Jumat, 21 Mei 2010

MEMAKNAI KEMBALI ARTI SYUKUR

Dalam sebuah perjalanan menuju kampus, saya teringat sebuah ayat yang sering didengungkan di pesantren, “lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzabi lasyadid”. (Jika kalian bersyukur maka Aku tambahkan nikmat-Ku, dan apabila kalian kufur, maka sesungguhnya adzab-Ku amat pedih). Ayat tadi sangat sering muncul di kultum-kultum santri, karena mungkin sangat mudah untuk dihafal dan diuraikan dengan contoh-contoh klasik. Akan tetapi, di perjalanan itu saya mendapat ide lain yang cukup konstruktif.

Syukur secara sederhana dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat oleh-Nya. Dengan syukur tersebut kita mengakui ke-Maha Pengasih dan Penyayang sebuah Dzat yang Maha Agung. Dengan sebuah logika sederhana, dapat dikatakan bahwa kasih sayang dari Yang Maha Pengasih sekaligus Maha Agung pastilah berwujud sesuatu yang besar. Maka, berangkat dari sini kita dapat katakan bahwa bersyukur kepada Tuhan harus diawali dengan pemahaman dan pengakuan bahwa kita telah diberi sesuatu yang sangat besar dan luarbiasa oleh-Nya. Sebagai seorang pelajar, saya membuka wacana ini dalam konteks kapasitas pelajar (dalam lingkup pendidikan formal).

Bersyukur bagi seorang pelajar berarti berterimakasih kepada Tuhan karena telah diberi kapasitas belajar (dalam arti seluas-luasnya) yang luar biasa. Anugerah keluarbiasaan tersebut tidak harus dalam bidang yang sama, akan tetapi Tuhan menganugerahkan nikmat keluarbiasaan itu dalam berbagai bidang yang beragam. Ada yang mahir matematik, ada yang bahasa, ada yang olah raga, dan lain sebagainya. Mengingat ayat syukur ini diturunkan untuk semua manusia, maka berarti semua manusia mempunyai keluarbiasaan yang sama. Permasalahan yang terjadi adalah kenapa justeru banyak terlihat kebodohan dan keputusasaan? Kenapa kemudian terjadi perbedaan besar antara si pintar dan si bodoh? Melihat kasus ini, maka jawaban analitisnya adalah banyak orang yang tidak faham keagungan Tuhan yang dianugerahkan kepadanya, meski dalam banyak kesempatan ia secara ritus bersyukur habis-habisan. Tak sedikit pelajar (baik yang mengaku bersyukur atau tidak) merasa bodoh dan putus asa. Dengan kata-kata yang merendahkan dirinya sendiri, mereka memandang dunia dan masa depan secara pesimistis. Akhirnya, terjadi kasus kemalasan, kekecewaan, pembiaran kebodohan, dan lain sebagainya. Sederhananya, banyak orang bersyukur tanpa faham keluarbiasaan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Berangkat dari asumsi bahwa semua orang diberi anugerah yang luar bisa, maka hal pertama yang harus dilakukan untuk dapat bersyukur adalah menyadari dan memahami terlebih dahulu adanya keluarbiasaan dalam diri sendiri. Tidak usah dalam hal akademis, tapi dalam hal-hal lain juga. Bolehlah nilai akademis tidak sempurna, tidak mendapat peringkat satu, tapi dalam hal lain kita pasti mempunyai potensi yang luar biasa. Maka tugas kita adalah menemukan potensi tersebut sampai kita terpesona karenanya dan menyadari bahwa Tuhan telah memberi kita sesuatu yang sangat hebat, bahkan diluar bayangan kita. Setelah itu barulah kita bisa bersyukur dengan dasar pemahaman yang jelas bahwa Tuhan memang Maha Agung dan Pengasih. Jika tidak ada potensi luar biasa yang dapat ditemukan (dan tidak mungkin tidak ada), maka mungkin gugurlah kewajiban untuk bersyukur.

Lanjutan ayatnya adalah jika kita telah bersyukur, maka Tuhan akan menambah nikmat-Nya. Saya melihat ini bersambung dengan pemahaman yang tadi. Ketika kita menemukan potensi luar biasa dalam diri sendiri, maka kita akan terdorong untuk mengembangkannya sehebat mungkin. Kita akan merasa menjadi orang terhebat di bidang itu (atau setidaknya menjadi yang sangat hebat), yang karenanya kita percaya diri dan kemudian terus melaju kencang menggapai prestasi-prestasi. Inilah kiranya salah satu yang dimaksud dengan penambahan nikmat tersebut, bahwa keluarbiasaan akan terus lahir setelah kita menyadari sumber keluarbiasaan yang dianugerahkan Tuhan. Setelah kita menyadari potensi kita.

Kemudian, ayat dilanjutkan dengan hal sebaliknya, bahwa jika kita kufur, maka Tuhan akan mengadzab dengan sangat pedih. Hal yang bersambungan dengan ini adalah jika kita tidak menyadari potensi besar dalam diri kita, lantas kita mengeluh dan putus asa (dan itu artinya kita kufur terhadap nikmat-Nya), maka kita akan mendapati hal yang sangat buruk dan pedih dalam hidup ini: rasa ketidakberdayaan, kebodohan, ketersingkiran, keterhinaan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Mungkin dalam intensitas tertentu ini bisa disebut sebagai salah satu adzab yang amat pedih tersebut.

Teman-teman pelajar, saya hanya ingin mengucapkan, mari kita bersyukur kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya syukur. Tidak hanya melalui doa-doa berbahasa asing (yang mungkin kita juga tak faham betul artinya) sementara dalam berdoa tersebut kita meratapi diri kita sendiri, kita meratapi kebodohan kita sendiri. Seakan-akan kita berkata, Tuhan, aku bersyukur kepadamu dengan segala kebodohan ini. Saya yakin, bukan itu yang Tuhan maksudkan dalam perintah syukur. Mari kita temukan potensi-potensi hebat yang dianugerahkan kepada kita. Mari kita bersyukur dengan sebenar-benarnya syukur.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, mantap, Gan!!!!
tulisan ente penuh dengan renungan,, posting selalu tulisan-tulisannya, ane akan baca selalu,,
hehehe

Iiq Pirzada mengatakan...

okok,,sip!thx juga bwt tips2 makalah etcx.heheh