Kamis, 04 Oktober 2007

Surat Untuk Pondok

Pada lesat waktu
hiruk pikuk kultur
dan dinamika modernitas,
ku lihat bentuk satu entitas yang absurd
terombang ambing dalam ambiguitas
menuju titik klimaks kebiasan
dan posidealisme…


Bandung, 18 Juli 2007

Pak, ku sengaja menulis surat ini; kita jarang bertemu, berbincang-bincang, sharing, atau sekedar saling menyapa sekalipun. Ku terlalu segan kalau harus memasuki ruang kepala sekolah untuk bergabung membicarakan masalah pondok dalam rapat pimpinan. Ku juga agak malu jika harus mengganggu waktu pimpinan hanya untuk mendengar kata-kataku. Tapi ada banyak hal yang ingin ku ceritakan, Pak. Mungkin surat ini tak akan terlalu mengganggu, karena Bapak bisa membacanya kapanpun: nanti malam, besok siang, lusa, minggu depan, terserah.

Oke, kita mulai dengan hal-hal baru di pondok. Aku masih ingat ketika kelas 1, kami begitu bersemangat berlarian ke Laboratorium Matematika untuk menonton film dokumenter. Tanpa giringan pembina, beberapa detik saja kami sudah bermunculan di sana dan berebut kursi. Sekejap laboratorium Matematika penuh. Tak masalah dengan televisinya yang hanya berukuran 21 inch sementara kami berjumlah 68 orang. Yang penting nonton.

Tapi mungkin sekarang Laboratorium Matematika sudah tak begitu banyak kami ingat, kecuali tentang rumus-rumus trigonometri yang tempo lalu membingungkanku dan teman-teman di sana. Kami lebih suka nonton di multimedia yang sudah aktif kemarin-kemarin. Cukup dramatis untuk dikatakan gedung bioskop.

Juga dengan banyak bangunan lainya. Perpustakaan, Lab. Bahasa yang ku dengar akan dilengkapi komputer untuk setiap meja, dan 2 Laboratorium baru di samping kelas. Membuatku bersemangat untuk bercerita pada teman-teman di rumah bahwa sekolahku mempunyai laboratorium terlengkap se-Jawa Barat. Aku bangga.

Kini semua perubahan itu membawa atmosfer baru di pondok. Membawa kita pada satu sesi yang kita sebut modern.

Sayangnya semua tak berjalan selancar itu. Terlalu banyak penyesuaian yang harus kita lakukan, atau entah apa namanya. Tiba-tiba saja ku lihat ada birokrasi di Pondok, 4 kepala sekolah, bahkan kemarin ku dengar IRM akan dipecah menjadi 4: Tsanawiyah Putera, Tsanawiyah Puteri, Aliyah Putera, dan Aliyah Puteri; untuk mengejar akreditasi. Ku ragu, mungkin kita belum bisa beradaptasi dan mengartikan modernitas ini.

Sebut saja birokrasi di Pondok. Aku memang tak pernah mendengar langsung pengumuman dari Bapak dalam upacara bulanan atau pemberitahuan seusai sholat maghrib, kalau kepemimpinan di Pondok kita kini mengalami transisi menuju birokrasi. Guru-guru juga. Tapi semua berkata begitu, kita ada dalam pola birokrasi. Kita ada dalam seni kepemimpinan struktural birokrat, atau entah apa disebutnya. Kini kami mempunyai koordinator pembina walaupun faktanya semua hal yang berhubungan dengan poros asrama ada di bawah instruksi kepala sekolah. Kami harus menyerahkan proposal pada Kabid. Extrakurikuler untuk dikritiki ini-itu sebelum akhirnya sampai pada Pimpinan. Kami harus mengirimkan surat dan meminta perizinan 4 kepala sekolah dengan paradigma yang berbeda-beda saat akan mengadakan kegiatan.

Lantas, kami mengeluhkan tentang banyak hal. Kami mengeluhkan menu dan porsi makan, kami mengeluhkan belatung pada nasi tempo lalu, kami mengeluhkan tentang banyaknya santri yang tidak kebagian jatah makan, kami mengeluhkan lembar uneg-uneg tentang katering yang dicabut begitu saja, kami mengeluhkan jadwal kultum IRM yang dibuang dan diganti dengan jadwal atas nama pondok, kami mengeluhkan dekakensi moral yang menyerang pada hampir semua santri, kami mengeluh,kan pembagian mesjid yang menghambat regenerasi dengan alasan efektifitas tempat dan pembinaan. Tapi semua keluhan itu seakan terbang begitu saja; kita tak bisa berbicara langsung.

Pak, ku takut jika semua ini ternyata mendistorsi idealisme kita. Ku takut jika kita malah terlalu sibuk mengurusi laboratorium Biologi yang sampai sekarang belum selesai sementara kami harus bolak-balik meminta perizinan lomba dan kegiatan di luar. Ku takut kita terlalu sibuk mengurusi akreditasi sementara nilai-nilai spiritual makin bias. Ku takut kita sudah benar-benar melegitimasi birokrasi sampai trukturlah yang sekarang memimpin kita, padahal kami butuh aliran kata-kata nasihat Bapak di mesjid. Ku takut kita salah fokus. Sekarang kita berhasil mempunyai banyak kitab hadits baru, tapi kita tak bisa membacanya. Kita berhasil mempunyai internet, tapi kita tak bisa membuat e-mail. Kita berhasil punya banyak hal, tapi kita tak mengerti.

Mungkin kita harus mengkaji ulang semuanya, sebelum ini akan benar-benar akut. Kita harus mengkaji kembali pemisahan mesjid, sebelum regenerasi benar-benar hilang. Kita harus mengkaji kembali fokus kita, sebelum (ku takut) pondok ini akan berubah menjadi lembaga lain. Karena ku tak ingin kalau modernitas ini malah menghilangkan jati diri kita.

Pak, masih banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi ku lebih senang membicarakannya di mesjid usai sholat. Teman-temanku juga. Kami lebih senang jika kita bisa sharing setelah Bapak mengimami sholat berjamaah. Kami lebih senang jika kita bisa bersama.

Aku senang tinggal di pondok. Dengan banyak hal yang ku temukan dulu. Aku senang bisa bertanya dan berdiskusi dengan kakak kelas di mesjid usai sholat, ku senang bisa berdebat dengan kakak kelas dalam acara mind gladiator, juga dengan banyak hal lain. Dan ku tak ingin kalau kesenangan ini hilang. Ku ingin merasakannya lagi...

0 komentar: