Kamis, 30 Juli 2009

Surat untuk Darul Arqam I

Rasanya baru kemarin aku santai-santai menunggu waktu kuliah. Tak ada persiapan intelektual yang begitu spesial, hanya update-an berita-berita dan pendalaman hi-tech untuk penyesuaian ketika tinggal di Depok nanti. Ah, kuliah akan gampang, fikirku picik.

Mungkin Allah membentakku suatu siang. Saat iseng-iseng aku membuka-buka file data base mahasiswa HI UI di yahoogroups dan membaca profil mereka. Hanya satu orang yang lengkap kudapat curriculum vitae-nya, selebihnya aku hanya agak terheran oleh nama-nama asing yang aneh dan asal SMA mereka yang rata-rata berkelas di Indonesia. Ya, hanya satu orang, tapi satu orang itu saja cukup untuk membungkam fikiran picikku bahwa persaingan kuliah akan begitu gampang.

Awalnya kujelaskan kenapa aku berfikir picik dan agak ‘sombong’. Dulu saat kelas satu tsanawiyah aku pernah menjuarai lomba pidato bahasa Arab tingkat Darul Arqam, itu artinya aku mengalahkan pesaing-pesaingku tsanawiyah-aliyah putera-puteri. Saat kelas dua, juara 1 lomba tulis artikel tingkat remaja (sama juga harus lawan SMA) tingkat Garut membuat namaku melambung tinggi di sekolah. Dan kelas tiganya, menjadi remaja teladan tingkat Jawa Barat merupakan prestasiku yang cukup membanggakan. Akhirnya ketika Aliyah aku sempat mewakili Jawa Barat untuk lomba pidato bahasa Inggris di Kaltim. Mengingat-ingat rentetan prestasi dan pengalaman organisasi (bahkan melawan perpolitikan yang keras dan kejam), aku rasa tak kan ada masalah dengan masa kuliah nanti. Aku pun tersenyum.

Tapi ternyata kenyataan membalik lengkung bibirku tajam. Tak kusangka ternyata salah satu teman sekelasku nanti adalah mantan juara rentetan kompetesi tingkat Internasional. Puluhan prestasi nasional sudah tak lagi menjadi hal aneh, apalagi tingkat provinsi. Tak hanya itu, sederet pengalaman organisasinya cukup membuat duta UNICEF untuk Indonesia dan pejabat provinsinya menobatkan dia sebagai pemimpin masa depan. Memang tak kan berarti apa-apa, tapi setidaknya itu memperlihatkan siapa dirinya sekarang.

Awalnya ada satu hal yang kemudian kupertanyakan, banyak sekali prestasi nasional dan internasionalnya, tapi kenapa tak pernah ada info tentang itu ke DA? Mungkin karena DA terletak agak terpencil. Tapi, ah, anak-anak Satar yang juga sama daerahnya sepertinya tak mempunyai masalah dengan itu. Atau, karena DA menyandang predikat sebagai pesantren? Entahlah, aku dengar ada desas-desus bahwa akses untuk acara-acara nasional dan internasional (bukan yang diadakan Depag tentunya) memang sengaja dipersulit untuk pesantren. Untuk alasan ini aku tak tahu pasti dan tak punya hak menuduh ini-itu. Sepertinya kalian (santri DA) harus menyelidikinya sendiri.Yang aku tahu sekarang adalah fakta penting bahwa pondok kita sekarang ada dalam keterbelakangan! Oke, kalian bisa membela dan berdalih bahwa kita pernah juara nasional ini-itu, tapi teman, apa yang sudah kita raih di tingkat nasional atau tingkat apapun itu, rata-rata adalah kompetisi antarpesantren, yang juga [mungkin] akses untuk dunianya sama atau lebih buruk dari kita.

Tapi kesulitan akses keluar tentunya bukan satu-satunya alasan keterpurukan kita sekarang. Dulu saat DA berjaya kita secara diam-diam selalu menang lomba ini-itu mengalahkan sekolah berkaliber tinggi. Secara diam-diam karena katanya izinnya sulit dan harus sembunyi-sembunyi untuk mengikutinya. Tapi karena itu nama DA melejit di atas langit. Kita selalu pulang membawa piala, walaupun juga harus disembunyikan karena kalau ketahuan akan diambil pondok. Ah, ada-ada saja.

Lantas, DA sekarang? Banyak orang mengeluh tentang itu. Sepertinya tak ada lagi yang bisa kita banggakan sekarang. Kita tak lagi punya banyak prestasi seperti dulu juga tak lagi membuat orang lain ketakutan mendengar nama sekolah kita. Tapi aku yakin potensi untuk berprestasi masih terpendam begitu besar di DA, mereka hanya sibuk. Sibuk oleh deringan handphone katanya si dia ingin curhat dan membicarakan topik-topik sampah, kebetulan perang tariff antaroperator membuat biaya telfon jadi sangat murah. Mereka sedang begitu sibuk mengurusi gaya rambut dan pakaiannya agar terlihat keren, tak peduli rumus-rumus matematika atau pelajaran lainnya, mereka hanya sibuk, untuk urusan yang tak penting. Ah, ada-ada saja kesibukan anak DA sekarang.

Ya, kita tak bisa menghindar bahwa intelektualitas, kreatifitas, dan pencapaian pondok kita sekarang sedang kedodoran besar. Saat kelas dua Aliyah aku dendam karena kalah bahasa Inggris dengan anak luar yang sudah menjuarai debat internasional di Inggris, tapi saat pulang ke DA, aku sedih meliht orang yang bisa berbahasa Inggris tinggal segelintir saja.

Begitulah. Aku hanya memberi gambaran sedikit, mudah-mudahan nanti bisa ikut memperlebar akses informasi untuk pondok. Maaf kalau tulisannya agak kemana-mana; sudah lama sekali aku tak menulis yang sepertri ini. Sekarang hanya bisa bilang, buka mata kalian dan bangunlah!

0 komentar: