Kenapa Dengan DA?
Sore itu huan begitu lebat. Aku dan teman-teman belum puas mengerumuni jendela asrama HIT. Menunggui satu dua santri puteri yang lewat, dan meneriakinya dengan banyak celotehan. Atau sekedar memanggilnya, tanpa tahu kenapa. Tapi biasanya kreatifitas kami muncul saat ada yang merespon panggilan kami, ya untuk menitipi salam, atau sekedar menjailnya.
Tapi hujan begitu lebat. Tak ada puteri yang pergi ke koperasi, orang-orangpun jarang. Biasanya walau tak ada puteri yang lewat, kami tetap tak kalah berisik untuk meneriaki teman putera sendiri jika kebetulan ia terlihat dari jendela. “Sedikit” ejekan dapat membuat kami ceria. Tapi kini jalan benar-benar sepi, mungkin sekarang hujanlah yang sedang meneriakiku dan teman-teman. Sama berisiknya.
”Boring euy, euwuh job!” spontan temanku berceloteh, sambil menarik kepalanya dari jendela dan merebah di atas kasur.
”Heueuh, teu jiga baheula.” yang lain menjawab. Sedikit-sedikit kamipun meninggalkan jendela, dan semua tiba-tiba saja berkumpul di kasur asrama HIT.
”Ah, ayeunamah DA teh kieu nya! Teu jiga baheula!” sebuah suara memulai pembicaraan panjang dan–mungkin–cukup serius. Emif meneruskan kata-katanya, dan dapat kulihat tatap kecewanya yang begitu pias. ”Baheulamah rame teh!”
Sore itu benar-benar mengingatkanku dan teman-teman pada kenangan kami dulu. Saat kami memulai perjalanan panjang di kehidupan yang aneh ini.
”Baheulamah resep teh ngumpul di masjid jeung kakak kelas ngomongkeun masalah agama.” Kemal yang dari tadi terdiam kini tak kalah antusias meluapkan kata-katanya.
”Heueuh, da ayeunamah mmasjid teh dipisah.” Galih menjawab.
Entah, sekarang aku dan teman-teman lebih serius membicarakan tentang kenapa dengan DA daripada ada apa dengan DA. Setelah akhir-akhir ini kami rasakan semua benar-benar berubah. Oke, mungkin agar lebih jelas harus ku obrolkan satupersatu ”prubahan-perubahan” itu.
Mungkin masjid yang harus menjadi sorotan utama. Tempat di mana ku memulai titik balik dari sekolah dasar yang begitu lugu, menuju proses kedewasaan yang hebat. Ku mulai mengenal apa itu agama, apa itu filsafat, apa itu bahasa dan banyak hal besar. Dari masjid, dari obrolan-obrolan yang terjadi di sana. Tapi sekarang mesjid Tsanawiyah dan Aliyah telah dipisah dengan alasan tidak cukup. Entahlah. Dan imbasnya, kini tak ada lagi obrolan hebat seperti dulu. Tak lagi ku lihat transisi berarti dari anak Tsanawiyah sekarang. Semua berjalan begitu datar, hambar. Atau kalaupun satu dua kali kami bertemu di mesjid, yang terjadi bukanlah obrolan tentang hal-hal hebat, tapi hal-hal lugu dan kekanak-kanakan.
Lantas, kami–ku dan teman-teman– haus akan semua itu. Kaipun menunggu, katanya mesjid akan disatukan kembali saat mesjid Aliyah selesai dirombak. Kamipun menunggu, entah sampai kapan.
Tak habis sampai di situ. Banyak hal yang begitu membingungkan. Kemarin-kemarin aku dan panitia lain mengadakan acara nonton bareng KMR dengan film The Last Samurai. Tujuannnya agar mubaligh-mubaligh KMR dapat bersemangat memperjuangkan Islam seperti orang-orang samurai memertahankan budaya samurainya. Mulai dari permintaan izin, kami meluncurkan surat peminjaman ruang multimedia. Setelah dibicarakan, kami tidak diizinkan menggunakan ruang multimedia dengan alasan komputernya rusak. Walaupun di sana masih ada laptop sebagai penggantinya, tapi kami dilarang menggunakannya. Katanya anak-anak tidak boleh menggunakan laptop multimedia. Entah, apa mungkin uang bulanan yang kini naik menjadi Rp. 400.000,00 masih belum cukup untuk membayar laptop itu. Tapi kami masih diizinkan menggunakan lab matematik. Walaupuin berat, tapi ku tak punya pilihan lain. Sampai di lab, ternyata cobaan iitu belum berhenti. Guru matematik sudah stand by menunggu muridnya untuk belajar. Akupun menjelaskan bahwa lab sudah dicarter untuk acara KMR. Tapi guru matematik dan satu guru Kimia ( yang terkenal killer ) tetap ingin menggunakan lab tersebut. Akhirnya, terpaksa ku luangkan waktu untuk ”ngobrol” dengan mereka mengenai lab itu. Beberapa waktu kemudian guru matematik itu keluar dari lab dan pergi. Sangat jelas ku lihat kesal di raut mukanya. Nonton pun dimulai, dengan waktu yang begitu pas-pasan. Akhirnya, sebelum kami menamatkan Disc terakhir, tiba waktunya adzan. Terpaksa ku menundanya sampai malam nanti. Akupun meminta izin untuk meneruskannnya malam nanti dan diizinkan.
Malampun tiba. Kami dan para anggota sudah siap di lab untuk menyaksikan kelanjutannya. Dan filmpun dimulai. Tapi tak selancar itu. Di tengah-tengah, kepala sekolah datang dan menyuruh membubarkan acara. Akupun kesal, dan kami harus “ngobrol” lagi. Dan “ngobrol” itu dapat mengulur waktu sampai acara habis, dan kamipun bebas. Beberapa hari setelah itu, aku dan beberapa panitia lain dipanggil ke kantor kepala sekolah, dan membicarakan tentang film itu. Beberapa alasan sempat mendarat di telingaku: karena filmnya tak pantaslah, bukan dari Islamlah, tak mendidiklah, dan bermacam alasan lainnya. Dan obrolan kamipun berlanjut panjang, panas. Sampai ku katakan bahwa film itu pernah diputar dalam training ESQ, dia baru bisa menerima. Akupun keluar dari kantor kepala sekolah, dengan tidak mengikuti pelajaran karena panggilan tadi begitu menguras waktu. Tapi beberapa hari kemudian ku merasa sedikit terobati karena guru Tarekhku bilang, ”Tah, cing atuh tonton film The Last Samrai! Etamah film alus. Conto kumaha bangsa Samurai ngabela bangsana, Islam oge kudu kitu!”
Rupanya masalah tak habis sampai di situ. Kami malah sering mendapat ancaman saat kumpul KMR. Pernah dulu kami dibubarkan karena kumpul di tempat puteri. Katanya dilarang putera kumpul di kelas puteri. Entahlah. Kamipun kesal, keterlaluan!
Akhirnya, pada 15 Maret 2007, kelasku mengadakan FIKIR. Saatnya ku buktikan pada kepala sekolah itu bahwa acara yang kami buat bukan sembarang acara seperti apa yang ia bilang. FIKIRpun dimulai, walau sebelumnya ada gertakan juga pada persiapannya karena kami tak masuk kelas.
Saatnya tiba. Ternyata benar! FIKIR itu benar-benar hebat!aku dan teman-teman berpelukan setelahnya dan bersyukur. Keren!
Ucapan selamatpun kami terima. Bahkan, salah satu pembina bilang, “Sejak 9 tahun Bapak tinggal di DA, FIKIR kalianlah yang paling bagus.” Di kantor sekolahpun guru-guru membicarakannya. Kepala sekolah itupun juga. Yang yang paling penting, ia tak lagi semena-mena menggertak ketika ku mengadakan acara KMR, walau kepergok kumpul bareng puteri.
Alam sudah menguning, hujan tak lagi begitu deras. Tapi obrolan kami masih panas. Senja tiba, menjemput mentari di ufuk barat yang jauh. Belum habis obrolan ini, –dan entah sampai kapan akan habis– suara pintu yang dipukuli tongkat kecil memaksa kami mengakhirinya. Pak Asep –pembina kami– sudah menggiring untuk solat maghrib.
Senin, 02 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar