Hidup memang harus selalu bergerak. Melaju, berubah, hilang, usang, baru, tumbuh, semuanya menjadi harga mati untuk kita. Untukku juga. Tak bisa kutawar dengan harga berapapun untuk tetap tinggal di pesantren, atau hanya bersama sesaat dengan semua teman-teman angkatan pun, mungkin hanya tinggal masa lalu yang sudah kita tangisi bersama. Semuanya sudah harus berganti.
Sesaat waktu masih memberi kita jeda antarperubahan untuk sedikit beristitahat. Untuk memutar ulang kenangan masa lalu dan menyadari semuanya. Keindahan, kesenangan, juga anugerah yang tak terhingga. Lantas saat itu menjadi saat jeda (baca: istirahat) paling berat dan menyesakkan. Tapi ada juga sisi lain di mana waktu memberi alasan kepada kita untuk pergi dari semua itu (masa lalu dan kenangan-kenangan). Lewat pesan-pesan yang kadang tak terbaca, lewat pernak-pernik pengalaman yang jarang dipedulikan. Kemarin ia (waktu) menggertakku lewat seseorang dengan sederet prestasi nasional dan internasional, mungkin ia (waktu), lewat orang itu, sedang menyatakan alasannya kenapa aku harus keluar DA. Ya, ia ingin agar aku berkembang dan bersaing dengannya untuk menjadi lebih hebat. Untuk yang mendapat beasiswa, waktu juga sepertinya sedang berkata, selamat, nikmati hasil kerjamu itu. Untuk yang masih ’mencari’ tempat kuliah, mungkin waktu sedang bilang, sudah saatnya belajar sungguh-sungguh dan bekerja keras.
Sayangnya tak banyak orang yang bisa menangkap pesan-pesan itu. Artikulasi waktu terkadang harus melalui bentakan yang begitu keras sehingga membuat kita ketakutan. Waktu terkadang menyampaikan pesannya lewat ’kegagalan’, kesedihan, dan hal lainnya. Alih-alih menangkap maknanya (baca: hikmah), kerap kita malah merinding dan ketakutan oleh kerasnya gertakan itu. Kita pun sedih, menangis, menyesal. Padalah bukan itu yang benar-benar waktu ingin agar kita lakukan. Pasti ada hikmah di balik semuanya, ada pesan dari waktu di balik perubahan dan pergantian ini. Di balik perpisahan ini.
Aku pun baru ’dapat’ menafsirkan pesan-pesan waktu sekarang. Tentang kenapa aku harus berpisah, masuk UI, dan bertemu dengan orang hebat yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Aku baru mendengar waktu berkata bahwa aku harus pergi. Aku harus pergi dari fikiran kerdil ini dan menyadari bahwa di luar sana orang-orang jauh lebih hebat dariku. Aku harus pergi dari kekonyolan anak kecil menuju kedewasaan hidup dan berfikir. Aku harus pergi dari keterbelakangan intelektual menuju perkembangan dan kemajuan. Aku harus pergi dari dia, untuk berfokus pada cita-cita dan idealisme [untuk yang ini, mungkin aku terkesan menghilang tanpa pamit. Aku tak ingin menghancurkan segalanya. Aku minta maaf! Semoga kita bisa bertemu lagi, seperti senja dan malam itu]. Aku sudah harus pergi. Ada satu saat aku mungkin kembali, dan ada sisi lain di mana aku tak kan pernah datang lagi ke sana. Selamat tinggal, mungkin esok lusa tiba giliran kalian.
Saat kalian membaca ini mungkin aku sudah tinggal di Depok. Sudah berjuang dan berkompetisi keras bersama banyak orang hebat lainnya. Doakan aku teman-teman, aku tak ingin mengecewakan kalian, dan rumah kita Darul Arqam tentunya.
Jumat, 31 Juli 2009
Kamis, 30 Juli 2009
Surat untuk Darul Arqam I
Rasanya baru kemarin aku santai-santai menunggu waktu kuliah. Tak ada persiapan intelektual yang begitu spesial, hanya update-an berita-berita dan pendalaman hi-tech untuk penyesuaian ketika tinggal di Depok nanti. Ah, kuliah akan gampang, fikirku picik.
Mungkin Allah membentakku suatu siang. Saat iseng-iseng aku membuka-buka file data base mahasiswa HI UI di yahoogroups dan membaca profil mereka. Hanya satu orang yang lengkap kudapat curriculum vitae-nya, selebihnya aku hanya agak terheran oleh nama-nama asing yang aneh dan asal SMA mereka yang rata-rata berkelas di Indonesia. Ya, hanya satu orang, tapi satu orang itu saja cukup untuk membungkam fikiran picikku bahwa persaingan kuliah akan begitu gampang.
Awalnya kujelaskan kenapa aku berfikir picik dan agak ‘sombong’. Dulu saat kelas satu tsanawiyah aku pernah menjuarai lomba pidato bahasa Arab tingkat Darul Arqam, itu artinya aku mengalahkan pesaing-pesaingku tsanawiyah-aliyah putera-puteri. Saat kelas dua, juara 1 lomba tulis artikel tingkat remaja (sama juga harus lawan SMA) tingkat Garut membuat namaku melambung tinggi di sekolah. Dan kelas tiganya, menjadi remaja teladan tingkat Jawa Barat merupakan prestasiku yang cukup membanggakan. Akhirnya ketika Aliyah aku sempat mewakili Jawa Barat untuk lomba pidato bahasa Inggris di Kaltim. Mengingat-ingat rentetan prestasi dan pengalaman organisasi (bahkan melawan perpolitikan yang keras dan kejam), aku rasa tak kan ada masalah dengan masa kuliah nanti. Aku pun tersenyum.
Tapi ternyata kenyataan membalik lengkung bibirku tajam. Tak kusangka ternyata salah satu teman sekelasku nanti adalah mantan juara rentetan kompetesi tingkat Internasional. Puluhan prestasi nasional sudah tak lagi menjadi hal aneh, apalagi tingkat provinsi. Tak hanya itu, sederet pengalaman organisasinya cukup membuat duta UNICEF untuk Indonesia dan pejabat provinsinya menobatkan dia sebagai pemimpin masa depan. Memang tak kan berarti apa-apa, tapi setidaknya itu memperlihatkan siapa dirinya sekarang.
Awalnya ada satu hal yang kemudian kupertanyakan, banyak sekali prestasi nasional dan internasionalnya, tapi kenapa tak pernah ada info tentang itu ke DA? Mungkin karena DA terletak agak terpencil. Tapi, ah, anak-anak Satar yang juga sama daerahnya sepertinya tak mempunyai masalah dengan itu. Atau, karena DA menyandang predikat sebagai pesantren? Entahlah, aku dengar ada desas-desus bahwa akses untuk acara-acara nasional dan internasional (bukan yang diadakan Depag tentunya) memang sengaja dipersulit untuk pesantren. Untuk alasan ini aku tak tahu pasti dan tak punya hak menuduh ini-itu. Sepertinya kalian (santri DA) harus menyelidikinya sendiri.Yang aku tahu sekarang adalah fakta penting bahwa pondok kita sekarang ada dalam keterbelakangan! Oke, kalian bisa membela dan berdalih bahwa kita pernah juara nasional ini-itu, tapi teman, apa yang sudah kita raih di tingkat nasional atau tingkat apapun itu, rata-rata adalah kompetisi antarpesantren, yang juga [mungkin] akses untuk dunianya sama atau lebih buruk dari kita.
Tapi kesulitan akses keluar tentunya bukan satu-satunya alasan keterpurukan kita sekarang. Dulu saat DA berjaya kita secara diam-diam selalu menang lomba ini-itu mengalahkan sekolah berkaliber tinggi. Secara diam-diam karena katanya izinnya sulit dan harus sembunyi-sembunyi untuk mengikutinya. Tapi karena itu nama DA melejit di atas langit. Kita selalu pulang membawa piala, walaupun juga harus disembunyikan karena kalau ketahuan akan diambil pondok. Ah, ada-ada saja.
Lantas, DA sekarang? Banyak orang mengeluh tentang itu. Sepertinya tak ada lagi yang bisa kita banggakan sekarang. Kita tak lagi punya banyak prestasi seperti dulu juga tak lagi membuat orang lain ketakutan mendengar nama sekolah kita. Tapi aku yakin potensi untuk berprestasi masih terpendam begitu besar di DA, mereka hanya sibuk. Sibuk oleh deringan handphone katanya si dia ingin curhat dan membicarakan topik-topik sampah, kebetulan perang tariff antaroperator membuat biaya telfon jadi sangat murah. Mereka sedang begitu sibuk mengurusi gaya rambut dan pakaiannya agar terlihat keren, tak peduli rumus-rumus matematika atau pelajaran lainnya, mereka hanya sibuk, untuk urusan yang tak penting. Ah, ada-ada saja kesibukan anak DA sekarang.
Ya, kita tak bisa menghindar bahwa intelektualitas, kreatifitas, dan pencapaian pondok kita sekarang sedang kedodoran besar. Saat kelas dua Aliyah aku dendam karena kalah bahasa Inggris dengan anak luar yang sudah menjuarai debat internasional di Inggris, tapi saat pulang ke DA, aku sedih meliht orang yang bisa berbahasa Inggris tinggal segelintir saja.
Begitulah. Aku hanya memberi gambaran sedikit, mudah-mudahan nanti bisa ikut memperlebar akses informasi untuk pondok. Maaf kalau tulisannya agak kemana-mana; sudah lama sekali aku tak menulis yang sepertri ini. Sekarang hanya bisa bilang, buka mata kalian dan bangunlah!
Mungkin Allah membentakku suatu siang. Saat iseng-iseng aku membuka-buka file data base mahasiswa HI UI di yahoogroups dan membaca profil mereka. Hanya satu orang yang lengkap kudapat curriculum vitae-nya, selebihnya aku hanya agak terheran oleh nama-nama asing yang aneh dan asal SMA mereka yang rata-rata berkelas di Indonesia. Ya, hanya satu orang, tapi satu orang itu saja cukup untuk membungkam fikiran picikku bahwa persaingan kuliah akan begitu gampang.
Awalnya kujelaskan kenapa aku berfikir picik dan agak ‘sombong’. Dulu saat kelas satu tsanawiyah aku pernah menjuarai lomba pidato bahasa Arab tingkat Darul Arqam, itu artinya aku mengalahkan pesaing-pesaingku tsanawiyah-aliyah putera-puteri. Saat kelas dua, juara 1 lomba tulis artikel tingkat remaja (sama juga harus lawan SMA) tingkat Garut membuat namaku melambung tinggi di sekolah. Dan kelas tiganya, menjadi remaja teladan tingkat Jawa Barat merupakan prestasiku yang cukup membanggakan. Akhirnya ketika Aliyah aku sempat mewakili Jawa Barat untuk lomba pidato bahasa Inggris di Kaltim. Mengingat-ingat rentetan prestasi dan pengalaman organisasi (bahkan melawan perpolitikan yang keras dan kejam), aku rasa tak kan ada masalah dengan masa kuliah nanti. Aku pun tersenyum.
Tapi ternyata kenyataan membalik lengkung bibirku tajam. Tak kusangka ternyata salah satu teman sekelasku nanti adalah mantan juara rentetan kompetesi tingkat Internasional. Puluhan prestasi nasional sudah tak lagi menjadi hal aneh, apalagi tingkat provinsi. Tak hanya itu, sederet pengalaman organisasinya cukup membuat duta UNICEF untuk Indonesia dan pejabat provinsinya menobatkan dia sebagai pemimpin masa depan. Memang tak kan berarti apa-apa, tapi setidaknya itu memperlihatkan siapa dirinya sekarang.
Awalnya ada satu hal yang kemudian kupertanyakan, banyak sekali prestasi nasional dan internasionalnya, tapi kenapa tak pernah ada info tentang itu ke DA? Mungkin karena DA terletak agak terpencil. Tapi, ah, anak-anak Satar yang juga sama daerahnya sepertinya tak mempunyai masalah dengan itu. Atau, karena DA menyandang predikat sebagai pesantren? Entahlah, aku dengar ada desas-desus bahwa akses untuk acara-acara nasional dan internasional (bukan yang diadakan Depag tentunya) memang sengaja dipersulit untuk pesantren. Untuk alasan ini aku tak tahu pasti dan tak punya hak menuduh ini-itu. Sepertinya kalian (santri DA) harus menyelidikinya sendiri.Yang aku tahu sekarang adalah fakta penting bahwa pondok kita sekarang ada dalam keterbelakangan! Oke, kalian bisa membela dan berdalih bahwa kita pernah juara nasional ini-itu, tapi teman, apa yang sudah kita raih di tingkat nasional atau tingkat apapun itu, rata-rata adalah kompetisi antarpesantren, yang juga [mungkin] akses untuk dunianya sama atau lebih buruk dari kita.
Tapi kesulitan akses keluar tentunya bukan satu-satunya alasan keterpurukan kita sekarang. Dulu saat DA berjaya kita secara diam-diam selalu menang lomba ini-itu mengalahkan sekolah berkaliber tinggi. Secara diam-diam karena katanya izinnya sulit dan harus sembunyi-sembunyi untuk mengikutinya. Tapi karena itu nama DA melejit di atas langit. Kita selalu pulang membawa piala, walaupun juga harus disembunyikan karena kalau ketahuan akan diambil pondok. Ah, ada-ada saja.
Lantas, DA sekarang? Banyak orang mengeluh tentang itu. Sepertinya tak ada lagi yang bisa kita banggakan sekarang. Kita tak lagi punya banyak prestasi seperti dulu juga tak lagi membuat orang lain ketakutan mendengar nama sekolah kita. Tapi aku yakin potensi untuk berprestasi masih terpendam begitu besar di DA, mereka hanya sibuk. Sibuk oleh deringan handphone katanya si dia ingin curhat dan membicarakan topik-topik sampah, kebetulan perang tariff antaroperator membuat biaya telfon jadi sangat murah. Mereka sedang begitu sibuk mengurusi gaya rambut dan pakaiannya agar terlihat keren, tak peduli rumus-rumus matematika atau pelajaran lainnya, mereka hanya sibuk, untuk urusan yang tak penting. Ah, ada-ada saja kesibukan anak DA sekarang.
Ya, kita tak bisa menghindar bahwa intelektualitas, kreatifitas, dan pencapaian pondok kita sekarang sedang kedodoran besar. Saat kelas dua Aliyah aku dendam karena kalah bahasa Inggris dengan anak luar yang sudah menjuarai debat internasional di Inggris, tapi saat pulang ke DA, aku sedih meliht orang yang bisa berbahasa Inggris tinggal segelintir saja.
Begitulah. Aku hanya memberi gambaran sedikit, mudah-mudahan nanti bisa ikut memperlebar akses informasi untuk pondok. Maaf kalau tulisannya agak kemana-mana; sudah lama sekali aku tak menulis yang sepertri ini. Sekarang hanya bisa bilang, buka mata kalian dan bangunlah!
Rabu, 29 Juli 2009
She’s Vivacious
It was dusk. You, along with your friends, were at the behind row. Being without any certain consciousness about what I did, I went to you. I didn’t know why. When I got closer, you stood up and talked to me. I was really surprised, nervous, and absolutely glad.
We were stranger one each other. I didn’t know you, and neither did you. Scarcely did we meet in some moments, and there was practically being without any conversation. We were always remote away.
You came in one night as participant of english contest selection, and I was a jury. It wasn’t the first time we met, but it was the time I initially thought about you. Everything went normally at first, nothing special I felt in front of you then. At the end of the program, I noticed the result that you were selected. Everything went well so far and we got out the class together. Here something happened. I told you to prepare yourself for the next selection, but you didn’t answer me. Instead of answering me, you looked at me weirdly that I couldn’t say anything. You did it quite long, and I could just be silent. Until the edge of the class in which we had different turning, we separated.
We could still meet several times, as a stranger of course. I remember we were in the same public transportation one daylight. You were along with your buddies, and I was alone. We seemed to be courious of one each other, but we remained silent. Ha...
Several months later we could insistently be together in a community. You were a member, and I was an organizer. It was approximately a year the community went, but still us, stranger! Actually I didn’t inted to get closer with someone like you as there would be widespread junk rumour about (em.. not to be arrogant) relative respected intellectual and famous beautiful girl. I didn’t want to breake my image so that my little young juniors would be very disappointed for that. Also I knew I had tremendous task to be admitted in International Relations of University of Indonesia. So I decided that it was useless. Just let it flow, and everything would go well, I say. However, we eventually had a little chance to talk although just a little bit. That was ok.
Probably I’ll be busy and, there’ll be no time to think about you anymore. Now we live in defferent world. Fuh.
Absolutely there’s no much I can tell here as we have just very little story. I hope you read this post. She’s vivacious, they say.
We were stranger one each other. I didn’t know you, and neither did you. Scarcely did we meet in some moments, and there was practically being without any conversation. We were always remote away.
You came in one night as participant of english contest selection, and I was a jury. It wasn’t the first time we met, but it was the time I initially thought about you. Everything went normally at first, nothing special I felt in front of you then. At the end of the program, I noticed the result that you were selected. Everything went well so far and we got out the class together. Here something happened. I told you to prepare yourself for the next selection, but you didn’t answer me. Instead of answering me, you looked at me weirdly that I couldn’t say anything. You did it quite long, and I could just be silent. Until the edge of the class in which we had different turning, we separated.
We could still meet several times, as a stranger of course. I remember we were in the same public transportation one daylight. You were along with your buddies, and I was alone. We seemed to be courious of one each other, but we remained silent. Ha...
Several months later we could insistently be together in a community. You were a member, and I was an organizer. It was approximately a year the community went, but still us, stranger! Actually I didn’t inted to get closer with someone like you as there would be widespread junk rumour about (em.. not to be arrogant) relative respected intellectual and famous beautiful girl. I didn’t want to breake my image so that my little young juniors would be very disappointed for that. Also I knew I had tremendous task to be admitted in International Relations of University of Indonesia. So I decided that it was useless. Just let it flow, and everything would go well, I say. However, we eventually had a little chance to talk although just a little bit. That was ok.
Probably I’ll be busy and, there’ll be no time to think about you anymore. Now we live in defferent world. Fuh.
Absolutely there’s no much I can tell here as we have just very little story. I hope you read this post. She’s vivacious, they say.
Sabtu, 25 Juli 2009
I Got The Reason
It’s been long time since I was determined to insistently update this blog with some higher matter than just a story. I was really vivacious by the time I created my account in FaceBook. My friend said then, “You’ll be addicted!” And unfortunately that’s right! I sank in the ecstasy of that cyber world until I forgot to nurture this blog. I hibernated from intellectual life.
Today God wake me up and show me the world I’ll go through tomorrow. It’s tremendous! I couldn’t believe it firstly. The boy I met in the university, and who will be my classmate, was an Indonesian young leaders’ winner, UNICEF 2008. I looked over his other achievements, and I found out myself startled so hard. He also joined international conferences and events sometimes due to his merit in promoting children’s rights. So I asked myself, what I’ve ever got?
I was highly worried then; I’ll compete with that kind of person. Actually I’ve yet to know the others, but with just this boy, I found out myself as nothing.
However, I mulled to get an apology. He was a student at a favourite SMA in this country, so his access to those international level achievements must be wider than mine. Even I don’t remember I got some information about it. I had annual AFS program here, but my class couldn’t join in due to the lateness of notification. Moreover, I don’t claim the program to be as great as his.
Now I can just think positively that God admit me to the university to meet me with that kind of person and the chances of great achievement. I must start managing some resolution for tomorrow.
An other reason of why I’m here is, to meet them, compete them, and win the competition. It’s mean, to be at least the same as them, but I always prefer to be more. Insya Allah. Amin.
Today God wake me up and show me the world I’ll go through tomorrow. It’s tremendous! I couldn’t believe it firstly. The boy I met in the university, and who will be my classmate, was an Indonesian young leaders’ winner, UNICEF 2008. I looked over his other achievements, and I found out myself startled so hard. He also joined international conferences and events sometimes due to his merit in promoting children’s rights. So I asked myself, what I’ve ever got?
I was highly worried then; I’ll compete with that kind of person. Actually I’ve yet to know the others, but with just this boy, I found out myself as nothing.
However, I mulled to get an apology. He was a student at a favourite SMA in this country, so his access to those international level achievements must be wider than mine. Even I don’t remember I got some information about it. I had annual AFS program here, but my class couldn’t join in due to the lateness of notification. Moreover, I don’t claim the program to be as great as his.
Now I can just think positively that God admit me to the university to meet me with that kind of person and the chances of great achievement. I must start managing some resolution for tomorrow.
An other reason of why I’m here is, to meet them, compete them, and win the competition. It’s mean, to be at least the same as them, but I always prefer to be more. Insya Allah. Amin.
Rabu, 08 Juli 2009
Di Puncak
—Inikah Everest-ku? Luas sekali!
Sudah seminggu ku tak banyak membaca lagi. Sejak pengumuman Ujian Masuk Bersama (UMB), seakan tak ada alasan lagi untuk menggumuli dan membolak-balik tumpukan buku-buku SMA juga deretan soal persiapan SNMPTN. Aku sudah lulus HI UI, mimpiku sudah tercapai telak, syukurlah. Meski setelahnya kurasakan pusing yang amat hebat, seperti diobok-obok. Mungkin akumulasi kejenuhan dan stress yang sudah mencapai klimaks sejak beberapa bulan lalu kumulai peperangan ini. Dan untuk beberapa hari ini hidupku seperti tak berarah; sakit kepala ini benar-benar mengambil semuanya. Sedikit-sedikit lemas dan kantuk menyerangku tanpa ampun. Bahkan saat kutulis kata-kata ini pun, kepalaku seperti mau pecah. Biarlah, mungkin esok akan membaik.
Apalagi sekarang? Sejenak pertanyaan polos itu menyelinap keluar dari aortaku. Kufikir semua telah selesai, dan aku menang, fuih! Kini aku tak lagi berpredikat luntang-lantung atau masih pengangguran karena jas kuning itu sudah bisa kupakai. Aku sudah jadi mahasiswa! Tapi sekarang aku sadar, itu begitu naif. Apa artinya jas kuning, apa artinya UI, HI, dan mahasiswa? Lulus tes, atau sedikit membuat bangga untuk menjawab pertanyaan teman-temanku tentang kuliah, lantas apa lagi? Sukses, berhasil, ah, belum tentu. Semua masih terlalu jauh untuk dipastikan. Jalannya masih sangat panjang. Yang aku sadar sekarang adalah bahwa Everest yang kujejaki ini tak lain dari bioma baru yang penuh misteri. Rimba liar, gurun, pegunungan, lautan, angkasa. Aku masih harus menjelajah, perjalanan masih teramat jauh.
Untuk itu aku meng-up date blog ini; aku ingin kembali belajar banyak. Berlari, berpetualang, terbang. Dan kita bisa berbagi cerita lagi di sini tentang banyak hal: politik, filsafat, sains, atau apapun yang kita temui di jalanan. Semuanya, yang telah terabaikan beberapa bulan ini.
Itu saja untuk sekarang, mungkin besok akan ada banyak hal untuk kita bicarakan di sini. Aku juga berharap heri esok akan lebih baik. Tempat baru itu bisa memberi keluarga baru yang juga baik. Semoga.
Sudah seminggu ku tak banyak membaca lagi. Sejak pengumuman Ujian Masuk Bersama (UMB), seakan tak ada alasan lagi untuk menggumuli dan membolak-balik tumpukan buku-buku SMA juga deretan soal persiapan SNMPTN. Aku sudah lulus HI UI, mimpiku sudah tercapai telak, syukurlah. Meski setelahnya kurasakan pusing yang amat hebat, seperti diobok-obok. Mungkin akumulasi kejenuhan dan stress yang sudah mencapai klimaks sejak beberapa bulan lalu kumulai peperangan ini. Dan untuk beberapa hari ini hidupku seperti tak berarah; sakit kepala ini benar-benar mengambil semuanya. Sedikit-sedikit lemas dan kantuk menyerangku tanpa ampun. Bahkan saat kutulis kata-kata ini pun, kepalaku seperti mau pecah. Biarlah, mungkin esok akan membaik.
Apalagi sekarang? Sejenak pertanyaan polos itu menyelinap keluar dari aortaku. Kufikir semua telah selesai, dan aku menang, fuih! Kini aku tak lagi berpredikat luntang-lantung atau masih pengangguran karena jas kuning itu sudah bisa kupakai. Aku sudah jadi mahasiswa! Tapi sekarang aku sadar, itu begitu naif. Apa artinya jas kuning, apa artinya UI, HI, dan mahasiswa? Lulus tes, atau sedikit membuat bangga untuk menjawab pertanyaan teman-temanku tentang kuliah, lantas apa lagi? Sukses, berhasil, ah, belum tentu. Semua masih terlalu jauh untuk dipastikan. Jalannya masih sangat panjang. Yang aku sadar sekarang adalah bahwa Everest yang kujejaki ini tak lain dari bioma baru yang penuh misteri. Rimba liar, gurun, pegunungan, lautan, angkasa. Aku masih harus menjelajah, perjalanan masih teramat jauh.
Untuk itu aku meng-up date blog ini; aku ingin kembali belajar banyak. Berlari, berpetualang, terbang. Dan kita bisa berbagi cerita lagi di sini tentang banyak hal: politik, filsafat, sains, atau apapun yang kita temui di jalanan. Semuanya, yang telah terabaikan beberapa bulan ini.
Itu saja untuk sekarang, mungkin besok akan ada banyak hal untuk kita bicarakan di sini. Aku juga berharap heri esok akan lebih baik. Tempat baru itu bisa memberi keluarga baru yang juga baik. Semoga.
Senin, 06 Juli 2009
UTOPIA BREAKER
—Sesaat kita tak tahu apakah kita membawa mimpi itu ke dunia nyata atau mimpilah yang menyeret kita masuk dunianya.
Hari mulai gelap. Mentari baru saja tenggelam di dasar samudera di barat sana, menyelesaikan perjalanan mengantar hari dalam untaian waktu yang panjang. Dan malam pun tiba. Menyelimuti dunia dengan gelap, termasuk masjid kecil tempat mereka berkumpul.
Orang-orang sudah keluar. Selepas waktu membaca Quran–atau ngobrol bagi sebagian orang–, ruang makan menjadi barak istimewa yang tak tergantikan. Di dalamnya antrian panjang membelah barisan meja putih yang akan segera kotor loleh tumpukan nasi sisa dan remahan lainnya. Diiringi tawa, teriakan, canda, dan lapar yang menendangi perut tanpa ampun.
Juga untuk tiga orang yang masih duduk di majsid. Lapar tak memberi kompensasi sedikitpun untuk menghajar perut mereka, kemudian merasuki setiap persendian sampai otak. Lemas. Tapi mereka tetap duduk; berkumpul sebagai Utopia Breaker.
Berkumpul, berdoa, dan bermimpi, itulah yang mereka lakukan setiap magrib, saat banyak orang ribut menunggu giliran makan–meski sama sekali bukan hal yang buruk. Dan setelahnya, mereka mendapati ruang makan terpenuhi dengan butiran nasi berserakan di meja-meja bersama remahan lauk pauk, sementara makanan telah habis. Fuh! Tapi itu tak menjadi soal besar. Karena semangat dan tekad telah terpancang kuat untuk setiap mimpi yang mereka buru, dan dalam doa-doa, “Allahummaftah lana abwabal jannah, Allahummaftah li Taqia abwaba UGM, allahummaftah li Ikbal abwaba ITB, Allahummaftah li Iqbal abwaba UI…”
Dan sekarang, satu per satu mimpi itu bermunculan, satu per satu doa itu terkabul.
Taqia Rahman
Mimpi: Kedokteran UGM
Tercapai: Teknik Sipil UGM
Ikbal Iskandar
Mimpi: Teknik Penerbangan ITB
Tercapai: FMIPA ITB
Iqbal Pirzada
Mimpi: Hubungan Internasional UI
Tercapai: Hubungan Internasional UI
Merekalah Utopia Breaker, tiga orang yang berusaha mendongkrak kemustahilah. Tiga orang yang berani berkata mungkin saat kebanyakan yang lainnya berteriak, tidak.
Ini hanya awal pencapaian mereka; masih banyak agenda lain yang lebih besar menanti di depan sana, masih banyak mimpi lainnya, bertebaran di angkasa.
Hari mulai gelap. Mentari baru saja tenggelam di dasar samudera di barat sana, menyelesaikan perjalanan mengantar hari dalam untaian waktu yang panjang. Dan malam pun tiba. Menyelimuti dunia dengan gelap, termasuk masjid kecil tempat mereka berkumpul.
Orang-orang sudah keluar. Selepas waktu membaca Quran–atau ngobrol bagi sebagian orang–, ruang makan menjadi barak istimewa yang tak tergantikan. Di dalamnya antrian panjang membelah barisan meja putih yang akan segera kotor loleh tumpukan nasi sisa dan remahan lainnya. Diiringi tawa, teriakan, canda, dan lapar yang menendangi perut tanpa ampun.
Juga untuk tiga orang yang masih duduk di majsid. Lapar tak memberi kompensasi sedikitpun untuk menghajar perut mereka, kemudian merasuki setiap persendian sampai otak. Lemas. Tapi mereka tetap duduk; berkumpul sebagai Utopia Breaker.
Berkumpul, berdoa, dan bermimpi, itulah yang mereka lakukan setiap magrib, saat banyak orang ribut menunggu giliran makan–meski sama sekali bukan hal yang buruk. Dan setelahnya, mereka mendapati ruang makan terpenuhi dengan butiran nasi berserakan di meja-meja bersama remahan lauk pauk, sementara makanan telah habis. Fuh! Tapi itu tak menjadi soal besar. Karena semangat dan tekad telah terpancang kuat untuk setiap mimpi yang mereka buru, dan dalam doa-doa, “Allahummaftah lana abwabal jannah, Allahummaftah li Taqia abwaba UGM, allahummaftah li Ikbal abwaba ITB, Allahummaftah li Iqbal abwaba UI…”
Dan sekarang, satu per satu mimpi itu bermunculan, satu per satu doa itu terkabul.
Taqia Rahman
Mimpi: Kedokteran UGM
Tercapai: Teknik Sipil UGM
Ikbal Iskandar
Mimpi: Teknik Penerbangan ITB
Tercapai: FMIPA ITB
Iqbal Pirzada
Mimpi: Hubungan Internasional UI
Tercapai: Hubungan Internasional UI
Merekalah Utopia Breaker, tiga orang yang berusaha mendongkrak kemustahilah. Tiga orang yang berani berkata mungkin saat kebanyakan yang lainnya berteriak, tidak.
Ini hanya awal pencapaian mereka; masih banyak agenda lain yang lebih besar menanti di depan sana, masih banyak mimpi lainnya, bertebaran di angkasa.
Sabtu, 04 Juli 2009
TENTANG KITA
Aku baru tiba di rumah. TAPANTRI akhirnya sukses, dan selesai seiring waktu yang begitu damai. Seiring tawa orang-orang, seiring tangis guru-guru, seiring lalu lalang alumni, seiring terik matahari, hujan, seiring lelah, seiring semangat, ceria, tawa, dan canda yang akan segera berakhir. Dan seiring tangis yang datang menjemput perpisahan.
Tak terasa enam tahun sudah kita bersama, menjalani kehidupan dalam dunia yang begitu aneh. Bersekolah sejak jam lima subuh, mengeroyok kacang rebus, martabak, roti bakar atau apapun dengan begitu anarkis, dan melakukan banyak hal tidak normal lainnya. Tapi kita senang. Kita telah tumbuh bersama di sana. Di dunia dengan banyak sekali anomali, dengan banyak kejadian dan rutinitas yang tak kan pernah ditemui di manapun.
Mungkin kau masih ingat dulu pernah mengajakku ke koperasi sembari menangis karena ingin pulang. Saat kau menyembunyikan wajah di balik bantal dan bantal itu menjadi basah karena air matamu. Saat kita ngupahan teman-teman lain yang, menangis. Saat kita masih kanak-kanak. Tapi dari sana sebuah cerita hebat dimulai. Cerita tentang kebersamaan, kenakalan, kejenakaan, persahabatan, tentang kehidupan. Dari sana kita memulai petualangan, meniti untaian makna hidup dari setiap detik yang kita jalani. Melewati kesulitan, kehabisan uang, kelaparan, bosan, kejenuhan, kegembiraan, poyokan, kesepian, kesal, kedamaian, kesenangan, dan hal-hal lainnya.
Sekarang semuanya harus selesai. Asrama, ruang makan, kelas, mesjid, tempat kita membuat banyak cerita itu, akhirnya, selesai. Kita tak lagi akan tertawa sampai larut saat berkumpul di kasur salah satu teman kita, tidur saat kelas subuh (atau setiap saat, mungkin), memengonsep acara hebat usai solat maghrib, kurawa, antri 2 km saat jadwal menu gepuk, dan yang lainnya. Kita sudah harus pergi.
14 Juni 2009, saat kita merasa baru sehari berada di sini. Saat kita merasa baru kemarin kita bosan dan menangis ingin pulang. Akhirnya hari ini tiba waktu untuk pergi, pulang. Tapi kita tetap menangis, tersedu-sedu, bahkan lebih keras daripada saat itu. Kita menangis karena tidak ingin pergi, tak ingin meninggalkan rumah dan keluarga baru ini.
Banyak sekali yang telah kita buat. Dan banyak juga yang harus kita tinggalkan.
Ah, memang sudah saatnya kita begini. Kemarin waktu mempertemukan kita, dan sekarang waktu jugalah yang memisahkan kita. Memang harus begitu. Barangkali waktu masih menyediakan ruang lain esok hari untuk kita, bersama lagi. Mungkin sebagai teman sekantor, atau teman kuliah di luar negeri, Eropa, misalnya, atau lebih dekat lagi, sebagai keluarga. Mungkin. Entahlah.
Aku tetap menganggapmu sebagai keluarga. Kau juga begitu. Aku senang jika kau tertawa, dan sedih jika kau murung. Kau pun begitu. Beritahu aku kisah-kisahmu selanjutnya, seperti ceritamu di asrama kala itu. Telfon aku jika kau sedih dan ingin curhat seperti saat di mesjid dulu. Tanya aku jika kau kesulitan belajar, seperti saat di kelas dulu, jika aku bisa. Jangan lupakan aku, aku pun tak kan lupa kalian. Kita tetap bersama, SmartFriend!
Tak terasa enam tahun sudah kita bersama, menjalani kehidupan dalam dunia yang begitu aneh. Bersekolah sejak jam lima subuh, mengeroyok kacang rebus, martabak, roti bakar atau apapun dengan begitu anarkis, dan melakukan banyak hal tidak normal lainnya. Tapi kita senang. Kita telah tumbuh bersama di sana. Di dunia dengan banyak sekali anomali, dengan banyak kejadian dan rutinitas yang tak kan pernah ditemui di manapun.
Mungkin kau masih ingat dulu pernah mengajakku ke koperasi sembari menangis karena ingin pulang. Saat kau menyembunyikan wajah di balik bantal dan bantal itu menjadi basah karena air matamu. Saat kita ngupahan teman-teman lain yang, menangis. Saat kita masih kanak-kanak. Tapi dari sana sebuah cerita hebat dimulai. Cerita tentang kebersamaan, kenakalan, kejenakaan, persahabatan, tentang kehidupan. Dari sana kita memulai petualangan, meniti untaian makna hidup dari setiap detik yang kita jalani. Melewati kesulitan, kehabisan uang, kelaparan, bosan, kejenuhan, kegembiraan, poyokan, kesepian, kesal, kedamaian, kesenangan, dan hal-hal lainnya.
Sekarang semuanya harus selesai. Asrama, ruang makan, kelas, mesjid, tempat kita membuat banyak cerita itu, akhirnya, selesai. Kita tak lagi akan tertawa sampai larut saat berkumpul di kasur salah satu teman kita, tidur saat kelas subuh (atau setiap saat, mungkin), memengonsep acara hebat usai solat maghrib, kurawa, antri 2 km saat jadwal menu gepuk, dan yang lainnya. Kita sudah harus pergi.
14 Juni 2009, saat kita merasa baru sehari berada di sini. Saat kita merasa baru kemarin kita bosan dan menangis ingin pulang. Akhirnya hari ini tiba waktu untuk pergi, pulang. Tapi kita tetap menangis, tersedu-sedu, bahkan lebih keras daripada saat itu. Kita menangis karena tidak ingin pergi, tak ingin meninggalkan rumah dan keluarga baru ini.
Banyak sekali yang telah kita buat. Dan banyak juga yang harus kita tinggalkan.
Ah, memang sudah saatnya kita begini. Kemarin waktu mempertemukan kita, dan sekarang waktu jugalah yang memisahkan kita. Memang harus begitu. Barangkali waktu masih menyediakan ruang lain esok hari untuk kita, bersama lagi. Mungkin sebagai teman sekantor, atau teman kuliah di luar negeri, Eropa, misalnya, atau lebih dekat lagi, sebagai keluarga. Mungkin. Entahlah.
Aku tetap menganggapmu sebagai keluarga. Kau juga begitu. Aku senang jika kau tertawa, dan sedih jika kau murung. Kau pun begitu. Beritahu aku kisah-kisahmu selanjutnya, seperti ceritamu di asrama kala itu. Telfon aku jika kau sedih dan ingin curhat seperti saat di mesjid dulu. Tanya aku jika kau kesulitan belajar, seperti saat di kelas dulu, jika aku bisa. Jangan lupakan aku, aku pun tak kan lupa kalian. Kita tetap bersama, SmartFriend!
Langganan:
Postingan (Atom)