Senin, 02 Juli 2007

Rangking: Satu Idealisme atau Kajian “Semiotika” Akademis?

Kemarin siang aku dan orang tua pergi ke Garut untuk mengambil rapot. Jalanan macet, dan udara panas menyengat sampai otak. Sesampainya di Garut, aku disambut rentetan angka di buku rapotku yang, intinya mereka membentuk angka 7 pada kolom paling bawah. Aku rangking 7! Sesaat ku lihat raut wajah orang tuaku yang sepertinya akan meleleh, bukti yang berteriak sangat keras bahwa mereka kecewa. Aku hanya bisa tersenyum, bahkan mungkin ingin tertawa. Aku tak masuk 3 besar kali ini. Mungkin kecewa, atau sebaliknya, aku bangga. Entahlah.

Lantas orang tuaku bercerita dengan banyak orang di luar. Walau tak ku kenal, tapi kadang aku bergabung dengan mereka. Dan pertanyaan yang harus ku jawab dari mereka adalah, ”Rangking berapa sekarang?” Membuatku sedikit risih.

Mungkin ini adalah hasil dari kampanye anti rangkingku atau entah apa namanya. Akhir-akhir ini ku benar-benar tak peduli akan deretan angka-angka di buku biru itu. Dan memberitahukannya juga pada orang lain. Seringkali ulangan harianku juga jelek, tapi ku hanya tersenyum. Ku benar-benar tak peduli.

Ku hanya tak habis fikir bagaimana satu angka dapat mengubah paradigma orang-orang secara signifikan. Tiba-tiba saja seseorang bisa berteriak kegirangan atau sebaliknya. Hanya karena satu angka.

Hanya menurutku ini kebanyakan tak lebih seperti struktur tanda-tanda antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified) dalam kajian semiotika. Singkat saja, salah satu fungsi dari semiotika adalah mengaburkan makna itu sendiri (sebentar, ini bukan berarti sebuah kuliah kelas ilmu sosial, hanya saja ku tak menemukan istilah lain). Dan ini terjadi pada dunia akademis. Orang-orang begitu tergila-gila akan rangking, sedang kebanyakan mereka tak tahu apa makna di balik rangking itu sendiri. Maksudku, kita terlalu berambisi besar untuk meraih sebuah angka dalam buku rapot, tapi kita tak tahu untuk apa angka itu, dan apa makna dari angka itu.

Dalam prosesnya, kita belajar siang malam dan menggeluti setumpuk buku dalam sekejap ketika THB, untuk mendapatkan satu angka. Dan tumpukan buku yang kita hadapi hanya kita siapkan untuk beberapa menit waktu ulangan, selebihnya, terserah. Seringkali ingatan tadi malam menghilang begitu saja setelah selesai ulangan. Dan kita tak peduli, yang penting nilainya bagus, dan rangkingku memuaskan. Hei, apa ini? Bukankan angka-angka yang berjejer di rapot itu seharusnya mencerminkan bahwa kita memang mempunyai kemampuan, dalam Kimia katakanlah. Tapi kenyataannya, makna dari rangking itu sekarang sudah begitu kabur, sehingga kita tak sadar bahwa kini rangking tersebut menggambarkan orang yang ingatannya kuat dalam semalam. Sebagian juga menggambarkan orang yang begitu rapi, sehingga kertas contekan di kartu ujiannya tidak terlihat pengawas.

Tapi ini bukan berarti kampanye untuk serta merta menganjlokkan rangking rapot kita, sama sekali bukan. Ini hanya keprihatinanku bahwa kenyataan yang terjadi sekarang adalah demikian. Kita begitu terbuai dengan angka-angka ”palsu” yang didapat dari kerja semalaman. Aku hanya ingin mengatakan kembali bahwa kia ke pergi ke sekolah untuk belajar dan mengetahui banyak hal, bukan untuk bermain-main dan dalam satu malam menumpukkan buku untuk mendapatkan satu angka. Kita rangking satu karena memang kita tahu banyak hal, bukan karena ingatan sementara yang tiba-tiba saja lenyap setelah ulangan.

Wali kelasku sering panik dan membuat panik semua orang ketika ia melihat nilai di bawah tujuh, kemudian dia meminta kami untuk menghubungi guru yang bersangkutan agar nilainya ditambah. Bagaimanapun caranya. Katanya, kalau nilainya kurang dari tujuh, berarti tidak bisa ikut PMDK. Dari dulu ia selalu banyak berpidato tentang PMDK, seolah semua hanya bisa masuk universitas lewat jalur PMDK. Lantas, kenapa harus PMDK? Kenapa ia tidak pernah sekalipun menyebut kata SPMB, atau tes masuk lainnya yang murni dari kemampuan sehingga murid-muridnya bisa lebih bersemangat dan mempunyai daya kompetitif tinggi? Kenapa banyak orang harus lelah menyalin jawaban LKS orang lain untuk mendapat angka bagus? Kenapa banyak murid sekolah kini berjuang untuk mendapat sebuah angka, bukan untuk mengetahui sesuatu? Entahlah.

0 komentar: