Senin, 02 Juli 2007

Eksistensi Remaja Sebagai Pelajar Ideal

Sekilas, ketika kata pendidikan terlintas dalam benak para pelajar, maka apa yang akan muncul pada fikiran mereka? Seragam putih, kelas yang terkadang begitu mengancam, mayoritas guru yang keras, juga sistem yang cenderung otoriter. Begitulah mungkin kata pendidikan terkonsep sedemikian rupa dalam perspektif mayoritas pelajar Indonesia, dengan kecenderungan keras bahwa segala hal yang berbau pendidikan berarti harus memasuki satu lembaga formal bernama sekolah. Dan ironinya, seluk beluk sekolah yang kontradiktif dan sering kali menakut-nakuti para pelajar juga harus terbawa ketika kata pendidikan melintas di fikiran mereka. Imbasnya, segala hal yang berbau pendidikan haruslah selalu mengancam dan menakutkan. Dan dalam realita seperti ini, bagaimanakah para pelajar dapat meraih haknya dalam memperoleh pendidikan sehingga dapat terwujud kader-kader bangsa yang unggul dari kualitas dan kuantitasnya? Mungkinkah sekolah yang sekarang melandasi kita dalam memperoleh pendidikan telah benar-benar bekerja secara fungsional sesuai dengan visi pendidikan itu sendiri, yaitu untuk menyalurkan ilmu dari genarasi ke generasi, atau hanya sekedar melegalisir para remaja dengan seragam dan perangkat lainnya sehingga dapat benar-benar disebut pelajar?
Sejenak mari kita renungkan proses pendidikan sebelum sekarang, yang seringkali terkenal ortodok, jumud, dan kuno.
Dulu, pendidikan disampaikan melalui tembang, kidung, puisi, juga cerita kepahlawanan. Berbagai tokoh agama telah mengambil eksistensi penting di sini. Karena bagaimanapun, pokok-pokok pendidikan mempunyai relasi langsung dengan ajaran agama itu sendiri. Seperti sejak abad 30SM, di Mesir orang-orang sudah memulai metode seperti ini dengan sumber Kitab Taurat dan Talmud. Atau sejak tahun 1200 SM, pendeta Hindu sudah mulai melaksanakan metode ini di lembah Indus dengan Kitab Vedanya.
Untuk kawasan Eropa, pendidikan mengalami revolusi sejak lahirnya pemikir-pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, setelah sebelumnya pendidikan tersebut mendapat pengaruh besar dari cerita-cerita kuno seperti Iliad, Odyssey, dan lain sebagainya. Dan dari sini mulailah terjadi perkembangan pada sistem pendidikan. Seperti halnya di kawasan romawi abad pertama, di mana pendidikan lebih diorentasikan pada keorganisasian. Imbasnya, penguasaan massa, pidato, dan segala hal tentang keorganisasian menjadi substansi dari pendidikan itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan mengalami evolusi sesuai dengan keadaan sosial yang terjadi waku itu. Seperti halnya yang terjadi di abad 17, di mana Rene Descartes lebih menitik beratkan pendidikan pada bidang filsafat, Wolfgan Ratke pada bidang bahasa atau John Locke yang cenderung pada pertanian, pegembangan kreatifitas, dan kesegaran jasmani dengan sinkronisasi pada keadaan sosial waktu itu.
Barulah di abad 19 mulai adanya pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan yang akhirnya kita sebut dengan pendidikan modern. Pada abad ini mulai lahir gagasan bahwa pendidikan sebaiknya disama ratakan, dalam artian materi pengajaran disesuaikan menurut standar nsional. Dan pada abad 20, akhirnya gagasan ini diperkuat Ellen Key dengan pernyataannya bahwa pendidikan harus dilaksanakan sesuai kemampuan anak didik, bukan karena kebutuhan sosial golongan.
Setelah mengalami berbagai revolusi, sampailah pendidikan pada sistem yang ita kenal sekarang. Dan khususnya untuk negara kita, dengan berbagai atribut, metode dan sistem yang kerap kali berubah-ubah. Akan tetapi, dengan adanya sistem modern seperi ini, secara faktual para pelajar mengindikasikan hal-hal yang kontradiktif. Karena tak sedikit terjadi masalah dengan ketidak sesuaian di kelas, doktrin-doktrin tentang guru: terlalu radikal, kurang perhatian, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada tawuran antar pelajar sebagai indikasi dari dekadensi moral. Lantas, jika dibandingkan, bukankah saat tak ada sistem seperti sekarang (melalui metode yang kita anggap kuno), lahir tokoh-tokoh dunia seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang buah fikirannya mendominasi pemikiran-pemikiran kontemporer? Dengan keadaan seperti ini, bukankah lebih baik pendidikan dilakukan sesuai metode zaman dulu, atau bahkan tanpa sekolah?
Secara ideal, sekolah merupakan sarana yang sangat cocok dalam melakukan proses pendidikan (dan karena itulah di sini sangat diorentasikan pada permasalahan seputar sekolah). Peraturan, sistem, dan fasilitas yang memadai merupakan indikasi penting bahwa sekolah diatur dengan manajemen yang baik. Dan bagaimanapun, pendidikan yang telah diatur dengan metode sedemikian rupa hasilnya cenderung akan lebih baik. Akan tetapi, secara faktual ternyata yang terjadi secara dominan adalah hal-hal kontradiktif. Secara garis besar, ada dua macam faktor yang berpengaruh penting di sini, yaitu faktor internal mengenai kepribadian seorang pelajar, dan faktor eksternal, yaitu teman, keluarga, guru dan peraturan. Dan di sinilah diperlukan adanya peran aktif remaja sebagai pelajar, juga kader bangsa yang terdidik untuk menanganinya, sehingga diharapkan dapat tercipta situasi pembelajaran yang kondusif, efektif, dan efisien.
Pertama, faktor internal mengenai kepribadian pelajar. Di sini masalah yang terjadi tidak begitu kompleks, karena secara dominan telah dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang akan dijelaskan kemudian. Secara garis besar, masalah yang perlu diperhatikan pada aspek ini adalah bagaimana remaja memahami kondisi lingkungannya dan reaksi yang terjadi setelah itu. Dalam hal ini lebih diaksentuasikan pada remaja karena problematika di masa remaja sangatlah komplels, padahal masa remaja adalah masa di mana semuanya mulai dibentuk (jati diri, kepribadian, pola hidup, dan lain sebagainya). Seperti yang diungkapkan Sean Covey,
“Bayangkan seutas tambang sepanjang delapan puluh kaki terpampang di depanmu. Setiap kaki mewakili satu tahun usiamu. Masa remaja hanya tujuh tahun, begitu singkat, tetapi ketujuh tahun itu memengaruhi enam puluh satu sisanya.”
Di sini remaja berperan penting dalam pembentukan kepribadiannya sebagai pelajar yang ideal, agar tidak terbawa arus jika ligkungan sekolahnya lebih mencerminkan kebiasaan negatif. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnhya, pemahaman tentang kondisi lingkungan akan baik dan buruknya juga kesadaran akan eksistensi remaja yang ideal sangatlah penting. Dengan kata lain, remaja berperan untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang-ruang positif bagaimanapun kondisi lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi, dengan begitu kompleksnya problematika masa remaja atau hal-hal yang masih bias tapi cenderung dipandang negatif, besar kemungkinan paradigma remaja akan berubah secara sinkron dengan pola hidup lingkungan yang akhirnya terealisasi lewat perlakuan nyata dan lebih parah lagi hal itu akan membudaya di kalangan pelajar, sehingga eksistensi remaja sebagai pelajar seakan berubah. Seperti halnya ketika dalam satu lingkungan kelas mayoritas pelajarnya sering bolos, maka setidaknya palajar yang lain akan meganggap bahwa bolos adalah hal biasa. Yang karena paradigma seperti demikian, maka pelajar yang lainpun melakukan hal yang sama. Setelah beberapa kali dilakukan, akhirnya bolos menjadi satu budaya dan ironinya, terkadang timbul anggapan bahwa pelajar yang tidak pernah bolos adalah pelajaryang tidak normal. Dan secara tidak langsung hal ini melegalisir bahwa bolos merupakan satu predikat pelajar ideal. Di sinilah benar-benar diperlukan adanya pemahaman pelajar tentang lingkungannya (dalam hal ini sekolah) yang secara teknis diantaranya dapat dilakukan dengan berperan aktif di organisasi-organisasi pelajar.
Kedua, faktor eksternal yang secara garis besar meliputi teman, keluarga, guru, dan peraturan. Di sinilah problematika masa remaja terasa begitu kompleks.
Di sini teman menempati urutan pertama atau faktor terbesar yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja. Karena seringnya bergaul dan berkomunikasi antar sesama teman, maka tercipta satu bentuk solidaritas yang sangat tinggi. Dengan situasi seperti ini, maka tidak heran jika banyak remaja yang mengikuti segala hal agar terjadi kesinkronan dengan teman-temannya, suka atau tidak, positif atau negatif.
Pada umumnya ada dua permasalahan ini di sini. Pertama, jika lingkungan/pergaulan teman seorang pelajar cenderung negatif, dan ke dua, kecenderungan mengikuti apapun kebiasaan seorang teman demi sinkronisasi, baik itu postif maupun negatif.
Untuk lingkungan dengan kecenderungan pergaulan negatif, maka pada kawasan inilah perlu adanya paradigma remaja yang benar-benar dewasa. Karena secara faktual, pola hidup seorang remaja banyak berubah dengan lingkungan seperti ini. Juga terbukti bahwa kecenderungan solidaritas dalam lingkungan seperti ini sangatlah kuat, di mana dedikasi seseorang kepada teman dan kelompoknya mayoritas melebihi apapun. Sehingga pengorbanan menjadi bagian dari proses pertemanan, yang sayangnya, dalam hal ini pengorbanan mengalami reduksi kata yang kontradiktif, dan banyak dijadikan alas an untuk memperbaiki citra suatu perbuatan negatif.
Selanjutnya, masalah yang timbul dalam lingkup pertemanan adalah sinkronisasi. Disadari atau tidak, seorang remaja akan lebih direspon dan diakui eksistensinya ketika ia sinkron dengan teman atau kelompoknya dalam berbagai aspek. Saat mayoritas pelajar dalam satu kelas terbiasa datang terlambat, maka eksistensi pelajar yang senang tepat waktu dalam lingkungan tersebut terasa tidak bersahabat. Dalam keadaan seperti ini, kecenderungan remaja lebih memilih untuk meninggalkan kebiasaannya, dan Mengikuti kelompoknya. Atau jika lingkungannya terbiasa dengan hal positif. Yang menjadi masalah di sini bukanlah perubahan dari kebiasaan negatif menuju positif, tapi tidak tentunya kepribadian. Yang imbasnya akan timbul ketergantungan pada lingkungan yang dan dikhawatirkan adalah ketika remaja tersebut kembali pada lngkungan negatif. Dan inti permasalahannya adalah eksistensi remaja tersebut dikendalikan oleh lingkungan, yang idealnya dialah yang mengendalikan, minimalnya untuk dirinya sendiri, dan lebihnya untuk lingkungan.
Dengan semua realita seperti ini, (dalam lingkkup teman), seringkali timbul anggapan bahwa solusi terbaik adalah menjauhi semua teman yang cenderung negatif, dan mencari teman dengan segala sifat positif. Akan tetapi timbul masalah baru, bukankah dengan cara seperti ini telah benar-bnar lahir anggapan bahwa pada orang-orang yang dianggap baik telah benar-benar terdapat sifat baik yang absolut, dan dalam orang-oang yang dianggap negatif benar-benar terdapat sifat buruk yang absolut? Jika dihadapkan dengan konsep yang ideal, bukankah setiap otrang mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing? Dengan demikian, maka peran remaja yang terpenting di sini bukanlah memilih teman, akan tetapi menempatkan eksistensinya sebagai teman yang benar-benar teman, dalam artian dapat menemani temannya dalam waktu yang dibutuhkan. Ketika ada beberapa pelajar yang sering terlambat, maka pada dasarnya pelajar tersebut membutuhkan teman yang dapat mengatasi keterlambatannya. Sehingga jelas, peran remaja dalam hal ini bukan malah menambah kebutuhan temannya dengan ikut terlambat, akan tetapi memberinya solusi dengan berbagai cara untuk mengatasi keterlambatannya. Bukankah Islam adalah rahmatan li `alamin? Teringat akan kata-kata bijak,
“Ketika kamu melihat laut yang tercemar, maka jernihkanlah laut tersebut, dan tidak ikut tercemar di dalamnya. Atau ketika kamu melihat hutan gundul yang gersang, maka hijaukanlah kembali hutan itu.”
Faktor eksternal kedua adalah keluarga. Masalah yang terjadi pada keluarga pestilah harus terbawa pada semua aspek kehidupan, termasuk pada pendidikan. Seorang yang mempunyai masalah pada keluarganya seperti pertengkaran orang tua, atau masalah ekonomi akan terlihat menyimpan sesuatu yang berbeda, dan semangat belajarnya menurun derastis. Hal ini disebabkan diantaranya karena rasa memiliki remaja terhadap keluarga yang sangat minim.
Adapun di sini, remaja berperan untuk ikut andil lebih dalam pada lingkup keluarga. Dengan aktif berperan seperti ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga secara baik juga mematuhi nasihat orang tua dengan segala kesadaran, maka akan timbul rasa memahami, yang akhirnya menumbuhkan rasa memiliki akan keluarga itu sendiri. Dengan demikian, remaja akan cenderung berperilaku sebagai subjek daripada objek. Dalam artian masalah-masalah yang datang dari keluarga akan senantiasa ditanggapi dengan kata bagaimana, bukan dengan kata mengapa. Sehingga, pendidikan tidak akan terlalu terganggu dengan adanya masalah keluarga.
Faktor ketiga adalah guru. Terkadang guru terasa begitu otoriter, sehingga mambuat kondisi kelas sangat membosankan. Atau juga sebagian ada yang galak, dan membuat kelas seakan di neraka. Dan masih banyak lagi karakter lain yang dengannya situasi kelas dibentuk.
Untuk menghadapi masalah ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menerimanya dengan bijak, kedua, memperbaikinya secara efektif.
Pertama,menerimanya dengan bijak. Adakalanya karakter guru yang tidak relevan dengan aturan pembelajaran menurut peersepsi pelajar menjadi masalah karena kekurangan pelajar dalam memandang baik buruknya sesuatu. Terkadang sesuatu dianggap baik hanya karena kesinkronan dengan hati penilainya. Secara sekilas, tanpa memerhatikan efek jangka panjangnya. Bukankah inti dari pembelajaran adalah membentuk para cendikiawan dan bukan melakukan hal-hal yang selalu sekehendak hati? Bukankah di satu waktu seseorang harus berjuang dan berkorban untuk mendapat sesuatu? Maka di sini pelajar berperan dalam mengubah paradigmanya sendiri. Seperti halnya ketika disodorkan pada banyak tugas, maka mayoritas akan memandang guru dengan persepsi negatif, dan dengan begitu terciptalah situasi belajar yang buruk. Tapi jika paradigma tersebut diubah, dengan menyadari bahwa latihan adalah sesuatu yang penting dan harus dilakukan, juga guru semata-mata memberikan tugas tersebut untuk kepentingan pelajarnya, maka kondisi pembelajaran akan berlangsung dengan lebih kondusif.
Kedua, memperbaikinya secara efektif. Untuk melakukan hal ini, diperlukan adanya waawasan yang cukup tentang baik dan buruknya teknis pengajaran, juga keefektifannya dengan kondisi kelas. Jika dengan paradigma yang matang, pandangan jauh ke depan, juga disertai fakta akan ketikak efektifan teknis pengajaran seorang guru untuk suatu kelas, maka bagaimanapun hal seperti ini harus diperbaiki. Karena dalam satu waktu suatu cara dapat berubah baik buruknya tergantung pada keadaan. Dan yang perlu diperhatikan di sini adalah teknis perbaikannya, agar dapat dilakukan secara efektif. Contohnya dapat dilakukan dengan berbicara langsung secara baik di luar jam pelajaran, atau secara tersirat ketika ada momentum yang memfasilitasinya, seperti drama, pidato, dan lain sebagainya.
Faktor keempat adalah tatatertib. Pada dasarnya, sama seperti guru, di satu sisi perlu adanya kesadaran dan perubahan paradigma seorang pelajar dalam memandang tatatertib. Yang berbeda di sini adalah tata tertib cenderung menunjukkan sesutu yang membawa dampak positif, sehingga kecil kemungkinan perlu adanya perbaikan dari pelajar. Tapi yang berbeda di sini yaitu kurangnya perhatian dalam pelaksanaan yang ironinya sering kali juga dilakukan oleh aparatur sekolah. Sehingga disaari atau tidak, timbul kegalauan pada hati pelajar tentang pelaksanaan tatatertib tersebut. Di mana pelanggaran tatatertib yang dilakukan oleh guru secara tersirat mengandung pembelajaran terhadap murid-muridnya. Dengan keadaan seperti ini, maka peran pelajar tidak terfokus pada perbaikan tatatertib, akan tetapi cenderung pada usaha pelaksanaan tatatertib tersebut oleh berbagai pihak, yang secara teknis dapat dilakukan dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap tatatertib, tidak mencontoh jika satu waktu terdapat guru yang melakukannya (pelanggaran) sehingga timbul rasa sungkan di hati guru tersebut untuk mengulanginya, atau dengan langsung berkonsultasi pada kepala sekolah dengan sikap seorang guru yang terbukti demikian.
Akhirnya, dengan semua hal tersebut diharapkan para remaja sebagai pelajar turut aktif berperan dalam jalannya pendidikan. Yang mana, setelah pendidikan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, maka besar kemungkinan dapat terwujud kecerdasan di kalangan para pelajar sebagai kader-kader bangsa yang akan menentukan eksistensi Tanah Air Indonesia di masa mendatang.

Garut, Oktober 2006