Kamis, 04 Oktober 2007

DI BALIK SEBUAH TANDA

–Tinjauan filosofis dan sosial tentang karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Denmark

Tadinya tulisan ini akan dibereskan tahun kemarin, saat karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten Denmark meledak bagai nuklir yang menggempur seluruh dunia dan meresahkan banyak orang. Akan tetapi karena tidak ditemukannya data histories yang mendukung teori filosofisnya, maka tulisan ini saya biarkan menggelepar dalam rentetan file-file. Tapi entah, sekarang saya begitu terdorong untuk menyelesaikannya, walaupun pemburuan data historisnya tak kunjung usai. Biarlah.

Di tulisan ini saya menekankan pada diskursus Nabi-isme yang pernah menjadi apologi karikatur tersebut, walaupun pada akhirnya disertakan juga tinjauan sosial agar lebih realistis. Semoga bermanfaat.

1.Diskursus Nabi-isme
–Tinjauan filosofis
Diskursus Nabi-isme menjadi polemik tersendiri di era modern ini. Walaupun tidak mendapat tempat yang krusial dalam masyarakat, setidaknya model yang satu ini dapat menjadi apologi bagi karikatur Nabi Muhammad di Koran Jillad Posten, Denmark, yang berimbas pada konflik keagamaan dan sosial.

Secara teoritis, diskursus ini menekankan pada epistimologi seniman dalam penciptaan sebuah karya seni yang berlandaskan pada metode wahyu. Di sini imajinasi sang seniman marupakan sesuatu yang transenden karena datang langsung dari logos dalam bentuk wahyu dan bukan manifestasi dari yang lainnya. Dengan begini, maka karya seni yang dihasilkannya menjadi tabu dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.

Akan tetapi pendekatan terhadap diskursus ini sayangnya hanya dilirik dari sisi teori idealisnya saja, yang lahir di Perancis pada tahun 1825, saat pendewaan terhadap imajinasi menjapai masa pencerahannya. Padahal dilihajt dari lensa historis, di sini terdapat anakronisme seiring dengan munculnya diskursus lain yang semakin mengkikis model epistimologi modernisme, yaitu posmodernisme.

Sejak tahun 1950-an, paradigma umum seakan digoncangkan dengan munculnya satu diskursus baru (dalam dunia seni khususnya) yang sampai saat inipun definisi dan eksistensinya masih dalam perdeba tan, yaitu diskursus posmodernisme. Meskipun masih diperbincangkan apakah posmodernisme ini merupakan kelanjutan dari, revolusi dari, atau keruntuhan dari modernisme, tapi ditinjau dari pengalaman empirisnya bahwa orang-orang kian meninggalkan rasionalitas modernisme menuju (apa yang disebut Baudrillard dengan) ekstasi, maka (dari sudut pandang saya pribadi) kian jelaslah bahwa posmodernisme merupakan entitas baru yang menggerogoti modernisme melalui kapitalisme dengan segala macam persenjataannya. Konsumerisme misalnya, yang menggiring orang-orang untuk mabuk dalam gaya hidup Barat.

Dengan demikian, maka (ditinjau secara filosofis) diskursus Nabi-isme sudah begitu usang dalam menghadapi realitas zaman ini. Apa yang disebut form follows meaning dalam dunia seni sudah jauh-jauh hari terkubur di perut bumi. Bahkan rasionalitaspun sudah terkikis banyak oleh ideology kapitalis, form follows fun, sehingga Nabi-isme sebagai ideologi bagi karikatur Nabi Muhammad adalah benar-benar utopis.

Kembali pada pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Nabi-isme nampaknya terlalu naïf jika dika takan sebagai kampong halaman yang dari situ karikatur Nabi Muhammad lahir. Ada hal-hal lain yang nampaknya turun tangan juga dalam terbentuknya karikatur ini. Bahkan mungkin Nabi-isme hanya merupakan apologi saja, sedang motif lain yang mendalangi terciptanya karikatur ini terhalangi (walaupun tak begitu rapi) oleh jargon yang bernama Nabi-isme.

2.Tanda Ekstrim (Superlative Sign)

Terlepas dari motif yang melandasi lahirnya karikatur ini, terdapat hal yang perlu ditinjau ulang pada karikatur tersebut. Di sini saya menemukan satu hal yang menjadi objek kajian, yaitu terdapat superlative (saya tidak menyebutnya disfemisme) yang benar-benar sadis dalam penggambarannya yang berasal dari paradigma subjektif pembuat terhadap objeknya.
Dalam semiotika, terdapat istilah tanda ekstrim (superlative sign) sebagai satu konsep tanda. Konsep tanda ini digunakan untuk melebih-lebihkan objek sampai batas terjauh. Dalam karikatur tersebut konsep superlatif ini digunakan untuk mendiskreditkan objeknya sekeras mungkin. Jadi karikatur Nabi Muhammad ini pada dasarnya bukanlah referensi akan fakta yang menjadi objek referensinya, akan tetapi tak lebih sebagai manifestasi subjektif pembuatnya dengan tujuan mendiskreditkan fakta.

3.Konflik Antar Agama
–Tinjauan sosial

Selain merupakan discredit terhadap objek referensinya, karikatur ini juga membawa akibat yang ambivalen terhadap kondisi sosial, baik itu untuk kalangan umat Islam dan umat selainnya. Bagi umat Islam, hal ini berpotensi besar menimbulkan kebencian terhadap agama lain, sehinga dapat membuka lebar pintu sejarah akan konflik-konflik sebelumnya yang pernah melanda umat Islam untuk diungkit kembali. Dengan begini, umat lain cenderung dipandang sebagai entitas jahat yang harus diperangi.

Sementara untuk umat selain Islam, di tengah isu dunia internasional yang tak henti memojokkan umat Islam dengan dalih terrorismenya, maka kehadiran karikatur ini akan mengantarkan paradigma mereka pada titik klimaks kebenciannya. Imbasnya, di mana-mana terdengar slogan dan hal-hal lain sebagai diskredit terhadap Islam. Di internet misalnya, Jihad adalah kata yang dilarang (restricted word) untuk deskr ipsi site di .co.nr. ketika chatting kemarin, saya dikagetkan dengan orang –yang mengaku official AllNet Cafe– bahwa umat muslim bukanlah manusia, tetapi babi. Dalam keadaan inilah, konflik antar agama berdiri tegak jauh ke langit, sementara akarnya besar menghujam bumi.

Dengan demikian, baik dalam tinjauan filosofis dan sosial, pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten adalah salah. Secara filosofis, diskursus Nabi-isme tidaklah cukup untuk membungkus karikatur superlatif ini, sedang dari tinjauan sosial, karikatur ini membawa konflik berkepanjangan antar umat beragama semakin paten.

0 komentar: