Jumat, 25 Juli 2008

Nm, Merçi!

–Pour toi, j’espére t’en lis.

Salut, comment ça va? Est-ce que ton sourire est toujours puéril comme le passé? Ou tu restes pousser un soupir à l’examen de la chimie?ha.. pas mal; tu a grande réussite internationalle, formidable!

Nous n’avons rencontré que plusieurs fois, à la petit occasion. Nous ne nous connaissais pas avant, même je pense t’étais bizarre à l’époque. Ya, en le passé t’avais l’air différent de les autres. Ta voix, te discours, bizarre!

Mais ce n’était pas grand problèm. Parce que après ça, tu faisais tout le monde surpris par ton discours, perce que avec ta grande voix tu faisais tout le monde silencieux. Formidable! Tout la monde a applaudi.

J’apprend t’étais la première gagnante l’époque, ya, félicitations. Bien que peut-être c n’était grand pas pour toi parçe que tu as gagné le concours pareil à viveau international. Les gens ici étaient beaucoup de toi.

Bientôt notre programme finissait, et je devais retourner. T’étais aussi..

Séparer, c’était dificile pour moi l’époque. Nous ne nous connaissons jamais, faisions conversation. Je ne voyais que ta visage plutôt sourire, peut-être pour moi. Je ne sais pas. Que je me penserais quand attendaisl’autobus allait était rouge uniforme, uniforme de t’école. Huh.

L’occasion était court, très. Mais la je me rendais compte, la je savais je devais étudier; il y a beaucoup de chose je ne savais pas. Tu détruisais le mur de arrogance donc je veux courir plus loin.

Donc maintenant je veux dire merçi. Merçi beaucoup pour ton visage bizarre et puéril, ton sourire, et ton discours. Merçi pour tes histories beaucoup je lis: de ta réussite de la physique, de ta formidable expérience, et de ta vie que, franchement, bizarre. Mais formidable! Perçe que de ça, je me sens il y a grand challenge attend moi la. Parçe que de la temps, je me sentais encouragement étudier beaucoup de choses, y compris exact que je regarderais avant.

Peut-être dois à toi, pour le discours à la finale de AECS en lae passé. Pour l’encouragement que, je ne sais pas comment, je me sens coule de toi. Très solide. Je décide à en repondre par façon pareil: te faire stupéfait à speech contest l’année prochaine. Je vais former. Insya Allah.

J’espére tu lis ça écriture; je ne dis que merçi. Et peut-être je répondrai ton mérite l’année prochaine, quand nous renconterai encore une fois à AECS. Si nous avons toujours l’occasion à en participer. J’espére.

Minggu, 20 Juli 2008

PKL atau Sacrificing Kelas 6?

Aku mengirim posting ini di warnet saat selesai pembekalan PKL seminggu ini. Posting ini akan lumayan singkat, kita mulai saja.

Huh, liburan selesai, kini ku akan mulai mengukir catatan di hari-hari yang aneh lagi. Menanjaki jalan lurus dari gerbang masuk, berlari tak karuan ke kelas setelah 20 menit bel berbunyi, atau berdiri di antrian panjang saat makan malam. Tapi tahun ini berbeda, tahun di mana usiaku sudah mencapai puncak 6 tahun di penjara suci ini. Bukan karena banyak peraturan baru, Loundri yang menggantikan emak dapur khusus untuk kelas satu, atau kelas putera yang pindah, tapi karena kini ku harus tinggal bersama santri kelas satu dalam asrama yang sama. Aku harus mengasuh mereka!ha!

Aku tak mengerti bagaimana pondok dapat membuat kebijakan ini. Yang sampai padaku dan teman-teman kelas 6 adalah bahwa ini merupakan program PKL, jadi untuk tahun sekarang kita tidak PKL di desa-desa seperti Pameungpeuk atau Pakenjeng, tapi kita PKL di sini, di kelas satu! kami telah dijelaskan bahwa kelas 6 dituntut untuk mengabdi pada pondok, sekalian belajar bertanggung jawab. Katanya kelas satu sekarang semakin tak kondusif, mudah-mudahan dengan adanya kelas 6 situasi dapat membaik. Ha?! Semudah itukah pekerjaan pembina dibebankan kepada kami? Kepada santri yang hanya punya sisa waktu belajar 8 bulan dan harus berjuang mati-matian untuk mengejar saringan masuk universitas dan beasiswa?

Oke, agak jelasnya seperti ini. Kami harus membuat asrama kelas satu tertib, rapi, aman, dan kondusif dengan tinggal di sana. Beberapa program telah dibuat, dan kamilah yang harus menjalankannya. Selama satu tahun! nanti setiap pembina mengontrol ke asrama malam-malam dan mengecek begaimana jalannya program itu, lantas mereka menilainya. Masalah kelas satupun mau tak mau kamilah kelas 6 yang harus menanganinya, dari mulai sakit, kehilangan, dan banyak lagi. Lantas, kapan kami belajarnya, Pak?! Kapan kami fokus untuk masa depan?

Aku sangat kecewa dengan putusan pondok kali ini yang seakan mengorbankan kelas 6 demi kondusifitas kelas satu. Bukankan permasalahan kelas satu adalah tanggung jawab pondok dan kerja kami sekarang adalah fokus masa depan? Bukankan kelas satu sudah punya pembina masing-masing?!

Kami sudah tinggal bersama kelas satu selama satu minggu, dan stress, frustasi, itulah yang ku dapat. Bahkan aku dan teman-teman sempat sakit kemarin. Entah, ini terlalu memberatkan. Kesan psikologis yang ku dapatkanpun sangat menakuti, sehingga ku benar-benar tak betah tinggal di DA sekarang. Aku harus berpusing-pusing di kelas satu untuk menjaga semuanya beres, sementara pembina hanya datang waktu adzan dan menggiring mereka yang sebagian telah ke mesjid setelah di giring kelas 6. Kita yang capek, pembina yang diberi gaji. Ha?!

Pondok menjawab bahwa stress ini hanya masalah adaptasi saja. Adaptasi? Kami harus beradaptasi lagi? berapa bulan? Kami tinggal di sini sudah 5 tahun, kenapa harus beradaptasi lagi? Kalau beradaptasi ini harus membuat konsentrasi kabur, haruskah kita melaku,kannya dalam masa-masa akhir yang singkat? Bukankah sebulan saja nilainya sangat berharga unuk kelas 6?

Aku harap pondok bisa lebih profesional dalam membuat kebijakan. Tidak hanya mencontoh pondok lain walau sekaliber gontor sekalipun, karena kita punya identitas sendiri yang khas. Pondok harus lebih proaktif dan kreatif, tidak hanya memplagiat orang lain karena untuk apa pimpinan rapat setiap minggu bahkan pada waktu adzan berkumandang dengan aneka makanan kecil dan minuman botol di ruang kepala kalau hasilnya hanya untuk memplagiat pondok orang?

Aku merasa kehilangan idealisme dulu. Entah. Ku harap program ini bisa diubah secepatnya dan bisa kembali normal seperti dulu.

Kamis, 10 Juli 2008

Enigma, Labyrinth, Lay, Life!

Fuh, I am quite tranquillized to be able to write here more times. It’s been long-term this blog stay like an old shed filled by forgotten archaic range. Yeah, I didn’t ‘make it over’, post my writings, or add some new features. I don’t know, but I seem to run out of passion in writing recently.

As you know, i think I’ve told you in my ‘Intermezzo’, I turn into enormous pasca-mature baby scientist! Since the last several months, at the time I met ‘Nm’, I went through really different world; I begin passionating to eat banquet served by Mr. Edi, my physics teacher. I seemed to restart getting formulas of physics and maths which were really unconcerned at all by then.

In my past time I was lost in a dark idealism sounds to be the best is to be focus on one thing, just one. So then I got myself to wrestle in social sciences, I wanted to be UN secretary general! I also aspired to get the first of national writing contest and to write my own book as fast as I could. I was really rash, and not conscious myself. Making me write dynamite topic of philosophy and social, I didn’t realize (and not let myself realize) that it was too huge for my small body and insight. However I didn’t concerned about, I just pretended myself to be a huge philosopher. I deceived myself.

Recently I get it. I just knew that I’ve to be able in physics, maths, and the previously unconsidered banquet: chemistry and biology! I kew that Ibnu Shina was a medical master as well as huge philosppher, Newton was a dynamite mathematician, physician, philosopher, and Leibniz was great at physics, maths, law, philosophy, politics, languanges, and religion. So just being able in social, who am i?

Also I’d like to criticize the far-reaching view: just to focus on one. I still remember my senior told me that life is like digging. Which one do you wish: the shallow wide one, or the deep narrow one. Then I chose the latter, and undertook my life in that way. In addition, I knew I got much, but didn’t feel enlighted. I could get postmodernism, semiotics, realism, security dilemma, which are the matters for college student but I didn’t know who myself is. I went out from my world to walk in the space that I really didn’t know.

Now I have alternative choice: wide as well as deep. Ya, like Ibnu Shina, Newton, and Leibniz. I think l’ve committed crime to restrict myself in a small room (or perhaps prison) among the unlimited world.

However, I merely don’t intend to regret my past time. I walk in complicated labyrinth, and there must be turnings; in which I have to change my direction. I know the time has come, the time for me to turn over. However, I am bent on not repeating the same waste, I still want to write, study about social sciences, philosophy, languages, and I don’t wanna let everyting go. It is not lay, just a complicated enigma. Finally, at the edge there, I’ll know something. It’s life.

Mesin Waktu, Mungkinkah? (Chapter 1)

‘Hm, kalau saja bisa kembali ke masa lalu, aku akan..’ siapa yang pernah bergumam seperti itu? Kita semua! Kau, aku, mereka, kerap kali menyesali kenyataan, menyalahkan diri sendiri untuk segala hal yang kita lakukan dulu. Kenapa dulu tak benar-benar serius belajar, kenapa dulu sering bolos sekolah, kenapa dulu.. ah, terlalu banyak kenapa yang hanya akan membuat kita lemas, dan kitapun mulai putus asa. Akan tetapi, pernahkah terlintas dalam sesal kita pertanyaan kenapa tidak kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya? Hm..

Mungkinkah? Tidak! Mungkinkah? Tidak! Itulah jawaban yang dapat dipastikan langsung membungkam mulut kita bahkan sebelum pertanyaannya keluar semua dari tenggorokan. Perusahaan sepatu NIKEpun akan berfikir sepuluh kali sebelum ia menjawab dengan mottonya, ‘impossible is nothing’, atau mungkin ia akan mengganti mottonya untuk masalah ini sebelum digugat pengadilan karena menyebarkan teori yang bohong. Alih-alih memikirkan kata orang, mari kita berbicara sedikit tentang apa itu mesin waktu.

Dunia yang kita jejaki adalah sebuah tempat empat dimensi, begitu kata Einstein. Tiga dimensi ruang (panjang, lebar, dan tinggi), dan satu dimensi waktu. Keempat dimensi itu (ruang-waktu) merupakan kesatuan yang utuh, tidak terpisah-pisah. Artinya, di mana ada ruang, di situ juga ada waktunya. Contoh sangat sederhananya adalah ketika kita menyatakan ada di Garut, maka kita juga menyatakan waktu di sana. Misalnya di Ciledug pukul 05.00. Lantas apa hubungannya dengan mesin waktu? Sabar, kita butuh sedikit pengetahuan tentang geometri untuk masalah ini.

Sedikit ilmu tentang geometri Euklid akan banyak membantu di sini. Luas persegi panjang adalah panjang kali lebar, volum tabung adalah π kali kuadrat jari-jari kali tinggi, itu sudah banyak kita pelajari. Tapi masalahnya sekarang, bagaimana hubungannya dengan waktu? Kita dapat menyatakan panjang waktu sebagai lamanya suatu kejadian, lantas, bagaimana dengan luas waktu, volum waktu? Hei, tunggu, kata siapa juga waktu mempunyai volum? Konyol!

Ya, kau boleh mngenggapnya pertanyaan konyol, tapi coba dengarkan dulu. Persegi panjang dapat mempunyai luas karena ia merupakan hasil dari sebuah garis lurus yang melengkung pada satu titik. Ia punya empat lengkungan. Bagun-bangun lainpun demikian. Artinya, semua benda di dunia mempunyai luas dan volum karena adanya lengkungan. Kalau lengkungan dapat menghasilkan luas dan volum dalam ruang, maka bagaimana kalau lengkungan itu terjadi dalam waktu? Maksudku, kalau waktu melengkung, maka berapa luas dan volumnya? Ha, bukan itu yang akan kita bicarakan sekarang, itu hanya intermezzo saja.

Wait, waktu melengkung? Ya, waktu bisa melengkung. Kata Einstein gravitasi menyebabkan ruang dan waktu melengkung. Semakin besar gravitasi, maka semakin besar lengkungannya. Dan sekarang bayangkan kalau asalnya waktu merupakan bidang lurus, lantas bidang itu dilengkungkan dengan sangat tajam sampai ada satu titik di masa lalu yang bersatu dengan titik lain di masa depan, dan kita buat lorong di tengahnya, maka jadilah mesin waktu. Kita bisa pergi ke masa depan lewat lorong itu!

Sudah sempurnakah mesin waktu kita? Belum, terlalu jauh untuk itu! Kita masih butuh proses panjang, mulai dari mencari benda bergravitasi super tinggi dengan volum relatif kecil, menggerakkannya dengan kecepata cahaya, mencari benda eksotik, dan merumuskan banyak hal yang belum terpecahkan. Mungkin kita akan membicarakannya di bab selanjutnya, nanti.

Kita masih punya konsep paling sederhana yang berbeda tentang mesin waktu. Berdasarkan relativitas Einstein, waktu akan memanjang dan memendek untuk menjaga kecepatan cahaya agar tetap konstan, artinya agar kecepatannya tetap, yaitu 300 ribu kilometer per detik. Di manapun kita berada di jagad raya ini, kecepatan cahaya akan tetap seperti itu. lantas, bagaimana jika cahaya itu berada dalam kereta yang katakanlah berlari dengan kecepatan 30 kilometer per jam? Bukankah harusnya kecepatan cahaya itu bertambah sebesar kecepatan kereta ( Vt = Vo + V )? Ya, harusnya seperti itu, tapi waktu selalu mencegah hal itu terjadi. Maka ia memanjang dan memendek. Semakin tinggi kecepatan, maka semakin melambat waktu. Jika kecepatan itu dapat mencapai kecepatan cahaya, maka waktu akan berhenti, dan jika melebihi kecepatan cahaya, maka waktu akan mundur! Lantas, untuk kembali ke masa lalu, tinggal bergerak saja dengan kecepatan melebihi cahaya. Eit, tunggu dulu, tak semudah itu bung! Kita akan hancur karena gaya ini itu.

Lantas mesin waktu, mungkinkah? Kita lanjutkan nanti, Insya Allah.

A Week Toward Renaissans, or ‘Denaissance?

I, along with my friends, just conducted IRM Fair last month. The program was established for a week or so. It consisted of stadium general, band festival, Science exhibition, PKRM ( Trainning of Muhammadiyah Adolescent generation ), and so on. We took ‘Renaissance’ as our theme, exactly, ‘a week towards Renaissance’.

Ya, Renaissance. The word was taken from French vocab, re and naissance. Re: again, and naissance means birth. In its historical contex, renaissance means enlightenment. In addition, the program was intended to extract that from its abstract concept into the real world. Ya, to enlighten the world!

However, probably the concept was too ideal for us remaining hibernating in our small ville. I don’t know, but I didn’t feel the renaissance then. There were too much hostility, greed, hatred, political hardship, and any other chaos! Our organization was changed to be a stage for political fighting. We were like gangs, with our own party, ready to destroy each others; affecting juniors, spreading negative doctrine, and commiting dirty politic. I was really not loving it, and who was?

Unfortunately, I didn’t know what to do. I tried to let everything go, but it was too naïf. I undertook my life among a battle, and it was too fool to just sit down and wait for what would be. I wouldn’t let myself victimized. So I thought I didn’t have any choice, except to be a troop, and involved into the battle.

However, the farer I walked, the worse I felt. I was really disturbed (who wasn’t?) and confused. I could only hope that I could release this post and be free as soon as possible. I’ve been really agonized here.

Renaissance or denaissance? I don’t know. I felt also my team gradually became enemy! How could? I don’t know.

Yeah, at list we only have the last a month or so for this organization. The structure will be changed next month. I’ll be very excited then, I hope.