Kamis, 03 Juni 2010

Keadilan

Keadilan merupakan sebuah ide kesetaraan bagi setiap individu. Ia menjadi harga mati bagi banyak masyarakat dunia dan cita-cita dari berbagai perjuangan. Darinya mengalir energi besar yang amat dahsyat dan tak terkalahkan. Tengoklah sejarah besar Revolusi Perancis yang karena mimpi akan dunia baru yang adil (dengan slogan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan), masyarakat tertindas dapat menumbangkan rezim besar dan memenggal rajanya yang tidak adil. Untuk bangsa ini, keadilan telah secara gamblang tercantum dalam dasar negara (sila kelima Pancasila), dan pembukaan konstitusi UUD 1945 (..penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan…) yang dapat dilihat sebagai titik kulminasi kekecewaan akan ketidakadilan para penjajah. Setelah sekian abad terjajah dalam ketidakadilan, keadilan diam-diam menyelinapkan energinya dalam derap perjuangan dan tetesan darah para pahlawan sehingga Indonesia bisa merdeka, sehingga masyarakat Indonesia dapat meraih kesetaraan seperti masyarakat bangsa lain, kemerdekaan. Begitu juga dengan reformasi, keadilan menyelinapkan energi besarnya lewat impian-impian kesetaraan dalam berbagai hal, baik politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Bagaimanapun, keadilan adalah ide yang inheren dalam setiap diri manusia, dan ia akan senantiasa menyelipkan energinya yang luar biasa dahsyat agar gagasan kesetaraan itu dapat terwujud.

Sepertinya, dalam setiap sejarah, gagasan keadilan pertamakali harus selalu muncul dari kepala para cendikia dalam suatu masyarakat. Titik awal kesuksesan kemerdekaan muncul dari kekelahiran Budi Utomo dan organisasi lainnya yang merupakan golongan intelektual. Begitupula dengan Reformasi, saat mahasiswa meneriakkan tuntutan keadilan di hadapan rezim otoriter.

Sama halnya dengan yang terjadi saat ini. Sebagian masyarakat Indonesia di Cina Benteng yang notabene merupakan masyarakat miskin nyaris akan digusur tanpa kompensasi yang jelas. Mereka tengah berjuang menghadapi hidup yang kian sulit, mengharap keadilan datang sehingga hak-haknya untuk mendapat kompensasi yang adil sebagaimana yang terjadi pada penggusuran di tempat lain tercapai. Saat itulah, sepertinya keadilan mulai menyelinap di kepala para cendikianya.

Sebagai golongan yang tersentuh akan ketidakadilan, maka Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2010 mencoba untuk membantu masyarakat Cina Benteng tersebut agar memperoleh hak-hak mereka seperti yang diperoleh masyarakat lainnya. Melalui acara Advokasi Rakyat Marjinal (ARM), yang diantaranya terdiri dari pencerdasan masalah Cina Benteng (diskusi), Bakti Sosial untuk masyarakat Cina Benteng, dan Audiensi dengan Pemerintah Kota Tangerang, diharapkan masyarakat yang menjadi cikal-bakal sejarah kota Tangerang ini dapat memperoleh hak-haknya secara adil.

Kami mengajak teman-teman mahasiswa yang mempunyai kecukupan baik intelektual atau materi untuk ikut membantu usaha ini. Bantuan dapat diberikan melalui hal-hal kecil, yaitu dengan menyebarkan note ini ke sebanyak mungkin orang, bergabung di group facebook Advokasi Rakyat Marjinal (dengan nama group: Advokasi Rakyat Marginal - Keadilan untuk rakyat Cina Benteng) untuk memberikan dukungan moral, menyumbangkan uang (baik besar ataupun kecil) di posko baksos yang ada di stasiun UI setiap hari Senin-Jumat jam 10.30 dan 16.00, atau bisa juga mengikuti pencerdasan tentang masalah Cina Benteng yang akan diadakan pada tanggal 7 Juni 2010 pukul 14.00-17.00 di FISIP UI. Info lebih lengkap dapat dilihat di media publikasi ARM atau di group facebook Advokasi Rakyat Marjinal.

Akhirnya, kami mengajak teman-teman mahasiswa untuk bersama membantu tetangga kita warga Indonesia di Cina Benteng. Mari bersama-sama kita tegakkan keadilan. Terima kasih.

Rahim Semesta

—Surat dari Fahd, untuk masyarakat dunia.

Teman-teman yang baik, semoga kalian senantiasa berada dalam kebaikan.

Melalui surat ini, saya hanya ingin menyampaikan satu hal sederhana… yang seringkali kita anggap sepele dan bahkan kita abaikan, namun sebenarnya penting untuk kita perhatikan dan selesaikan bersama. Ini tentang hidup. Aku dan kamu, kita semua.

Tahukah kalian, saat ini setiap hari ada lebih dari 115.000 bayi korban aborsi. Kalau satu tahun adalah 365 hari, berarti dalam satu tahun ada 41.975.000 calon bayi yang kehilangan hak hidupnya. Jumlah itu bisa lebih banyak lagi, mengingat kita tak pernah tahu berapa jumlah bayi yang diaborsi secara diam-diam—sembunyi-sembunyi.

Di Indonesia sendiri, ada 2.000.000 lebih kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya. Itu bukan apa-apa sebelum kelian melihat fakta ini, bila jumlah korban meninggal perang Vietnam (58.151), perang Korea (54.246), PD II (407.316), PD I (116.708), Perang Sipil (498.332), dan perang-perang lainnya dijumlahkan, hasil penjumlahannya tidak akan lebih besar daripada jumlah bayi korban aborsi.

Apakah kita akan tetap membiarkan kejahatan ini tetap terjadi? Bila tidak, teruskanlah membaca pesan kebaikan ini;

Bila kejahatan orang tua pada (calon) anaknya lebih dari 41.975.000 setahun, sesungguhnya ada angka yang lebih besar lagi. Angka tadi, kalilakanlah 100 atau lebih. Hasilnya, itulah jumlah “kejahatan” yang dilakukan anak-anak kepada para orang tuanya—terutama kepada para Ibu yang telah merelakan setengah nyawanya ketika mengandung dan merawatnya selama 9 bulan di rahimnya. Para ibu ini melahirkannya, merawatnya, menjaga hak hidupnya, tetapi yang mengherankan… saat mereka tumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri—mereka melukai perasaannya, mengecewakannya, membuatnya menangis, bahkan memukulnya… dan bahkan, saat para Ibu ini beranjak tua, mereka mengirimkannya ke panti jompo dan melupakannya. Bukankah ini kejahatan yang lebih buruk lagi?

Ah, entah virus apa yang menyerang pikiran mereka, mematikan perasaan mereka. Anak-anak itu, saat mereka tumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri secara penuh, mereka berani membentak ibu mereka dengan kemarahan yang menyakitkan. Bahkan lebih dari itu, mereka memukul atau melakukan hal lain yang tidak pantas hingga membuat para ibu menangis dengan bibir yang menggigil, dengan hati yang perih dan terluka.

Mari kita hentikan semua ini. Bila kau bersedia, pulanglah. Duduklah di hapannya. Dekatkanlah lututmu dengan lututnya. Letakan telapak tanganmu di paha-paha sucinya. Lalu tataplah matanya dalam-dalam… Reguklah kesyahduan kasih sayangnya… rasakanlah hingga merasuk ke dalam hatimu—jauh lebih dalam, jauh lebih dalam… Katakanlah padanya, “Bu, terima kasih dan maaf. Betapa aku mencintaimu.” Sebelum dia pergi untuk selama-lamanya…

Mari kita hentikan semua ini, bila kalian tersentuh dan tergerak ingin membantu saya menyebarkan pesan kebaikan ini, saya sedang berencana membuat project Rahim Semesta, lihatlah videonya di sini http://www.youtube.com/watch?v=Wd5YRIo3UJs dan kabari kami kalau kalian ingin ikut terlibat di sana.

Sekarang, sederhana saja, sebarkanlah surat ini pada sebanyak mungkin orang—teman, sahabat, keluarga, kerabat, siapa saja. Sebarkanlah di milis, facebook, blog, atau lainnya. Dan mari kita lihat, kebaikan seperti apa yang akan terjadi di sekeliling kita.

Salamat datang di Rahim Semesta.



Salam Hangat,

Fahd Djibran

Selasa, 01 Juni 2010

..........

—Up to you to entitle this note

It’s been just about four months I involved in Kastrat. I must recognize that many things were changed incredibly so far: my view, experiences, friends, and many more than it were by the time I got in this ‘rebelious’ community. This is considerably one of my greatest turning point of life, besides the dreadfulness of my international relations peers. After all, I am very grateful to be part of this university.

It was the other side of the mainstream in my IR class to be the so-called aktivis pergerakan, or simply categorized by pendemo (or whatever to name it). I got in this ‘other’ side as I believed it is to be the right path to contribute for progress of this nation. Shortly I simply found myself as one claims to be young activist. This ‘poor’ yet rich-potential nation needs me, and my peers of course.

Unfortunately, last days I was told that the so-called demo has lost its moment in this reform era. This nation is no more led by authoritarian regime in which corruption, collution, and nepotism as if had become its tagline. This nation today has many ‘ears’ to listen to people aspiration, so why do we have to scream the rethoric loudly out the building in fact people inside the hedge are very welcome to discuss with us. Moreover, the need of this nation has turned into skill-based and innovative ideas for development rather than critics-based one. I support that view, however. For that, I, whether to be surprising or not, decide this year to be the last of my path in Kastrat, and BEM generally.

I was inspired by my senior that Indonesia needs more talent-based to reach its bright future. I actually don’t claim myself to be one talented person, but I was determined to be part of those people. Instead of being one with specific talent, I could then build ideas to create ‘ideal’ nation with those talented people. Instead of develop this nation through critic path, I could make it through the other way. I don’t judge the Kastrat way to be obsolete or even bad however, yet I only consider all ways to be needed, and I want to fill all those need.

I realize that my journey in Kastrat has just got half of its path and has still another part to go. Now I, along with my peers, get the moment of saving this nation through Advokasi Rakyat Marjinal (ARM), a program to help some people in this country to gain justice. If it is the last chance of the ‘struggle’, so I will make it beautiful. Along with my great peers of course.

Sabtu, 22 Mei 2010

TUHAN

—Sebuah logika sederhana

Sudah hampir satu tahun saya meninggalkan pesantren dan kehidupan di dalamnya. Tanpa penyesuaian apapun, saya langsung masuk Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, rahim para intelektual dan pemimpin bangsa ini. Banyak sekali perubahan yang ekstrim di sini, dari mulai cara bergaul, berfikir, belajar, dan banyak hal lainnya. Di pesantren saya terbiasa menghafal ayat-ayat suci, menelaan pendapat para ahli tafsir, mengkaji kitab kuning, dan lain sebagainya. Sementara di sini, hampir semua hal dalam mata kuliah dan ceramah-ceramah didasarkan pada logika rasional tanpa dasar agama. Semua menjadi harus sangat logis. Saya mengalami bantingan dari satu cara pemikiran ekstrim (di mana semua harus berdasar pada agama) kepada sisi ekstrim lainnya (di mana semua harus berdasar pada logika). Beberapa bulan berlalu, fikiran saya mulai berkeliaran.

Kenapa saya harus sholat? Kenapa harus Islam? Kenapa harus beragama? Pertanyaan-pertanyaan liar itu keluar selepas solat Jumat suatu hari. Tiba-tiba saja saya berfikir bahwa alasan saya beragama adalah karena dari dulu orang tua menyuruh untuk begitu, doktrin-doktrin ustadz juga. Lantas saya mengikutinya tanpa ada ruang samasekali untuk berfikir ulang tentang sebuah alasan penting, kenapa harus beragama? Usai solat jumat itu saya benar-benar termenung. Tuhan pernah berfirman bahwa kita akan mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan sendiri. Lantas, jika agama adalah suatu yang dipaksakan dari kecil tanpa kesadaran yang jelas, maka apakah kita akan bertanggungjawab juga padahal itu bukanlah kesadaran murni kita, akan tetapi lebih merupakan kesadaran paksaan dari banyak orang? Jika saya beragama karena orang tua saya adalah orang yang fanatik beragama, lantas saya mengikutinya, apakah Tuhan akan menilai keberagamaan saya dengan baik? Lalu bagaimana dengan orang yang dilahirkan dari keluarga atheis, atau agnostik yang orang tuanya tidak sempat “memaksakan” untuk beragama? Apakah ia akan disiksa akan ketidakberagamaannya karena orang tua mereka tidak beragama? Adilkah?

Fikiran saya kemudian beranjak untuk meninjau ulang kembali keberagamaan ini. Keberagamaan atau tidak adalah tanggungjawab pribadi, saya yang berhak menentukan. Saya yang mempertanggungjawabkannya di depan Tuhan. Dalam kegalauan itu, mulai tergambar arah-arah yang beragam, mulai dari menjadi benar-benar muslim dengan alasan yang jelas, mencari Tuhan, bahkan, menjadi agnostik. Dalam pencarian itu, seakan saya menjalani keagamaan secara ‘netral’ meski tetap menjalankan ritual ibadah Islam. Entah, mungkin dorongan beribadah dari kecil tidak bisa ikut netral.

Hari-hari berlalu. Kegalauan akan keberagamaan semakin menjadi-jadi, dan mungkin mencapai titik kulminasinya. Saya mulai ‘capek’, ah, susah sekali menemukan Tuhan. Di titik itu, kehidupan sudah semakin tak berarah, liberalisme!

Singkatnya, suatu hari lain saya melaksanakan solat Jumat di mesjid yang sama. Selepas salat Jumat, fikiran tentang Tuhan itu muncul kembali. Tuhan, Dia Dzat yang Maha Agung. Keagungan Tuhan tidak mungkin dapat dicapai dan dijelaskan oleh manusia secara logis, karena jika dapat diterangkan secara logis, Tuhan sudah tidak Agung lagi, Tuhan sudah sama dengan hal-hal lain yang dapat dipelajari oleh manusia: robot, teknologi, alam semesta, politik, binatang, dan lain sebagainya. Sesuatu yang dapat dipelajari oleh manusia tak lain merupakan sesuatu yang lebih ‘rendah’ dari manusia itu sendiri, karena ia dapat ditangkap oleh akal dan dapat dimanipulasi dalam bentuk lain, atau dapat ditaklukan dan dikendalikan oleh manusia. Jika Tuhan dapat dicapai oleh logika, maka itu artinya Tuhan dapat tertangkap oleh logika manusia, dan, sama dengan hal lain yang dapat ditangkap akal, Tuhan menjadi lebih rendah dari manusia. Ah, menurutku Tuhan tidak serendah itu, ia jauh lebih pintar dari manusia, karena itu kepintarannya tidak dapat dijangkau oleh logika manusia. Tingkah laku Tuhan sangat jauh nan elok dari semua keelokan yang terfikir oleh manusia, maka dari itu keelokannya tidak dapat tertangkap logika manusia. Seperti halnya kenapa ia menciptakan manusia dan memberinya banyak nikmat, sementara ia tidak butuh manusia itu sendiri? Biarlah Tuhan yang tahu, karena jika manusia mengetahuinya, Tuhan tidak lagi menjadi Maha Elok. Segala sesuatu harus ada yang menciptakan, lantas siapa yang menciptakan Tuhan? Ah, jika manusia tahu, maka Tuhan tidak lagi Maha Agung. Justeru karena Dia tidak dapat ditangkap oleh logika manusia, Dia menjadi Tuhan. Mungkin kalau Tuhan dapat ditangkap oleh logika manusia, manusia dapat menciptakan tuhan-tuhan baru seperti halnya menciptakan teknologi. Lantas, mungkin Tuhan sangat sayang kepada manusia, kemudian ia ciptakan agama, agar manusia dapat mencapai Tuhan.

Saya kemudian tertunduk, ah, percuma bermain-main dengan logika tentang Tuhan, toh pada akhirnya jika kembali mengakui adanya Tuhan kita akan beragama lagi. Kemudian saya berfikir ada tiga kategori manusia menurut keberagamaannya, yaitu: orang bodoh, orang naïf, dan orang sadar. Orang bodoh bisa jadi atheis atau beragama dan mengakui Tuhan, tapi tidak benar-benar meresapi stance-nya karena hanya mementingkan hal lain yang bersifat keduniaan. Orang naïf adalah orang atheis, yang berfikir bahwa Tuhan tidak logis maka Dia tidak ada. Orang kelompok ini sudah mencapai satu titik kesadaran keagamaan, akan tetapi terlalu dangkal hanya sebatas pemahaman manusia. Orang sadar adalah orang yang sungguh-sungguh beragama setelah sebelumnya ia ragu, karena ia dapat mencapai kesdaran keagungan Tuhan.

Akhirnya, saya sadar Tuhan adalah Dzat Yang Maha Agung. Keagungannya tak dapat ditangkap oleh logika manusia. Saya putuskan untuk beragama secara benar. Bagaimna dengan kalian? Kalau ada yang berandai bahwa keberagamaan dan pengakuan Tuhan itu seperti permainan adu nasib (saya tidak berani menggunakan kata berjudi untuk ini), maka beragama dan mengakui Tuhan adalah pilihan terbaik. Seperti yang pernah dikatakan seorang teman, pilihan untuk ber-Tuhan adalah pilihan paling menguntungkan. Jika seseorang tidak bertuhan dan tuhan tidak ada, maka ia tidak akan apa-apa. Jika ia tidak bertuhan sedangkan Tuhan ada, maka ia akan celaka. Jika ia ber-Tuhan dan Tuhan itu tidak ada, maka ia tak akan apa-apa. Jika ia ber-Tuhan dan Tuhan ada, maka ia beruntung. Lantas jika logika masih belum mau menerima? Ah, biarkan ia bermain di ruang yang disediakan Tuhan untuknya, jangan di ruangan Tuhan yang terlalu besar dan tidak dapat dijangkau. Capek sendiri nantinya.

Jumat, 21 Mei 2010

MEMAKNAI KEMBALI ARTI SYUKUR

Dalam sebuah perjalanan menuju kampus, saya teringat sebuah ayat yang sering didengungkan di pesantren, “lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzabi lasyadid”. (Jika kalian bersyukur maka Aku tambahkan nikmat-Ku, dan apabila kalian kufur, maka sesungguhnya adzab-Ku amat pedih). Ayat tadi sangat sering muncul di kultum-kultum santri, karena mungkin sangat mudah untuk dihafal dan diuraikan dengan contoh-contoh klasik. Akan tetapi, di perjalanan itu saya mendapat ide lain yang cukup konstruktif.

Syukur secara sederhana dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat oleh-Nya. Dengan syukur tersebut kita mengakui ke-Maha Pengasih dan Penyayang sebuah Dzat yang Maha Agung. Dengan sebuah logika sederhana, dapat dikatakan bahwa kasih sayang dari Yang Maha Pengasih sekaligus Maha Agung pastilah berwujud sesuatu yang besar. Maka, berangkat dari sini kita dapat katakan bahwa bersyukur kepada Tuhan harus diawali dengan pemahaman dan pengakuan bahwa kita telah diberi sesuatu yang sangat besar dan luarbiasa oleh-Nya. Sebagai seorang pelajar, saya membuka wacana ini dalam konteks kapasitas pelajar (dalam lingkup pendidikan formal).

Bersyukur bagi seorang pelajar berarti berterimakasih kepada Tuhan karena telah diberi kapasitas belajar (dalam arti seluas-luasnya) yang luar biasa. Anugerah keluarbiasaan tersebut tidak harus dalam bidang yang sama, akan tetapi Tuhan menganugerahkan nikmat keluarbiasaan itu dalam berbagai bidang yang beragam. Ada yang mahir matematik, ada yang bahasa, ada yang olah raga, dan lain sebagainya. Mengingat ayat syukur ini diturunkan untuk semua manusia, maka berarti semua manusia mempunyai keluarbiasaan yang sama. Permasalahan yang terjadi adalah kenapa justeru banyak terlihat kebodohan dan keputusasaan? Kenapa kemudian terjadi perbedaan besar antara si pintar dan si bodoh? Melihat kasus ini, maka jawaban analitisnya adalah banyak orang yang tidak faham keagungan Tuhan yang dianugerahkan kepadanya, meski dalam banyak kesempatan ia secara ritus bersyukur habis-habisan. Tak sedikit pelajar (baik yang mengaku bersyukur atau tidak) merasa bodoh dan putus asa. Dengan kata-kata yang merendahkan dirinya sendiri, mereka memandang dunia dan masa depan secara pesimistis. Akhirnya, terjadi kasus kemalasan, kekecewaan, pembiaran kebodohan, dan lain sebagainya. Sederhananya, banyak orang bersyukur tanpa faham keluarbiasaan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Berangkat dari asumsi bahwa semua orang diberi anugerah yang luar bisa, maka hal pertama yang harus dilakukan untuk dapat bersyukur adalah menyadari dan memahami terlebih dahulu adanya keluarbiasaan dalam diri sendiri. Tidak usah dalam hal akademis, tapi dalam hal-hal lain juga. Bolehlah nilai akademis tidak sempurna, tidak mendapat peringkat satu, tapi dalam hal lain kita pasti mempunyai potensi yang luar biasa. Maka tugas kita adalah menemukan potensi tersebut sampai kita terpesona karenanya dan menyadari bahwa Tuhan telah memberi kita sesuatu yang sangat hebat, bahkan diluar bayangan kita. Setelah itu barulah kita bisa bersyukur dengan dasar pemahaman yang jelas bahwa Tuhan memang Maha Agung dan Pengasih. Jika tidak ada potensi luar biasa yang dapat ditemukan (dan tidak mungkin tidak ada), maka mungkin gugurlah kewajiban untuk bersyukur.

Lanjutan ayatnya adalah jika kita telah bersyukur, maka Tuhan akan menambah nikmat-Nya. Saya melihat ini bersambung dengan pemahaman yang tadi. Ketika kita menemukan potensi luar biasa dalam diri sendiri, maka kita akan terdorong untuk mengembangkannya sehebat mungkin. Kita akan merasa menjadi orang terhebat di bidang itu (atau setidaknya menjadi yang sangat hebat), yang karenanya kita percaya diri dan kemudian terus melaju kencang menggapai prestasi-prestasi. Inilah kiranya salah satu yang dimaksud dengan penambahan nikmat tersebut, bahwa keluarbiasaan akan terus lahir setelah kita menyadari sumber keluarbiasaan yang dianugerahkan Tuhan. Setelah kita menyadari potensi kita.

Kemudian, ayat dilanjutkan dengan hal sebaliknya, bahwa jika kita kufur, maka Tuhan akan mengadzab dengan sangat pedih. Hal yang bersambungan dengan ini adalah jika kita tidak menyadari potensi besar dalam diri kita, lantas kita mengeluh dan putus asa (dan itu artinya kita kufur terhadap nikmat-Nya), maka kita akan mendapati hal yang sangat buruk dan pedih dalam hidup ini: rasa ketidakberdayaan, kebodohan, ketersingkiran, keterhinaan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Mungkin dalam intensitas tertentu ini bisa disebut sebagai salah satu adzab yang amat pedih tersebut.

Teman-teman pelajar, saya hanya ingin mengucapkan, mari kita bersyukur kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya syukur. Tidak hanya melalui doa-doa berbahasa asing (yang mungkin kita juga tak faham betul artinya) sementara dalam berdoa tersebut kita meratapi diri kita sendiri, kita meratapi kebodohan kita sendiri. Seakan-akan kita berkata, Tuhan, aku bersyukur kepadamu dengan segala kebodohan ini. Saya yakin, bukan itu yang Tuhan maksudkan dalam perintah syukur. Mari kita temukan potensi-potensi hebat yang dianugerahkan kepada kita. Mari kita bersyukur dengan sebenar-benarnya syukur.

Jumat, 30 April 2010

Tentang C***a

“…., kini itu terjadi diantara persabahatan”, Kau bilang itu suatu malam, saat aku tak bisa tidur. Sms-mu sangat aneh, dan tanpa nama entah kenapa. Aku hanya diam dan tak mau menanggapi berlebihan, hanya membalas seadanya. Ah, sms aneh, orang aneh, menurutku.

Tapi sekarang berbeda. Saat aku tahu siapa yang berbicara di pesan singkat itu, aku langsung terkejut. Seseorang yang dulu pernah kuanggap “adik” sendiri dan yang—mungkin—menganggapku sebagai sahabat, kini telah berbeda. Karena satu hal: c***a.

Ah, tak kusangka efeknya akan seperti ini. di satu sisi aku menyesal, kenapa aku merusak hubungan kalian. Apapun itu.

Bagiku, c***a adalah perasaan yang membuatku harus melaakukan banyak hal untuk membahagiakan dan membantu orang yang aku c***ai meraih suksesnya. Jika aku ada dalam posisimu sekarang (orang yang mengirim sms tengah malam lalu), aku juga akan kesal dan tidak enak, dan surprisenya, oleh sahabat yang dulu cukup dekat. Tapi saat itu aku akan berusaha agar c***a-ku padanya tak rusak oleh hal sepele itu. Karena dia sudah berpredikat menjadi pacar orang, bukan berarti dia tertutup samasekali untuk berbagi dengan orang lain bukan? Justeru sebaliknya, mungkin aku bisa mencari ruang-ruang tertentu agar tetap menc***ai-nya, mungkin dengan mendorongnya untuk berprestasi dengan menjaganya agar tidak banyak memikirkan pacarnya sehingga menurunkan belajarnya, menjaganya agar tidak terganggu belajar karena sudah pacaran dengan menantangnya untuk tinggi-tinggian rangking, atau dengan memberinya buku pendorong semangat belajar. Dengan begini aku tetap dapat membuatnya sukses, meski tidak memilikinya. Apapun itu, bagiku (saya pribadi), predikat apapun (seperti pacar) yang dimiliki seseorang pada masa remaja bukanlah hal yang penting, itu hanya sebatas permainan predikat dan ego remaja, tak ada hukum apapun yang menyatakan bahwa seorang pacar harus menutup dirinya untuk orang lain, bahkan untuk dic***ai orang lain.

Untukmu (orang yang mengirim sms tengah malam), aku tahu kau kesal padaku. Tapi itu tidak harus mengurangi bahkan menghancurkan rasa c***mu padanya, kau masih tetap bisa ngobrol dan berbagi banyak hal dengannya, untuk hal-hal positif tentunya. Kau masih tetap dapat menantangnya untuk mengadu rangking di semester I aliyah nanti, atau menantangnya dalam lomba-lomba yang kalian bisa. Kau orang hebat, aku tahu itu. Orang hebat sepertimu tak pantas menjadi lemah bahkan hancur karena hal-hal sepele seperti ini. Meski untuk sekarang kau tak bisa mendapat predikat yang sama denganku, tapi kau bisa membuatnya lebih terkesan dengan bantuan dan doronganmu padanya untuk sukses dan membahagiakannya daripada dengan bantuanku yang jauh ini. kau hanya butuh belajar, mungkin, tentang perasaan perempuan dan tentang c***a.

Bagiku, predikat ini hanya semacam alat agar aku mempunyai alasan yang jelas untuk menelfonnya sehingga jika ia punya masalah aku dapat membantu menyelesaikannya, membuatnya tertawa, juga agar aku punya alasan yang jelas untuk memberinya buku, misalnya, sehingga aku dapat membantunya sukdses belajar. Jangan berfikir terlalu jauh tentang apa yang kita lakukan dengan hubungan ini, kau tetap dapat berbagi banyak hal untuk tetap membantunya sukses dan bahagia.

Rabu, 07 April 2010

About Publication

Guys, here I added a new feature: publication. It consists of my writing that is not appropriate enough to be published in a common post. You can click the link and download it then. Thanks.

Jumat, 26 Maret 2010

S—Part I

What does life mean, S? I walked through this life, and I felt it as a frightening dark path in which I found myself being alone. I tried hard to seek the reason, but then I failed. Everytime I got a point, I just found out inanition. But there I know something, that the answer is you, only you, I concluded, perhaps. So I tried to find you, but it’s hard.

S, we once met someday in the most beautiful place we ever had. I forgot that days, but I understand enough the vivacity which I would never find anywhere. You kissed me then and sang me some songs before I slept. But it was very short moment that you left me afterwards, or I left you, I don’t know. We were then separated, without knowing one another, but I know, I love you more than everything, so do you.

It has been so long, S. Everytime I go, I always keep that moment in my mind although I know I don’t know anymore how it went then. Your face, your smile, your smell, I no more remember. But wherever I go, your love seems to be always huge, nothing lost from it. You know S, because of that, I got enough power to stand.

S, I was told that you once cried for me. It was long time ago, the time I couldn’t understand what cry actually means. But now, I’ve spent much time to be alone only to think about you, then I cried, sometime.

S, I miss that place. I always imagine someday in which I can see you again there. I see your face, your smile, and your love, then. But I forget the way to get there, I’ve left it so long: our home.

Someday, I’ll be back home, S. I’ll bring you many stories from this long journey, then we’ll lough, smile, or cry together. I’ll go back home S, then you’ll see me proudly, and I’ll see you happily. Someday, somehow…

Sabtu, 27 Februari 2010

Awkward Note

—For Delilah, of course

Depok, February 27, 2010. I just passed the yesterday hectic yet blank mind due to a lot of this week work accumulation. PKM-GT, Marginal People Advocation (ARM), Sospend. SMART UI and Grand Design SGTS 2011, those are words of which my brain has a game recently. All are big job, while still many small stuffs besides, completing the stress! I do want to go home now, but it is tiring trip that my body is to be crushed more and more. So I decided to get rid all the stress off in Jakarta, there are many good places however. Yeah, I do have to have a day in full zero work before my world becomes so chaos.

I do not want to tell a garbage story about the crowd days, it just makes us bored staring at this blog. There are actually still many interesting stories to share, but I have something somewhat distinguish to write about (emm..) my chaos day.

It’s gone for several weeks. I felt this life as a huge mussy world that my days went erroneously for the reason only I and my Delilah know (sorry for being not obvious). Actually I still did many things even much more than before, but it seemed to be aimless. I did work hard in Kastrat, but it went blank whereas I held huge idealism to contribute for this nation before. I don’t know whether it’s because too much work or something else. However, I confirm that it’s not because our relationship, De. Yeah, something I believe is that there are too many things to organize in my mind. Huh!

So we turn into idealism talk now as the problem I’m experiencing is running out of that stuff. I once chat with my senior about the thing, and he told me to keep being idealist. Everyone who seek job is the same as labour, the difference between both is just the salary, he said. It was high level talk in the beginning of my Kastrat tenure. I responded that the actual world doesn’t deserve those idealist people, they worth to be just in heaven. He didn’t answered me then. It was contradictive that I finished with bad image for idealist future. I ever imagined my future as a staff of a company that I get enough wage to live and fund my children tuition fees, but it’s fast broken by the feeling of idealist; I have to create great change for this nation and the world. The mood is considerably fluctualive; once it’s like immense wave of spirit, but in another turn it become drought. I’m in drought now, long drought.

For me, idealist is a simple common concept of life. Everyone can become idealist in whatsoever the work is. For company staff, idealism means to be honest in allocating the money and spending the time the company entrust, for saler, idealism is to be fair in setting price, for people representative, idealism forms presence in every meering, it’s just simple. By doing so, the world itself is to be change. How does my idealism, I’m still looking for it however.

Actually I didn’t intend to write something even as high as idealism. I just wanna convey for you, my Delilah, here, that the problem isn’t the relationship. I love loving you through this way. The problem we talked before is absolutely mine; it has nothing to do with our relationship, trust me De. I love contributing for your progress, I hope you have received the book I sent. Hoping it works.

Minggu, 31 Januari 2010

It’s a Day Left!

It’s 26 hours left towards my first lecture in second semester. I’m now in Depok preparing everything to head off the next full lecture days; I actually take 23 SKS for this semester, but it takes schedule as if I had 26 SKS. Fuh! That’s ok, I’ll get more benefit however. Apart from my days as a university student, I also accustom myself with the recent new status: in a relationship; I’m trying to be a good boy for my girlfriend. I know it’s said to be somewhat difficult due to distance reason —I’m here in Depok while she’s there in Garut—, but I’ll do my best for her in any ways.

Fuh, this semester will be filled by huge busy days of both lectures and organization activities. I once thought there would be much ‘garbaging’ time as what my seniors ever told, but it actually seems to be so far away from that the term of ‘heaven’. That’s ok, I’ll be busy for many things I love: lectures, Kastrat BEM FISIP UI, and other—which is still— tentative communities. I’ll not forget my ‘Delilah’ in Garut of course.

I’m told that it’s gonna be different to be a university student; for having both lectures and activities in huge portion. Yap, and both are important for me. It has not been obvious, for me, as a freshman, the role of academics for actual life in fact I know I have to do something for people who subsidise me at least Rp 12.250.000 per semester (I was told that the operational fee of each student in University of Indonesia for a semester comes to Rp 17.250.000 while I pay only five million rupiah). Thus, I think my satisfying GPA isn’t enough for feedback of what they defrayed me here. I get to do some concrete however. Anyways, it merely doesn’t mean I disparage academics, it’s as significant as diet for our body. I once red that there was clear distance between literature theories and actual field, but I disagree for hierarchy. Both has it’s own dimension. Therefore, I resolutely target higher GPA and high intense activism for next semester. Amin.

Oke, it’s only about a day left this holidays end. Thanks God, for many great experiences I went through yesterday, I beg Your Hidayah and Inayah henceforth. Amin. For Farihah, I love you, I hope this would bring much progression for us. Good luck for your examinations and all, there. For all, let’s undertake great life, make many things, changes, and benefit for our world.

Sabtu, 30 Januari 2010

She’s Vivacious Part II

—Bandung, Jan. 30, 2010 (05 : 08) It’s four hours before Depok departure. I’ve not packed anything to carry yet for not wanting missing the beautiful last dawn in home; I love this home at dawn specially. So I’m filling this beauty with writing; it’s exotic.

For the Vivacious,
anywhere.

How’re you going there? Hoping to be fine in whatsoever your days are. Yeah, I know you recently have many examinations to undertake in this last months of junior high school−or Tsanawiyah. It’ll be somewhat hectic for facing five kinds of test however, but just be tranquil; you’ll have great unforgettable happiness at the time the stuffs passed. ^_^ I did, when I was at your level. Hoping everything would go well, good luck.

It’s turned into some new Vi, only a short after we got the relationship. I can’t describe how, but it’s positive. I feel some vivacity, and so do you, don’t you? It’s normal. However, that vivacity isn’t main reason intended in what something you and me considered to be useless before (I was in your stance about the relationship). We have some intention so that it’ll not go like garbage.

I purely want to make some positive change with this in whatsoever the way we have. Some people might think to be difficult for distance reason, but I don’t. It’s not dating or whatever the stuff they say about getting relationship we mainly expect, it’s progression we intend to make. I and you have agreed for this by the time we decided to go together. “the positive relationship might be if the ‘he’ could bring the ‘she’ to the positive way, and so does the she”, I said then. So Vi, I do believe we, you and I, can make that progression. Just in simple way, not to be so serious anyway.

I promise I’ll get to Garut someday so we can meet there to share many things and implement our plan of souvenir tradeoff. Insya Allah.

Oke, I get to start preparing everything for Depok departure. We’ll go on later. Good luck for your examinations ya, make some success then. See you, Vi.

Regards,

Iqbal

Rabu, 27 Januari 2010

SMART UI: Garut's Iron Stock

I just came home after a hectic week working in Garut for SMART UI Goes to School (SGTS) 2010. It was very tiring moment for both physic and psychology. That was ok, as I got so much fun among that crowd however. Also I got precious lesson about being energetic and vivacious anyways. It was awesome!

Garut, I just left that place for a semester or so, and this month is my first visit afterwards. The highway I initially passed in that small town reminded me to my adolescence undertaken in Islamic boarding school. I ever lived here, in which fraternity and togetherness were above all, in which I spent my teen-age tales; love, deliquencies, and all. However, I no more visited this city as a naive plain high school boy. I’m now a university student with different view at the time I got the gate of that city of dodol.

My first come was colored by anxiousness. Garut is a city enriched by various cultures and resourses; dodol, orange, sheep, gas, and tourism. There were so many potencies to be explored for people welfare. However, I see the inhabitants aren’t in their ideal. There’s —the overwhelming problem actually— poverty, traditionalism, and deep myth grow prosperously. I once visited Situ Bagendit and went a raft up crossing the lake. It spent Rp 30.000 for a turn. When my Dad offered some lower, the employee said that he had only Rp 5.000 from the fee, and the rest must be given to his boss who wasn’t Garut person. Wow! He got far more lower for the ‘property’ he had than alience. I got many stories about primitivism like Kampung Naga, Kampung Duku, etc. I wonder their education access that must be very low. Also myths and all the irrational fiction spread widely to every corner of that city. It’s not Padjajaran Kingdom anymore, it’s now modern age, I said.

I thought the main problem was Garut’s lack access of imformation, given that stuff is crucial for progression in this era. Distance could be reason for previous time, but it’s not available anymore for today borderless world. Our Dads probably had less chance to be like us—to be student in outstanding university, so they also had little information to share with their little brothers and peers. Now the situation is absolutely different. Garut has many sons spred around the world. They are now in many prestigious universities like ITB, UI, UGM, and some foreign institutions. Here we are!

I think it’s now the time to reform Garut towards modern age. I didn’t say to change the cultures, as they are our fundamental. It’s the spirit of modernization we have to overspread to every point in this diamond city through information and event establishment. And we, the Silaturahim Mahasiswa dan Alumni Garut UI (SMART UI) are part of those who have the duty.

We actually have done great job through yesterday SMART UI Goes to School (SGTS), but it still needs many more for reformation. I belive, we, although only a little part, can implement that great change. I remember Mr. Juwono Sudarsono, the former minister of defence and security once said that a 80% of people is influenced by 20%. So, the 20%, it’s time to show up Garut in this nation stage.

I’m glad to work in SMART UI, and impatiently wait for other incredible ideas for Garut progression. Hidup Mahasiswa!

Kamis, 21 Januari 2010

Daftar Mosi Debat SGTS 2010

Kepada semua peserta lomba debat SGTS 2010, ada spesifikasi mosi yang bisa dilihat di bawah ini:

Penyisihan
1. Rencana diberlakukannya UN sebagai standar masuk PTN tahun 2012.
2. Lokalisasi prostitusi di daerah-daerah di Indonesia.
3. Perbanyak jumlah SMK dari SMA dengan perbandingan 60:40.
4. Indonesia memerlukan hutang luar negeri.
5. Kebebasan melakukan operasi ganti alat kelamin.
6. Efektivitas kinerja 100 hari menteri yang berasal dari parpol.

1/8 final
1. Efektivitas penyelenggaraan Pilkada di Indonesia.
2. Pro kontra RUU penyadapan: kewenangan penyadapan oleh KPK.
3. Nuklir sebagai energi alternatif.
4. Kepolisian RI berada dibawah presiden secara lansung.

1/4Final
1. Pemberlakuan UU BHP: liberalisasi pendidikan
2. Pelarangan budaya daerah yang terkait pornografi dan pornoaksi.

Semi final
1. Pelarangan film Balibo.
2. Pengakuan negara Indonesia terhadap pasangan satu jenis kelamin

Final perebutan juara ke-3
1. Pemberlakuan Hukum adat.
2. Pelaksanaan sekolah inklusi di Indonesia.

Final
1. Kebebasan berekspresi di situs jejaring sosial (twitter, facebook).
2. Pengangkatan wakil menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.

Regards,
Iqbal Pirzada
PJ Debat SGTS 2010

Sabtu, 16 Januari 2010

Note at 'Garbage Time'

It’s ‘garbage time’* now. I have still two hours before going Depok registering for BEM FISIP UI and being present at PA consultation. I’ve filled this week with hectic jobs in which I got to go through extreme round trip of Bandung-Depok-Garut. It’s oke, I had so much fun in those however.

Nowadays I experience great happiness my life ever (wow!). It’s not because of broading, winning a million dollar lottere, or being accepted by ‘Delilah’. It’s only because some simple stuff: motivation. For the last semester, at the time living in University of Indonesia, I soused myself in the dark pool of stress, problem, inconfidence, and all the complexity. I’ve lived under great pressure at all. Actually I was conscious having sparkle at academic stuff, but I consider it as useless. So I could just looking at the greatness of my peers who have tremendous achievements while I let myself so silent. What an embarrassing!

Recently I read motivation book much. Getting many encouraging wisdom, I know how great potency a man has. Looking at my flashback, I can see how stupid I was. I’ve practically spent all my time only to groan and mourn over my (considered) unjustice life. I accused everyone; my friends, my brothers, my parents, and even God! Huh, what a chaos life I went through! I can’t tell why however.

Now I realize that a man as if could do everything (according to human view, not that of God). I was beaten by Napoleon Hill, Roosevelt, Einstein, and other historical figures. As if they modeled in me with their words “Wake up, notable!’.

Now I see how great my potency is. I started learning guitar, badminton, football, and everything I ever did before. I won’t be silent again, I won’t be loser again.

Actually I have so much to tell here, but there are many things to do right now. See you.

*Garbage time is term used to exerted by IR studet of UI which refers to the jobless time so the one in that condition is assumed as garbage.