—Kita sudah melewati hal-hal itu bersama, sangat menyenangkan. Rasanya seperti baru kemarin. Walau hanya sebentar, tapi ku tak ingin kehilangan tawa dan panik itu
Bagaimana kabar kalian di sana? Masihkah mengeluh-eluh tentang dapur yang membuat pondok kita menjadi pabrik tahu? Atau masih menggelepar di asrama meneruskan mimpi yang tak berujung? Ya, sebelumnya aku turut prihatin karena sekarang kalian sudah harus memulai hari-hari itu: bangun begitu pagi dengan suara khas Pak Ato dan pangebuk kayunya, mengantri untuk makan dan mandi, kena semprot kepala sekolah untuk keterlambatan, dan banyak hal lain. Untuk memulai rutinitas yang kerap kali kita kutuki habis-habisan.
Beberapa minggu ke depan mungkin aku tak kan bisa berkumpul untuk menjalani hal yang sama; aku masih harus berjuang di tempat lain. Tak usah kujelaskan, kalian sudah tahu hal itu. Aku hanya minta didoakan agar lancar dan syukur-syukur sukses.
Beberapa minggu, tak begitu lama; kita sudah menginjak di kehidupan ini selama hampir 5 tahun, sejak dulu berkenalan dalam seminggu ta’aruf. Beberapa minggu hanya fragmen kecil yang biasa kita lalui. Ya, kita tak kan melewati tawa dan kesal itu bersama lagi, setidaknya kau dan aku. Kita tak kan mengonsep acara bersama, panik bersama, ngantri bersama, berbagi cerita selepas sholat, ngaji bareng, dan banyak hal lainnya. Setidaknya untuk beberapa minggu ini, antara kau dan aku. Tapi karena beberaapa minggu itulah kita bisa seperti ini. Karena beberapa minggu yang telah kita lalui sebelumnya, karena beberapa minggu yang telah membuat kita tertawa, karena beberapa minggu yang telah membuat kita panik, kesal, bosan, kita bisa melantunkan lagu persahabatan ini. Dan karena hanya beberapa minggu, ku tak ingin melewatkannya.
Untuk itu ku tulis surat ini pada kalian, di malam yang sepi, di saat mungkin kalian sedang berkemas dan mempersiapkan apa yang akan dibawa untuk kembali ke rumah kita, pulang dari mudik panjang ini ke penjara “suci”.
Aku hanya tak ingin melewati beberapa minggu ini tanpa kalian, untuk itu kutitipkan salam ini, semoga kalian membacanya.
Untuk Ketum, kibarkan terus semangat perjuangan kita, semoga apa yang telah kita kerjakan berada pada jalur-jalur jihad. Amin, ku harap.
Sekum, tak banyak kata yang ingin ku tulis; mungkin kau hanya punya sedikit waktu untuk membacanya. Aku tak ingin mengganggu kesibukanmu, ha..ha..jk. Untuk kebangkitan IRM dalam mewujudkan remaja yang berakhlak, aku percaya semangat itu ada padamu.
Bedum, jangan sungkan-sungkan minta uang, melihatmu saja mereka sudah segan untuk berkata tidak. (Jangan langsung negatif thinking dan menuduhku macam-macam!)
Kabid SDI, uruskeun SDI sing baleg, tong mikiran … wae!ha..ha.. terserah mu berkata apa.
Kabid ASKO, maju Ma’rakat!
Kalem LPDS, tuluykeun ngagiring, mun perlu ka imah Pembina oge!he..
Kalem LPKWU, bisnisna hade euy!
Sekbid KPSDM, Iqbal Abdul Qadir, ku serahkan sepenuhnya semua amanah ini padamu. Kini kau yang memegang KPSDM, semua bergantung padamu. Jalankan rutinitas hebat kita: Move Down, (buat santri Tsanawiyah hafal mars IRM, selebihnya terserah, kebijakan ada padamu). Jalan program kerja kita: PENA, Mind Gladiator, I’m, dan CoP. Buat agar semua orang mengenalnya, tak hanya tayangan-tayangan sampah televisi. Buat perubahan, kau bisa!
Sekretaris I’m, Haydar, seperti halnya KPSDM, semua ku titipkan padamu. Kumpulkan tulisan anggota sebelum tanggal 27, karena kemungkinan aku ke sana untuk beberapa hari pada tanggal itu, walau kemudian akan pergi lagi. Jika kau ingin mengumpulkan kandidat I’m dan mengadakan acara, terserah. Sekarang kau ketuanya, untuk beberapa minggu ini.
Ketua Mind Gladiator, Fikri Fauzi Toha, kali ini turunkan sedikit fokusmu pada Fiorentina, karena kita sedang menghadapi hal serius. Buat Mind Gladiator sekreatif mungkin, atau kau bisa mengubah formatnya.
Ketua PENA, Rois, mulai perjuangan itu dari sekarang. Tak usah bingung, keluarkan apa yang kebijaksanaanmu rasa bagus. Mungkin aku akan memenuji janji dulu untuk mengisi PENA tanggal 27an. Tapi waktu itu tiba, ku ingin mendengar cerita kumpul pertamamu dulu.
Ketua CoP, Iqbal A.Q., mungkin kesibukanmu akan meningkat. Tapi bagaimanapun, gunakan apa yang akan membawamu pada kehidupan yang lebih baik, kalau menurutmu sia-sia, tinggalkan saja.
Untuk teman-teman KPSDM: Fikri Fauzi, Rois, Iqbal A.Q., Kiki, Irvan Faturrahman, Robby, Haydar, Mustafa Reza, Dimas, Fikri, dan Nizar, aku bangga bekerja sama dengan kalian. Untuk sementara waktu kalian mempunyai ketua baru.
Pasukan KPSDM, Sekbid kemana nih?
Untuk semua personil IRM, teruskan semangat juang kita! Kita baru beberapa langkah!
Kerja keras kita nih!
Untuk teman-teman DKM: Amalul, Irvan, Septiandri, Jatnika, Fazwa, MIU, dan Bizar, banyak amal menanti kita.
Untuk teman-teman belajar malam: Opik, Fikri Fauzi, Septiandri, Irvan, Kemal, dan Shomad, aku sedang berusaha menyusun waktu agar kita bisa belajar bersama lagi seperti kemarin-kemarin.
Untuk teman-teman Komunitas Sejarah: Rendy, ljoel, Azzam, Galih, Kemal, ini belum selesai!
Untuk teman-teman I’m yang tak bisa kusebutkan semuanya, tunggu saja, beberapa minggu lagi Insya 4JJI kalian tahu siapa kandidat yang terpilih. Kalaupun tak terpilih, di DA tak hanya ada I’m saja.
Untuk teman-teman 26 yang belum tersebutkan: Rhevi, Rizki TM, Wildan (Baksos di Pameungpeuk teh kalah urang nu waregna), EQ, Gin Gin, Adit, Ardhi, Ari, Esa, Fajrin, Frisal, Galih, Galura, Hadi, Hamdi, Iman, Irwan, Jefri, Rifqi, dan Sandi, nanti kita teruskan canda dan tawa itu.
Untuk semua penghuni DA, selamat memulai rutinitas itu lagi di penjara “suci” kita, entahlah.
Buka di ruang makan Aliyah, "ngadoa heula euy, bisi ketum dicarekan ku Kepala sekolah deui!"
Jumat, 19 Oktober 2007
Kamis, 04 Oktober 2007
Istana Pasir Kita
Ke mana kau pergi
istana pasir kita belum selesai
sejak lama.
Tentang angan itu,
kita bahkan belum mulai
mengukir dinding-dinding, benteng,
tiang yang kuat
dan membenamkan ritme hidup
dalam setiap titiknya.
Kini hari sudah senja
dan air akan pasang
sebentar lagi.
Tapi ku tahu
dari pesan yang kaun kirim
lewat sayup angin dan
gemersik dedaunan
bahwa kau memanggilku
dari kicau burung merpati
bahwa kau menangis...
für jemand,
die hat mir so viel
gegeben.
Ich dich vermissen.
istana pasir kita belum selesai
sejak lama.
Tentang angan itu,
kita bahkan belum mulai
mengukir dinding-dinding, benteng,
tiang yang kuat
dan membenamkan ritme hidup
dalam setiap titiknya.
Kini hari sudah senja
dan air akan pasang
sebentar lagi.
Tapi ku tahu
dari pesan yang kaun kirim
lewat sayup angin dan
gemersik dedaunan
bahwa kau memanggilku
dari kicau burung merpati
bahwa kau menangis...
für jemand,
die hat mir so viel
gegeben.
Ich dich vermissen.
DI BALIK SEBUAH TANDA
–Tinjauan filosofis dan sosial tentang karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Denmark
Tadinya tulisan ini akan dibereskan tahun kemarin, saat karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten Denmark meledak bagai nuklir yang menggempur seluruh dunia dan meresahkan banyak orang. Akan tetapi karena tidak ditemukannya data histories yang mendukung teori filosofisnya, maka tulisan ini saya biarkan menggelepar dalam rentetan file-file. Tapi entah, sekarang saya begitu terdorong untuk menyelesaikannya, walaupun pemburuan data historisnya tak kunjung usai. Biarlah.
Di tulisan ini saya menekankan pada diskursus Nabi-isme yang pernah menjadi apologi karikatur tersebut, walaupun pada akhirnya disertakan juga tinjauan sosial agar lebih realistis. Semoga bermanfaat.
1.Diskursus Nabi-isme
–Tinjauan filosofis
Diskursus Nabi-isme menjadi polemik tersendiri di era modern ini. Walaupun tidak mendapat tempat yang krusial dalam masyarakat, setidaknya model yang satu ini dapat menjadi apologi bagi karikatur Nabi Muhammad di Koran Jillad Posten, Denmark, yang berimbas pada konflik keagamaan dan sosial.
Secara teoritis, diskursus ini menekankan pada epistimologi seniman dalam penciptaan sebuah karya seni yang berlandaskan pada metode wahyu. Di sini imajinasi sang seniman marupakan sesuatu yang transenden karena datang langsung dari logos dalam bentuk wahyu dan bukan manifestasi dari yang lainnya. Dengan begini, maka karya seni yang dihasilkannya menjadi tabu dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Akan tetapi pendekatan terhadap diskursus ini sayangnya hanya dilirik dari sisi teori idealisnya saja, yang lahir di Perancis pada tahun 1825, saat pendewaan terhadap imajinasi menjapai masa pencerahannya. Padahal dilihajt dari lensa historis, di sini terdapat anakronisme seiring dengan munculnya diskursus lain yang semakin mengkikis model epistimologi modernisme, yaitu posmodernisme.
Sejak tahun 1950-an, paradigma umum seakan digoncangkan dengan munculnya satu diskursus baru (dalam dunia seni khususnya) yang sampai saat inipun definisi dan eksistensinya masih dalam perdeba tan, yaitu diskursus posmodernisme. Meskipun masih diperbincangkan apakah posmodernisme ini merupakan kelanjutan dari, revolusi dari, atau keruntuhan dari modernisme, tapi ditinjau dari pengalaman empirisnya bahwa orang-orang kian meninggalkan rasionalitas modernisme menuju (apa yang disebut Baudrillard dengan) ekstasi, maka (dari sudut pandang saya pribadi) kian jelaslah bahwa posmodernisme merupakan entitas baru yang menggerogoti modernisme melalui kapitalisme dengan segala macam persenjataannya. Konsumerisme misalnya, yang menggiring orang-orang untuk mabuk dalam gaya hidup Barat.
Dengan demikian, maka (ditinjau secara filosofis) diskursus Nabi-isme sudah begitu usang dalam menghadapi realitas zaman ini. Apa yang disebut form follows meaning dalam dunia seni sudah jauh-jauh hari terkubur di perut bumi. Bahkan rasionalitaspun sudah terkikis banyak oleh ideology kapitalis, form follows fun, sehingga Nabi-isme sebagai ideologi bagi karikatur Nabi Muhammad adalah benar-benar utopis.
Kembali pada pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Nabi-isme nampaknya terlalu naïf jika dika takan sebagai kampong halaman yang dari situ karikatur Nabi Muhammad lahir. Ada hal-hal lain yang nampaknya turun tangan juga dalam terbentuknya karikatur ini. Bahkan mungkin Nabi-isme hanya merupakan apologi saja, sedang motif lain yang mendalangi terciptanya karikatur ini terhalangi (walaupun tak begitu rapi) oleh jargon yang bernama Nabi-isme.
2.Tanda Ekstrim (Superlative Sign)
Terlepas dari motif yang melandasi lahirnya karikatur ini, terdapat hal yang perlu ditinjau ulang pada karikatur tersebut. Di sini saya menemukan satu hal yang menjadi objek kajian, yaitu terdapat superlative (saya tidak menyebutnya disfemisme) yang benar-benar sadis dalam penggambarannya yang berasal dari paradigma subjektif pembuat terhadap objeknya.
Dalam semiotika, terdapat istilah tanda ekstrim (superlative sign) sebagai satu konsep tanda. Konsep tanda ini digunakan untuk melebih-lebihkan objek sampai batas terjauh. Dalam karikatur tersebut konsep superlatif ini digunakan untuk mendiskreditkan objeknya sekeras mungkin. Jadi karikatur Nabi Muhammad ini pada dasarnya bukanlah referensi akan fakta yang menjadi objek referensinya, akan tetapi tak lebih sebagai manifestasi subjektif pembuatnya dengan tujuan mendiskreditkan fakta.
3.Konflik Antar Agama
–Tinjauan sosial
Selain merupakan discredit terhadap objek referensinya, karikatur ini juga membawa akibat yang ambivalen terhadap kondisi sosial, baik itu untuk kalangan umat Islam dan umat selainnya. Bagi umat Islam, hal ini berpotensi besar menimbulkan kebencian terhadap agama lain, sehinga dapat membuka lebar pintu sejarah akan konflik-konflik sebelumnya yang pernah melanda umat Islam untuk diungkit kembali. Dengan begini, umat lain cenderung dipandang sebagai entitas jahat yang harus diperangi.
Sementara untuk umat selain Islam, di tengah isu dunia internasional yang tak henti memojokkan umat Islam dengan dalih terrorismenya, maka kehadiran karikatur ini akan mengantarkan paradigma mereka pada titik klimaks kebenciannya. Imbasnya, di mana-mana terdengar slogan dan hal-hal lain sebagai diskredit terhadap Islam. Di internet misalnya, Jihad adalah kata yang dilarang (restricted word) untuk deskr ipsi site di .co.nr. ketika chatting kemarin, saya dikagetkan dengan orang –yang mengaku official AllNet Cafe– bahwa umat muslim bukanlah manusia, tetapi babi. Dalam keadaan inilah, konflik antar agama berdiri tegak jauh ke langit, sementara akarnya besar menghujam bumi.
Dengan demikian, baik dalam tinjauan filosofis dan sosial, pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten adalah salah. Secara filosofis, diskursus Nabi-isme tidaklah cukup untuk membungkus karikatur superlatif ini, sedang dari tinjauan sosial, karikatur ini membawa konflik berkepanjangan antar umat beragama semakin paten.
Tadinya tulisan ini akan dibereskan tahun kemarin, saat karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten Denmark meledak bagai nuklir yang menggempur seluruh dunia dan meresahkan banyak orang. Akan tetapi karena tidak ditemukannya data histories yang mendukung teori filosofisnya, maka tulisan ini saya biarkan menggelepar dalam rentetan file-file. Tapi entah, sekarang saya begitu terdorong untuk menyelesaikannya, walaupun pemburuan data historisnya tak kunjung usai. Biarlah.
Di tulisan ini saya menekankan pada diskursus Nabi-isme yang pernah menjadi apologi karikatur tersebut, walaupun pada akhirnya disertakan juga tinjauan sosial agar lebih realistis. Semoga bermanfaat.
1.Diskursus Nabi-isme
–Tinjauan filosofis
Diskursus Nabi-isme menjadi polemik tersendiri di era modern ini. Walaupun tidak mendapat tempat yang krusial dalam masyarakat, setidaknya model yang satu ini dapat menjadi apologi bagi karikatur Nabi Muhammad di Koran Jillad Posten, Denmark, yang berimbas pada konflik keagamaan dan sosial.
Secara teoritis, diskursus ini menekankan pada epistimologi seniman dalam penciptaan sebuah karya seni yang berlandaskan pada metode wahyu. Di sini imajinasi sang seniman marupakan sesuatu yang transenden karena datang langsung dari logos dalam bentuk wahyu dan bukan manifestasi dari yang lainnya. Dengan begini, maka karya seni yang dihasilkannya menjadi tabu dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Akan tetapi pendekatan terhadap diskursus ini sayangnya hanya dilirik dari sisi teori idealisnya saja, yang lahir di Perancis pada tahun 1825, saat pendewaan terhadap imajinasi menjapai masa pencerahannya. Padahal dilihajt dari lensa historis, di sini terdapat anakronisme seiring dengan munculnya diskursus lain yang semakin mengkikis model epistimologi modernisme, yaitu posmodernisme.
Sejak tahun 1950-an, paradigma umum seakan digoncangkan dengan munculnya satu diskursus baru (dalam dunia seni khususnya) yang sampai saat inipun definisi dan eksistensinya masih dalam perdeba tan, yaitu diskursus posmodernisme. Meskipun masih diperbincangkan apakah posmodernisme ini merupakan kelanjutan dari, revolusi dari, atau keruntuhan dari modernisme, tapi ditinjau dari pengalaman empirisnya bahwa orang-orang kian meninggalkan rasionalitas modernisme menuju (apa yang disebut Baudrillard dengan) ekstasi, maka (dari sudut pandang saya pribadi) kian jelaslah bahwa posmodernisme merupakan entitas baru yang menggerogoti modernisme melalui kapitalisme dengan segala macam persenjataannya. Konsumerisme misalnya, yang menggiring orang-orang untuk mabuk dalam gaya hidup Barat.
Dengan demikian, maka (ditinjau secara filosofis) diskursus Nabi-isme sudah begitu usang dalam menghadapi realitas zaman ini. Apa yang disebut form follows meaning dalam dunia seni sudah jauh-jauh hari terkubur di perut bumi. Bahkan rasionalitaspun sudah terkikis banyak oleh ideology kapitalis, form follows fun, sehingga Nabi-isme sebagai ideologi bagi karikatur Nabi Muhammad adalah benar-benar utopis.
Kembali pada pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Nabi-isme nampaknya terlalu naïf jika dika takan sebagai kampong halaman yang dari situ karikatur Nabi Muhammad lahir. Ada hal-hal lain yang nampaknya turun tangan juga dalam terbentuknya karikatur ini. Bahkan mungkin Nabi-isme hanya merupakan apologi saja, sedang motif lain yang mendalangi terciptanya karikatur ini terhalangi (walaupun tak begitu rapi) oleh jargon yang bernama Nabi-isme.
2.Tanda Ekstrim (Superlative Sign)
Terlepas dari motif yang melandasi lahirnya karikatur ini, terdapat hal yang perlu ditinjau ulang pada karikatur tersebut. Di sini saya menemukan satu hal yang menjadi objek kajian, yaitu terdapat superlative (saya tidak menyebutnya disfemisme) yang benar-benar sadis dalam penggambarannya yang berasal dari paradigma subjektif pembuat terhadap objeknya.
Dalam semiotika, terdapat istilah tanda ekstrim (superlative sign) sebagai satu konsep tanda. Konsep tanda ini digunakan untuk melebih-lebihkan objek sampai batas terjauh. Dalam karikatur tersebut konsep superlatif ini digunakan untuk mendiskreditkan objeknya sekeras mungkin. Jadi karikatur Nabi Muhammad ini pada dasarnya bukanlah referensi akan fakta yang menjadi objek referensinya, akan tetapi tak lebih sebagai manifestasi subjektif pembuatnya dengan tujuan mendiskreditkan fakta.
3.Konflik Antar Agama
–Tinjauan sosial
Selain merupakan discredit terhadap objek referensinya, karikatur ini juga membawa akibat yang ambivalen terhadap kondisi sosial, baik itu untuk kalangan umat Islam dan umat selainnya. Bagi umat Islam, hal ini berpotensi besar menimbulkan kebencian terhadap agama lain, sehinga dapat membuka lebar pintu sejarah akan konflik-konflik sebelumnya yang pernah melanda umat Islam untuk diungkit kembali. Dengan begini, umat lain cenderung dipandang sebagai entitas jahat yang harus diperangi.
Sementara untuk umat selain Islam, di tengah isu dunia internasional yang tak henti memojokkan umat Islam dengan dalih terrorismenya, maka kehadiran karikatur ini akan mengantarkan paradigma mereka pada titik klimaks kebenciannya. Imbasnya, di mana-mana terdengar slogan dan hal-hal lain sebagai diskredit terhadap Islam. Di internet misalnya, Jihad adalah kata yang dilarang (restricted word) untuk deskr ipsi site di .co.nr. ketika chatting kemarin, saya dikagetkan dengan orang –yang mengaku official AllNet Cafe– bahwa umat muslim bukanlah manusia, tetapi babi. Dalam keadaan inilah, konflik antar agama berdiri tegak jauh ke langit, sementara akarnya besar menghujam bumi.
Dengan demikian, baik dalam tinjauan filosofis dan sosial, pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten adalah salah. Secara filosofis, diskursus Nabi-isme tidaklah cukup untuk membungkus karikatur superlatif ini, sedang dari tinjauan sosial, karikatur ini membawa konflik berkepanjangan antar umat beragama semakin paten.
Surat Untuk Pondok
Pada lesat waktu
hiruk pikuk kultur
dan dinamika modernitas,
ku lihat bentuk satu entitas yang absurd
terombang ambing dalam ambiguitas
menuju titik klimaks kebiasan
dan posidealisme…
Bandung, 18 Juli 2007
Pak, ku sengaja menulis surat ini; kita jarang bertemu, berbincang-bincang, sharing, atau sekedar saling menyapa sekalipun. Ku terlalu segan kalau harus memasuki ruang kepala sekolah untuk bergabung membicarakan masalah pondok dalam rapat pimpinan. Ku juga agak malu jika harus mengganggu waktu pimpinan hanya untuk mendengar kata-kataku. Tapi ada banyak hal yang ingin ku ceritakan, Pak. Mungkin surat ini tak akan terlalu mengganggu, karena Bapak bisa membacanya kapanpun: nanti malam, besok siang, lusa, minggu depan, terserah.
Oke, kita mulai dengan hal-hal baru di pondok. Aku masih ingat ketika kelas 1, kami begitu bersemangat berlarian ke Laboratorium Matematika untuk menonton film dokumenter. Tanpa giringan pembina, beberapa detik saja kami sudah bermunculan di sana dan berebut kursi. Sekejap laboratorium Matematika penuh. Tak masalah dengan televisinya yang hanya berukuran 21 inch sementara kami berjumlah 68 orang. Yang penting nonton.
Tapi mungkin sekarang Laboratorium Matematika sudah tak begitu banyak kami ingat, kecuali tentang rumus-rumus trigonometri yang tempo lalu membingungkanku dan teman-teman di sana. Kami lebih suka nonton di multimedia yang sudah aktif kemarin-kemarin. Cukup dramatis untuk dikatakan gedung bioskop.
Juga dengan banyak bangunan lainya. Perpustakaan, Lab. Bahasa yang ku dengar akan dilengkapi komputer untuk setiap meja, dan 2 Laboratorium baru di samping kelas. Membuatku bersemangat untuk bercerita pada teman-teman di rumah bahwa sekolahku mempunyai laboratorium terlengkap se-Jawa Barat. Aku bangga.
Kini semua perubahan itu membawa atmosfer baru di pondok. Membawa kita pada satu sesi yang kita sebut modern.
Sayangnya semua tak berjalan selancar itu. Terlalu banyak penyesuaian yang harus kita lakukan, atau entah apa namanya. Tiba-tiba saja ku lihat ada birokrasi di Pondok, 4 kepala sekolah, bahkan kemarin ku dengar IRM akan dipecah menjadi 4: Tsanawiyah Putera, Tsanawiyah Puteri, Aliyah Putera, dan Aliyah Puteri; untuk mengejar akreditasi. Ku ragu, mungkin kita belum bisa beradaptasi dan mengartikan modernitas ini.
Sebut saja birokrasi di Pondok. Aku memang tak pernah mendengar langsung pengumuman dari Bapak dalam upacara bulanan atau pemberitahuan seusai sholat maghrib, kalau kepemimpinan di Pondok kita kini mengalami transisi menuju birokrasi. Guru-guru juga. Tapi semua berkata begitu, kita ada dalam pola birokrasi. Kita ada dalam seni kepemimpinan struktural birokrat, atau entah apa disebutnya. Kini kami mempunyai koordinator pembina walaupun faktanya semua hal yang berhubungan dengan poros asrama ada di bawah instruksi kepala sekolah. Kami harus menyerahkan proposal pada Kabid. Extrakurikuler untuk dikritiki ini-itu sebelum akhirnya sampai pada Pimpinan. Kami harus mengirimkan surat dan meminta perizinan 4 kepala sekolah dengan paradigma yang berbeda-beda saat akan mengadakan kegiatan.
Lantas, kami mengeluhkan tentang banyak hal. Kami mengeluhkan menu dan porsi makan, kami mengeluhkan belatung pada nasi tempo lalu, kami mengeluhkan tentang banyaknya santri yang tidak kebagian jatah makan, kami mengeluhkan lembar uneg-uneg tentang katering yang dicabut begitu saja, kami mengeluhkan jadwal kultum IRM yang dibuang dan diganti dengan jadwal atas nama pondok, kami mengeluhkan dekakensi moral yang menyerang pada hampir semua santri, kami mengeluh,kan pembagian mesjid yang menghambat regenerasi dengan alasan efektifitas tempat dan pembinaan. Tapi semua keluhan itu seakan terbang begitu saja; kita tak bisa berbicara langsung.
Pak, ku takut jika semua ini ternyata mendistorsi idealisme kita. Ku takut jika kita malah terlalu sibuk mengurusi laboratorium Biologi yang sampai sekarang belum selesai sementara kami harus bolak-balik meminta perizinan lomba dan kegiatan di luar. Ku takut kita terlalu sibuk mengurusi akreditasi sementara nilai-nilai spiritual makin bias. Ku takut kita sudah benar-benar melegitimasi birokrasi sampai trukturlah yang sekarang memimpin kita, padahal kami butuh aliran kata-kata nasihat Bapak di mesjid. Ku takut kita salah fokus. Sekarang kita berhasil mempunyai banyak kitab hadits baru, tapi kita tak bisa membacanya. Kita berhasil mempunyai internet, tapi kita tak bisa membuat e-mail. Kita berhasil punya banyak hal, tapi kita tak mengerti.
Mungkin kita harus mengkaji ulang semuanya, sebelum ini akan benar-benar akut. Kita harus mengkaji kembali pemisahan mesjid, sebelum regenerasi benar-benar hilang. Kita harus mengkaji kembali fokus kita, sebelum (ku takut) pondok ini akan berubah menjadi lembaga lain. Karena ku tak ingin kalau modernitas ini malah menghilangkan jati diri kita.
Pak, masih banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi ku lebih senang membicarakannya di mesjid usai sholat. Teman-temanku juga. Kami lebih senang jika kita bisa sharing setelah Bapak mengimami sholat berjamaah. Kami lebih senang jika kita bisa bersama.
Aku senang tinggal di pondok. Dengan banyak hal yang ku temukan dulu. Aku senang bisa bertanya dan berdiskusi dengan kakak kelas di mesjid usai sholat, ku senang bisa berdebat dengan kakak kelas dalam acara mind gladiator, juga dengan banyak hal lain. Dan ku tak ingin kalau kesenangan ini hilang. Ku ingin merasakannya lagi...
hiruk pikuk kultur
dan dinamika modernitas,
ku lihat bentuk satu entitas yang absurd
terombang ambing dalam ambiguitas
menuju titik klimaks kebiasan
dan posidealisme…
Bandung, 18 Juli 2007
Pak, ku sengaja menulis surat ini; kita jarang bertemu, berbincang-bincang, sharing, atau sekedar saling menyapa sekalipun. Ku terlalu segan kalau harus memasuki ruang kepala sekolah untuk bergabung membicarakan masalah pondok dalam rapat pimpinan. Ku juga agak malu jika harus mengganggu waktu pimpinan hanya untuk mendengar kata-kataku. Tapi ada banyak hal yang ingin ku ceritakan, Pak. Mungkin surat ini tak akan terlalu mengganggu, karena Bapak bisa membacanya kapanpun: nanti malam, besok siang, lusa, minggu depan, terserah.
Oke, kita mulai dengan hal-hal baru di pondok. Aku masih ingat ketika kelas 1, kami begitu bersemangat berlarian ke Laboratorium Matematika untuk menonton film dokumenter. Tanpa giringan pembina, beberapa detik saja kami sudah bermunculan di sana dan berebut kursi. Sekejap laboratorium Matematika penuh. Tak masalah dengan televisinya yang hanya berukuran 21 inch sementara kami berjumlah 68 orang. Yang penting nonton.
Tapi mungkin sekarang Laboratorium Matematika sudah tak begitu banyak kami ingat, kecuali tentang rumus-rumus trigonometri yang tempo lalu membingungkanku dan teman-teman di sana. Kami lebih suka nonton di multimedia yang sudah aktif kemarin-kemarin. Cukup dramatis untuk dikatakan gedung bioskop.
Juga dengan banyak bangunan lainya. Perpustakaan, Lab. Bahasa yang ku dengar akan dilengkapi komputer untuk setiap meja, dan 2 Laboratorium baru di samping kelas. Membuatku bersemangat untuk bercerita pada teman-teman di rumah bahwa sekolahku mempunyai laboratorium terlengkap se-Jawa Barat. Aku bangga.
Kini semua perubahan itu membawa atmosfer baru di pondok. Membawa kita pada satu sesi yang kita sebut modern.
Sayangnya semua tak berjalan selancar itu. Terlalu banyak penyesuaian yang harus kita lakukan, atau entah apa namanya. Tiba-tiba saja ku lihat ada birokrasi di Pondok, 4 kepala sekolah, bahkan kemarin ku dengar IRM akan dipecah menjadi 4: Tsanawiyah Putera, Tsanawiyah Puteri, Aliyah Putera, dan Aliyah Puteri; untuk mengejar akreditasi. Ku ragu, mungkin kita belum bisa beradaptasi dan mengartikan modernitas ini.
Sebut saja birokrasi di Pondok. Aku memang tak pernah mendengar langsung pengumuman dari Bapak dalam upacara bulanan atau pemberitahuan seusai sholat maghrib, kalau kepemimpinan di Pondok kita kini mengalami transisi menuju birokrasi. Guru-guru juga. Tapi semua berkata begitu, kita ada dalam pola birokrasi. Kita ada dalam seni kepemimpinan struktural birokrat, atau entah apa disebutnya. Kini kami mempunyai koordinator pembina walaupun faktanya semua hal yang berhubungan dengan poros asrama ada di bawah instruksi kepala sekolah. Kami harus menyerahkan proposal pada Kabid. Extrakurikuler untuk dikritiki ini-itu sebelum akhirnya sampai pada Pimpinan. Kami harus mengirimkan surat dan meminta perizinan 4 kepala sekolah dengan paradigma yang berbeda-beda saat akan mengadakan kegiatan.
Lantas, kami mengeluhkan tentang banyak hal. Kami mengeluhkan menu dan porsi makan, kami mengeluhkan belatung pada nasi tempo lalu, kami mengeluhkan tentang banyaknya santri yang tidak kebagian jatah makan, kami mengeluhkan lembar uneg-uneg tentang katering yang dicabut begitu saja, kami mengeluhkan jadwal kultum IRM yang dibuang dan diganti dengan jadwal atas nama pondok, kami mengeluhkan dekakensi moral yang menyerang pada hampir semua santri, kami mengeluh,kan pembagian mesjid yang menghambat regenerasi dengan alasan efektifitas tempat dan pembinaan. Tapi semua keluhan itu seakan terbang begitu saja; kita tak bisa berbicara langsung.
Pak, ku takut jika semua ini ternyata mendistorsi idealisme kita. Ku takut jika kita malah terlalu sibuk mengurusi laboratorium Biologi yang sampai sekarang belum selesai sementara kami harus bolak-balik meminta perizinan lomba dan kegiatan di luar. Ku takut kita terlalu sibuk mengurusi akreditasi sementara nilai-nilai spiritual makin bias. Ku takut kita sudah benar-benar melegitimasi birokrasi sampai trukturlah yang sekarang memimpin kita, padahal kami butuh aliran kata-kata nasihat Bapak di mesjid. Ku takut kita salah fokus. Sekarang kita berhasil mempunyai banyak kitab hadits baru, tapi kita tak bisa membacanya. Kita berhasil mempunyai internet, tapi kita tak bisa membuat e-mail. Kita berhasil punya banyak hal, tapi kita tak mengerti.
Mungkin kita harus mengkaji ulang semuanya, sebelum ini akan benar-benar akut. Kita harus mengkaji kembali pemisahan mesjid, sebelum regenerasi benar-benar hilang. Kita harus mengkaji kembali fokus kita, sebelum (ku takut) pondok ini akan berubah menjadi lembaga lain. Karena ku tak ingin kalau modernitas ini malah menghilangkan jati diri kita.
Pak, masih banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi ku lebih senang membicarakannya di mesjid usai sholat. Teman-temanku juga. Kami lebih senang jika kita bisa sharing setelah Bapak mengimami sholat berjamaah. Kami lebih senang jika kita bisa bersama.
Aku senang tinggal di pondok. Dengan banyak hal yang ku temukan dulu. Aku senang bisa bertanya dan berdiskusi dengan kakak kelas di mesjid usai sholat, ku senang bisa berdebat dengan kakak kelas dalam acara mind gladiator, juga dengan banyak hal lain. Dan ku tak ingin kalau kesenangan ini hilang. Ku ingin merasakannya lagi...
Langganan:
Postingan (Atom)