota gulita ini seterang-terangnya.

Kita akan membawanya, harus!

Aku sudah harus bersiap-siap berangkat ke Garut. Kita sudah harus menghadapi THB sekarang. Fuih! Biarlah. Aku janji, Insya Allah libur setelah bagi rapor akan ku update blog ini. Banyak hal yang harus diubah di sini. Banyak juga cerita hebat yang menanti kita di IRM Fair nanti. Oke, sampai nanti dan selamat berjuang!

Sabtu, 05 Januari 2008

The Essence and Existence of Islamic Culture in Facing the Challenge of Modernism and Postmodernism

Since the globalization of world politics became state ideology accepted by most of nation-states in the world, there are so many things from foreign countries came to our country, Indonesia. Now, there are cars from Italy we can buy here, there are American foods we can have at the nearest restaurant or café. It is easy for us to enjoy foreign products.

But actually they don’t come here by themselves. They come with the cultures of the countries where the products are made. The Italy car comes with the cultures of Italy. The American food comes with the cultures of America. The more foreign products we have here, the more foreign cultures penetrate our lives.

Okay, to make them obvious, let me explain to you the most appearent foreign cultures in Indonesia and in this world at large.

First, modernism culture. In a book titled Islam and Modernism that is acknowledged by several intellectual Moslems of Oxford University, modernism is a process of following western social system, especially democracy.

In democracy, we have freedom of speech. We can express our ideas bringing forward our arguments for every affairs, by the government or nongovernment organization. For instance, when our president, Susilo Bambang Yudhoyono, made a decision to agree with the United Nations resolution on rejecting the Iran nuclear project, we the people of Indonesia can denounce that decision or even reject it, it is free.

In addition because of wide freedom of speech, by which the people can express their ideas, there is a high development of thought and knowledge. For instance, in European and America countries, where democracy is the political system, thought and knowledge develop as we can see now. In the field of technology, Europe and America are the largest areas where technology develop[p well. In term of knowledge, Europe and America are the ideal places for most of students around the world.

However, there is something we have to learn together as modernism comes to us. The fact is we don’t have development of thought and knowledge. What we are having is westernization. When we claim ourselves to be modern, what happen with us is we tend to follow the lifestyle of west. We feel cool if we have McDonnald, have fun at PUB, hang out at mall, and do what the television shows us to do.

Okay, to make us more understand, let me talk more about westernization or something that we call “cool”. First, there is postmodernism culture of every goods and lifestyle from west made by capitalism. What is postmodernism? In the field of art, there is no clear definition of postmodernism, instead, we have so many definitions of that terminology. It is not obvious wether postmodernism is the continuity of modernism, the revolution of modernism, or even the collapse of it. Regardless the definition, there is something we have to be cautious of, it’s imagology. Imagology is a term of capitalism that describe one situation where image is more important than value or function. For instance, we prefer to eat at McDonnald than at traditional food stores like warteg because we feel cooler at McDonnald. It is not because McDonnald make us healthy while warteg does not. It is because of the image, it’s because of our feeling of being cool. And when the situation like this spreads in our environment, we tend to follow all the thing come from West like lifestyle, hairstyle, and so many other cultures that are potential to degenerate morality.

Besides imagology, there is cybercultures in postmodernism. In this modern era, we can apply internet as we want. We can buy note book from United States while we are here, we can stay informed the situation of France, we can send a e-mail to our brothers and friends at Europe and chat with them. But all that cause us lazzy to talk directly. We are lazzy to visit our brothers because we can do that via internet. And it’s the culture of internet, cybercultures.

After explaining the cultures above, so let’s talk about Islamic culture, that it is our crucial topic now. But before talking about Islamic culture, we have to distinguish first between the cultures come from eastern countries and the cultures of Islam. It’s not all cultures of Arabic is Islamic culture. Arabic clothes doesn’t mean Islamic clothes that we are obligated to follow, but Islamic clothes is all polite clothes, wether Middle East clothes or Europe clothes. Even in sholat, we use sheath. It doesn’t come from east, it come from Hindu culture. Thus we can conclude that Islamic culture isn’t about a physical form, but it is more to the value of goodness.

In capitalism, we recognize imagology. As I have said before, it is situation where image is more important than meaning. How about Islamic culture? If in capitalism we are undirectly forced to use something because of image, in Islam, we are encouraged to use something beautiful so that it can increase our image. So, are islam and capitalism alike? No way! The ideology of capitalism is form follows fun. So we use something acoording to our desire of fun, so that it can increase our image. While the ideology of Islam is based on what our prophet said:

Allah is beautiful, and He loves beauty”.

We use something beautiful because Allah loves that. So we can call it in the semiotic language as form follows Allah’s love. Because of different purposes, tha capitalism desire fun while Islam desire Allah’s love, the beautifulness between Islam and capitalism are different also. The capitalism tends to the luxuriousity, extravagance, and amorality, while Islam tends to the usefulness, simplicity, and morality.

In postmodernism also we have cybercultures. As I have said before, it is a situation in which people tend to do all the thing via internet. In one side, it looks very wonderful. But in an other side, it makes something that we never realize. When everyone tends to do something via internet, they absorb a culture of internet, cybercultures. They become lazzy to meet each other, to visit their brothers, to go outside and consider people around them. They become very selfish. And when the situation like this spreads in our country, something called the death of social occurred.

How about Islamic culture? To compare between Islamic culture and cyberculture, let’s consider what Allah said at chapter Al-Hujurat verse 6:

”The believers are nothing else than brothers. So, make reconciliation between your brothers and fear Allah, that you may receive mercy”.

The verse above is full of social values. It confirm the brotherhood of every Moslems and order to strenghthen that. The concept of the verse is implemented in the Moslem’s life. Every Moslems are encouraged to go to the mosque in every prayer times. Beside prayer, they can meet each others, share their problems, tell some stories, and strenghthen their brotherhood. Every Moslems also are encouraged to perform charity, so they have a feeling of social care. And now we have one question, are technology tolls like internet and car from west forbidden in Islam? The answer is NO. islam never forbid technology. The forbidden thing in Islam is the cultures of the product. Ialam permits us to use internet, but forbids to act in the cyberculture manner. Islam permits modernization, but forbid immorality.

Okay, I think that’s enough to compare between Islamic cultures and other cultures in this era. I believe, we agree to say that Islamic culture is the best of all. But why doesn’t Islamic culture appear like other culture, like modernism, like postmodernism, and like cyberculture? Because we, the Moslems, prefer oter cultures than Islamic cultures. We forget Islamic culture!

Muhammad Iqbal once said:

“The weak culture follows the strong culture”.

The existence of Islamic culture today is very weak. While the existence of other cultures are very strong. And it is our duty to make appear so that it can followed by every people in this world and make the world better.

Memandang Primordialisme Secara Holistik

Indonesia merupakan satu entitas bangsa yang terdiri dari kesatuan budaya yang kompleks. Sejak berabad lamanya keragaman suku dan tradisi tumbuh subur dan menjadi kekayaan tersendiri bagi bangsa ini. Tak kurang dari 360 bahasa dan ratusan budaya memenuhi khazanah kebudayaan Indonesia. Hal ini merupakan satu bukti nyata bahwa bangsa ini mempunyai daya kreasi dan nilai-nilai kehidupan yang tinggi.

Di satu sisi, kita mengakuinya sebagai khazanah budaya yang bernilai tinggi. Akan tetapi di sisi lain, ketika dua karakter sosial dan budaya bertemu, primordialisme seakan menjadi satu sekat yang membuat mereka benar-benar menjadi dua entitas berbeda, menjadi air dan minyak. Rasa kesukuan menjadi tameng utama dalam menghadapi budaya dan bahasa suku lain. Seseorang yang berbahasa Jawa dalam lingkungan Sunda akan dianggap inferior dan lebih ekstrim lagi ditertawakan. Begutupun dengan suku lain yang juga mendiskreditkan budaya bangsa yang bukan berasal dari sukunya. Dalam kondisi seperti ini, potensi disintegrasi bangsa tampak begitu jelas.

Tapi jika kita melirik pada realitas, di mana dewasa ini budaya kosmopolitan, think globally, act locally, mendapatkan signifikansinya dalam kehidupan sosial bangsa kita sebagai satu prakondisi bagi kehidupan multikultur yang membuka jalan bagi budaya lain untuk masuk dan eksis dalam lingkungan lokal, maka nampaknya primordialisme sebagai satu ideologi defensif perlu kita kaji ulang. Ketika dunia sudah semakin bias akan batas teritorial dan globalisasi benar-benar mendekati masa gemilangnya, maka yang terjadi bukan hanya kompetisi ekonomi dan persaingan kerja, akan tetapi di sana terjadi pula persaingan yang begitu halus dan tidak terlihat, yaitu persaingan kultur. Karena bagaimanapun, orang luar yang masuk ke Nusantara ini tidak hanya membawa komoditinya saja, akan tetapi juga sesuatu yang tak kalah pentingnya, yaitu budaya. Makanan Barat yang kian menerobos pasaran kita secara tak langsung mengajari kita akan budaya tempat mereka berasal. Dari mulai cara makan, kecenderungan pada makanan asing, sampai pada tempat makan yang kesemuanya mengantar kita pada paradigma inferior dalam memandang makanan lokal. Begitupula dengan hal-hal lain yang dikemas dengan begitu cantik oleh kaum kapitalis dalam satu paket gaya hidup (lifestyle) yang dengan lembutnya mengaburkan pandangan kita terhadap budaya sendiri dan sedikit-sedikit kita mulai melupakannya.

Lantas, dalam keadaan seperti ini, kita semakin mabuk dalam kultur orang lain dan lupa akan jati diri kita. Sedikit-sedikit kita lupa akan punten kita, kita lupa akan horas kita, kita lupa banyak hal tentang diri kita. Dan klimaksnya, kita mulai mencaci bangsa sendiri sebagai bangsa yang kuno, ketinggalan zaman, dan inferior dibanding dengan bangsa lain. Kita mulai durhaka pada Indonesia, kita mulai lupa akan kulit kita. Dengan begini, nasionalisme akan semakin pudar, orang-orang semakin malas membela bangsa sendiri, bahkan sekedar untuk mengaku sebagai bangsa Indonesiapun malu. Maka bagaimanakah persatuan akan terjalin antara orang yang malu untuk mengakui identitasnya sendiri sementara ia juga merendahkan budaya suku lain dalam negaranya?

Menggali kembali catatan historis negeri ini, saat semangat persatuan mulai muncul. Beberapa dekade sebelum kemerdekaan, orang-orang mulai sadar akan pentingnya jiwa nasionalisme, bukan hanya sukuisme belaka. Benih-benih persatuanpun mulai bermunculan, organisasi-organisasi nasional mulai tumbuh. Sampai klimaksnya yaitu pada deklarasi sumpah pemuda, 28 Oktober 1928. Semangat anak bangsa ini ditujukan dalam rangka meraih kemerdekaan bangsa, dalam meraih hak-hak hidup, kebebasan dari penindasan, hak untuk merdeka baik secara de facto ataupun de joure.

Dilirik dari lensa historis, peristiwa yang dihadapi pahlawan bangsa dulu merupakan penjajahan secara fisik, di mana persatuan bangsa dan penafian primordialisme benar-benar dibutuhkan agar perlawanan terhadap penjajah tidak terus-menerus bersifat kedaerahan. Akan tetapi yang sekarang kita hadapi benar-benar berbeda. Kita hidup dalam rentang waktu 79 tahun setelah peristiwa deklarasi sumpah pemuda. Sejarah sudah banyak berubah. Kini penjajahan bukan lagi berbentuk penindasan fisik, akan tetapi yang kita alami sekarang adalah penjajahan kultural. Kultur-kultur kebanggaan bangsa digerogoti sedemikian rupa sehingga eksistensinya menjadi bias dan terlupakan. Nasionalisme saja tidak cukup, karena yang kita butuhkan sekarang bukanlah pembelaan nasional, akan tetapi pembelaan budaya daerah agar kita dapat mengenal bangsa ini kembali. Lantas apakah di era multi-kultural ini primordialisme memegang satu peran yang signifikan untuk diaplikasikan?

Realitas berteriak kepada kita bahwa yang sekarang kita hadapi bukan lagi kultur Jawa di lingkungan Sunda, bukan lagi kultur Batak di lingkungan betawi, akan tetai kultur-kultur Amerika dan Eropalah yang merasuki kita. Dan anehnya, ketika kultur tersebut mengambil alih posisi kultur ibu kita, kita malah merasa nyaman seolah segalanya berjalan baik. Dulu kita melotot tajam ketika ada satu etnis berbeda dengan budayanya sendiri muncul di daerah kita. Akan tetapi kini kita malah menutup mata ketika budaya kita sendiri digerogoti oleh budaya asing. Sekali lagi, apakah lantas primordialisme adalah paradigma yang harus kita pegang di era multi-kultural ini?

Jika saya ambil satu ilustrasi, di sekolah saya rasa primordialisme terasa begitu kental. Egoisme angkatan benar-benar menjadi ideologi tabu yang digunakan untuk memunculkan eksistensi kelasnya masing-masing. Saat ada acara internal sekolah misalnya, ketika kelas A mendapat giliran untuk tampil, kelas tersebut terlihat begitu antusias apapun yang terjadi. Sementara kelas lain terlihat begitu sinis, bahkan jika penampilannya bagus. Akan tetapi ketika dihadapkan pada lingkungan yang lebih kompleks, lomba di luar misalnya, rasa primordialisme tersebut seakan bias jika dihadapkan pada penampilan satu sekolah, akan tetapi malah muncul ketika sekolah lain tampil. Dan yang justru diinginkan di sini adalah munculnya kata-kata khas yang sering terdengar di sekolah saya, baik itu dari kelas sendiri atau dari kelas lain. Begitupun dengan bangsa ini. Yang sekarang kita hadapi bukanlah era monokultur, akan tetapi multi-kultur. Saat budaya Sunda benar-benar diharapkan dapat muncul di percaturan budaya ini bahkan oleh orang Jawa sekalipun, paradigma kepemilikan budaya itu seakan hilang entah ke mana. Ketika bangsa ini akan bergelut dalam persaingan global, identitas dirinya malah hilang dan orang-orangnyapun pergi jauh. Lantas terjadilah apa yang dinamakan brain drain, di mana tenaga ahli kita malah senang tinggal di luar. Hal ini tak pelak pula disebabkan karena paradigma kultural yang sudah terkontaminasi sedemikian rupa oleh westernisasi. Kalau tidak ada suku bangsa yang memegang budayanya secara utuh, maka siapa lagi? Kalau Indonesia sendiri sudah malu mengakui kultur dan negaranya, maka siapa yang akan memperjuangkan bangsa ini? Terlebih dengan semangat persatuan di mana mereka juga harus mengakui budaya suku lain yang juga didiskreditkan.

Nampaknya kata primordialisme perlu dikaji ulang melalui lensa objektifnya. Kata primus yang berarti pertama dan ordiri yang berarti ikatan yang akhirnya melahirkan kata primordialisme dengan pengertian kurang lebih satu paradigma yang selalu mengedepankan segala hal yang dibawa sejak kecil baik tradisi, adat, nilai-nilai, dan lain sebagainya nampaknya harus kita dekonsturksi ulang agar mendapat teori yang lebih objektif mengenai kehidupan sosial bangsa ini. Kalau definisi di atas lahir pada zaman nenek moyang kita saat lingkungan masih bersifat mono-kultural dan kedaerahan, di mana semangat persatuan begitu dibutuhkan dalam menghadapi penjajah secara fisik, maka apakah definisi tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa yang sudah plural dan mengandung budaya yang begitu kompleks? Yang sekarang dihadapi suku Jawa bukan lagi budaya Maluku atau Papua, akan tetapi budaya asing seperti budaya kapitalis yang menciptakan dinding-dinding sosial, yang mengokohkan strata-strata sosial, yang membuat orang-orang dalam dinding atas mabuk dalam gemerlap posmodernisme dan lupa akan kondisi sosialnya, sementara orang-orang di bawahnya terbatasi oleh dinding-dinding proletar yang diciptakan kaum kapitalis tersebut. Untuk menghadapi kondisi kultural seperti ini, maka perlu adanya paradigma yang lebih kondusif dalam mengartikan apa itu primus ordiri, apa itu ikatan pertamanya.

Dewasa ini masalah kebudayaan perlu dipandang dari lensa moralitas. Peralihan waktu menuju periode modern adalah satu tantangan nyata bagi bangsa ini. Masuknya unsur-unsur kebudayaan asing yang begitu kental dengan aura posmodernisme haruslah kita tanggapi dengan paradigma yang lebih holistik. Ideologi posmodernisme, form follows fun dengan kilau pesonanya menggiring bangsa ini pada satu ruang baru kebudayaan yang begitu absurd, pada kemabukan ekstasi. Kitapun semakin lupa pada budaya, tradisi, adat istiadat, norma, dan nilai tinggi yang kita miliki. Kalaulah tidak ada satu ikatan yang kuat pada kebudayaan masing-masing suku bangsa atau primordialisme, maka bagaimanakah eksistensi budaya nenek moyang yang berharga ini beberapa dekade ke depan?

Salah satu faktor yang menyebabkan dihindarinya primordialisme adalah etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan satu paradigma inferioritas terhadap budaya lain yang dikenal timbul sebagai implikasi logis dari primordialisme. Akan tetapi kita harus mengkaji terlebih dahulu, apakah sama antara menjunjung tinggi kebudayaan sendiri dengan menganggap rendah budaya orang lain? Apakah ketika kita menjunjung budaya sendiri lantas harus mendiskreditkan budaya lain? Bisakah kita berpengan mati-matian pada budaya sendiri tanpa memandang budaya lain melalui lensa etnosentrisme? Lantas, apa yang menyebabkan keterkaitan antara primordialisme dan etnosentrisme? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka ada dua solusi yang penulis tawarkan: 1). Etnosentrisme timbul karena dalam kebudayaan suatu daerah terdapat ajaran untuk memandang rendah budaya lain; 2). Ada unsur lain yang menggiring subjek-subjek dalam suatu budaya untuk memandang rendah budaya lain dengan maksud tertentu yang unsur tersebut berkontaminasi dengannya sedemikian rupa sehingga dianggap menjadi bagian dari budaya itu sendiri.

Untuk solusi pertama, hal ini banyak terjadi pada kaum agamis konservatif yang umumnya disebabkan oleh pemahaman parsial mengenai ajaran agama yang dianutnya. Tak sedikit penganut suatu agama menghafal dalil-dalil dan menyuarakan ajaran-ajaran yang berisi kebenaran dan kesucian agamanya sementara ayat-ayat toleransi antar agama yang juga tertuang dalanm kitab suci kerap kali diabaikan bahkan seakan tidak pernah ada. Akibatnya, eksistensi suatu agama tertentu dianggap sebagai satu entitas yang mutlaq harus tegak sebagai satu-satunya jalan kebenaran, sedangkan agama yang lainnya hanya dilirik sebagai jalan sesat yang mutlaq harus dihilangkan.

Sedang untuk solusi ke dua, di sinilah akar etnosentrisme banyak bermunculan. Seringkali pemahaman terhadap suatu budaya terkontaminasi sedemikian rupa oleh unsur eksternal sehingga unsur yang masuk tersebut seakan mutlaq merupakan bagian dari budaya itu. Hal ini tak jarang terjadi untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelomopok tertentu. Dalam dunia politik misalnya, tidak sedikit subjek yang menyalah gunakan kelompok masyarakat dan budaya tertentu sebagai tunggangannya dalam mencapai cita-cita politik. Subjek A, dengan propagandanya menggunakan kelompok masyarakat A, sedang di sisi lain subjek B juga menggunakan kelompok masyarakat B dalam kompetisi politiknya. Dengan kelihaian berpolitik, secara begitu halus terjadi diskredit terhadap subjek B yang berasal dari kelompok masyarakat B oleh subjek A. Begitupun sebaliknya. Diskredit inipun menjalar pada paradigma kelompok masyarakat untuk memandang kelompok lain yang terdiskreditkan dalam pertempuran politik secara negatif pula. Akhirnya kompetisi politik beralih kepada pergulatan kelompok sosial. Selain mendistorsi esensi perpolitikan, di mana masyarakat sudah tidak lagi memandang subjek politik dari segi kapabilitas dan akuntabilitas, akan tetapi dari segi kelompok etnis, budaya, dan organisasi kemasyarakatan, hal ini juga berpotensi besar dalam menimbulkan disintegrasi bangsa. Untuk meminimalisir hal tersebut, maka dibutuhkan kesadaran berpolitik yang profesional baik dari subjek politik atau masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian, kita harus memandang primordialisme secara holistik. Anggapan tentang etnosentrisme sebagai implikasi logis dari primordialisme nampaknya perlu kita fikirkan kembali, karena ternyata masih terdapat faktor eksternal yang bercampur dengan unsur murni suatu kebudayaan dan kerap kali kita lupakan.

Sementara kita lupa akan faktor-faktor tersebut, kita juga semakin lupa akan budaya dan bangsa kita. Kita semakin terhisap pada gemerlap budaya asing karena tak ada ikatan yang kuat pada tiang-tiang kebudayaan kita sendiri. Lantas kitapun mulai mendiskreditkan budaya-budaya bangsa ini dan mengagungkan budaya asing. Maka apakah persatuan bangsa akan benar-benar terwujud?