Minggu, 07 Desember 2008

Generasi Muda: What do You Think The Nation is


Kita memang memiliki masalah yang pelik. Bayangkan saja, hampir di setiap sudut negeri ini kita jumpai kesalahan dan kegilaan dengan beragam wujud yang tak menentu. Mulai dari ketidaktertiban penyebrang jalan seenaknya yang terlihat biasa saja, bedesak-desaknya penumpang bus kota yang terasa melelahkan, pemandangan asap rokok dari mulut pelajar yang terfikir menjengkelkan, pencopetan, jambret, maling, rampok, penganiayaan dan pembunuhan sadis yang begitu menakutkan sampai penjualan VCD porno, kasus narkoba dan seks bebas yang (sst..) diam-diam menyenangkan.

Semua problematika itu kerap kali kita dengar dari televisi, radio, koran, majalah, atau Internet. Ada masyarakat yang benar-benar antusias dan berfikir kembali tentang perbaikan bangsa, ada yang menjadikannya sekedar pelengkap sarapan pagi, bahkan ada yang sengaja memburu koran untuk membaca berita pelecehan seksual yang menceritakan detail kejadiannya. Alih-alih sadar akan kriminalitas, mereka malah menikmati kasus-kasus porno yang tak kalah ‘panas’ dengan novel-novel porno murahan. Dan redaktur koran itupun sengaja membuatnya untuk dinikmati, bukan direnungi. Karena kalau masyarakatnya sadar, mereka akan bangkrut.

Tapi kita tak akan membahas deretan masalah itu satu persatu yang akan membuat kita kesal. Kita akan berbicara tentang kenyataan bahwa banyak kesalahan dan kejahatan tadi telah menyusupi kehidupan dan berserakan di banyak tempat yang kita jumpai. Ia menjadi teman perjalanan dari TV sampai ke sekolah, pelengkap keripik singkong di kantin sekolah saat istirahat, sampai terselip di sela-sela penjelasan guru kita, “Da negara kitamah Negara susah!”

Akhirnya kita terbiasa untuk mengutuki Negeri kita sendiri. Dengan fasihnya kita berbicara tentang ketidaktertiban, dengan tegas kita meledeki ketidaktepatan waktu, dengan riang kita menertawakan kebodohan masyarakat, dan dengan lantang kita melecehkan moral bangsa.

Kita sudah benar-benar terbiasa untuk menyerapahi Negara kita. Bahkan sampai merasa malu untuk mengaku diri sebagai orang Indonesia. Tapi apa yang sebenarnya kita kutuki dan serapahi itu? Ketika berbicara ketertiban, secara tak sadar kita tengah menyebrangi jalan raya dengan seenaknya yang menyebabkan kemacetan padahal tak jauh dari sana sudah tersedia jembatan penyebrangan, atau mungkin kita sedang menyerobot antrian orang lain karena tak ingin menunggu lama. Saat meledeki ketidaktepatan waktu, kita sepertinya tak ingat lagi berapa kali kita pernah dimarahi guru karena terlambat masuk kelas. Saat dengan riangnya menertawakan kebodohan masyarakat, di kasus Freeport katakanlah, kita terbahak-bahak oleh ketidakbecusan orang Indonesia dalam mengelola pertambangan padahal nilai ulangan Fisika kita merah, dan Kimia kita anjlok. Saat lantang melecehkan moral bangsa karena korupsi, kita tak pernah sadar bahwa kita telah berulang kali menipu orang tua dengan menaikkan harga buku jauh dari harga sebenarnya untuk tambahan uang jajan. Maka saat kita meledek, menertawakan, mengutuk, dan menyerapahi bangsa ini, secara tak sadar kita telah meledek, menertawakan, mengutuk, dan menyerapahi perbuatan kita sendiri. Seperti sebuah pepatah mengatakan, ‘muka jelek cermin dipukul’. Nampaknya seperti itulah kondisi kita. Kita memukuli kenyataan bangsa yang kacau, padahal itu tak lain adalah cerminan dari diri kita sendiri.

Tidakkah kita merasa malu untuk ini semua? Untuk ketidaktertiban, kebodohan, dan imorarilas yang kita buat sendiri. Lantas, siapa yang seharusnya mengaku malu, diri kita untuk menjadi bangsa Indonesia, atau bangsa ini untuk mengayomi orang-orang semacam kita?

Maka sudah saatnya sekarang kita sadar. Ternyata masalah-masalah yang kerap kita bicarakan berasal dari diri kita sendiri. Kita harus dapat memandang permasalahan ini tidak hanya sebagai ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasinya, tapi juga sebagai kekhilafan kita yang terus mengulanginya. Memang benar kita mendapati bahwa korupsi adalah urusan Negara, tapi ternyata kita sendirilah yang menggandongi bibit cikal-bakal korupsi. Begitupun dengan yang lain, kita jugalah yang ikut bertanggung jawab atasnya. Mari sekarang kita pandang setajam mata elang bahwa semua masalah ini adalah masalah yang kita sendiri perbuat, maka untuk memperbaikinya kita harus memperbaiki diri kita sendiri dahulu.

Untuk semua generasi muda, mari sekarang kita bangkit. Sudah saatnya kita keluar dari semua keterpurukan ini. Indonesia tak akan terus menjadi seperti ini jika kita sadar dan menghendaki perubahan. Indonesia belum selesai selama masih memiliki kita. Maka mari kita mulai lembaran baru, untuk menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.

0 komentar: