Senin, 02 Juli 2007

Sahabatku, Friend 14

Setelahnya kita tak lagi menundukkan kepala, dan berbisik sendiri


Bagaimana ujian Nahwu kemarin? Apa kalian juga membuat tanda tanya besar di lembar jawab? Atau sama-sama lieur dan mengutuk soal dengan berpuluh kata MUNADA disana? Atau mungkin lebih baik. Entahlah, bukan itu yang kita ingin bicarakan sekarang.


Aku tak begitu tahu tentang lingkup hari kalian. Kita tak hidup satu asrama, kau disana, dan ku disini. Pembina kalian perempuan, dan pembinaku laki-laki. Kelasku berlantai keramik, kelas kalian tidak. Kalian sering dipuji guru-guru, sedang aku diserapahi. Apa yang kalian lakukan ketika pertama kali masuk? Menangiskah? Bagaimana pembina kalian, kapan kalian biasa tidur malam, bagaimana tanggapan kalian tentang menu makan, siapa santri putera terganteng menurut kalian? Hm.. ku tak banyak mengerti, kalian jauh lebih tahu. Lantas, apa yang harus ku tulis? Dari mana kita mulai? Entahlah, tapi setidaknya, ada banyak cerita yang telah kita buat.


Dulu kita masih sangat malu-malu, meski sebenarnya ingin bersama berkenalan, ngobrol, tertawa, dan melakukan banyak hal layaknya seorang teman. Ku menyembunyikannya, mengatakan tak ingin, bersama orang-orang yang juga begitu. Bahkan mungkin orang yang membawa cap dan mengkampanyekan diri sebagai orang ter-JM juga menyimpan keinginannya dan menyulapnya menjadi rasa malu yang amat besar, sim salabim! Tapi itu hanya proses, karena sekarang kita sudah mempunyai cukup adrenalin untuk meeting di bawah aula, di Bu Apip, atau di depan rumah Bu bacih. Setidaknya sampai Pak Dudung datang, atau Pak Nasrun yang begitu watados duduk dan memperhatikan. Dulu kita masih menyimpan sendiri sebuah nama di memori khusus ingatan kita. Tanpa suara, ataupun hanya sekedar bisik-bisik. Mungkin karena terlalu malu. Tapi sekarang muka kita sudah cukup tebal untuk meneriakkan sebuah nama, memamerkannya, dan setelahnya, kita merasa bangga.


Sekarang asrama sudah terlalu ribut dengan kata-kata jadian, kabogoh, nembak, ditolak, dan lingkup love lainnya. Sedikit demi sedikit kita mulai mengatur strategi dan mewaspadai wilayah danger meeting, memilih waktu yang cocok untuk nge-date,sampai perencanaan pulang bareng. Kita sudah memasuki daerah terlarang, meski mungkin tak terlalu kriminal. Tapi darisanalah kita belajar dan mengetahui banyak hal: dari tempat yang bersinyal cukup kuat, menghemat uang jajan, belajar untuk tidak nervous, sampaipada psikologi seseorang: tentang perasaan putera dan puteri, tanda-tanda seseorang jatuh cinta, strategi pede-kate untuk mendapat hati seseorang, dan banyak hal besar lain.


Setelahnya, walau tak pernah kita sadari, kita tumbuh begitu dewasa, sudah begitu mandiri bahkan dalam berpacaran. Kau, aku, mereka, semua senang dengan saling menitipi salam, berkirim surat, sms, menelefon, berbagi cerita, dan semua yang selama ini telah membuat kita bersatu, saling mengerti. Kita telah melewati banyak proses. Sangat panjang.


Tapi ini tak sesederhana sebuah telenovela yang begitu saja menghilang dari obrolan pagi hari di halaman rumah setelahnya datang trelenovela lain yang lebih menjanjikan. Ini bukan cerita yang mudah lenyap. Kita tak hanya berkirim surat yang bertahan sebulan dua bulan saja, atau sms yang kadang tak terkirim, tak bisa membalas karena pulsa habis, juga jadian begitu saja putus ketika sudah merasa ”bosan”. Kita telah menyimpan sesuatu yang lebih selama ini. Surat-suratku padamu, makanan yang sering kali kau titipkan pada adik kelas, bantuanmu, kerja sama, bahkan ketika kita berperang sekalipun. Ku kotori kelasmu dengan lumpur, lalu kau soraki aku jika melewatimu, ”Hu...”.


Kita tak setiap hari bertemu. Kau tak pernah membangunkanku, hingga akhirnya sebuah sajadah mendarat di tubuhku. Kau tak pernah meminjamkanku piring, hingga Mak Dapur pergi, dan ku tak makan. Akupun begitu, padamu. Tapi sebenarnya kita ingin. Kau tak rela melihatku dipanggil dan dihukum, kau marah jika ku diganggu, kau ingin ku senang, akupun begitu.


Sekarang kita sudah satu hati, karena kemarin kalian juga menangis, sama seperti ku. Untuk semua kebersamaan dan persahabatan. Karena walaupun pembina kita berbeda, asrama kita jauh, kita adalah satu, menjalani hari yang sama.


Kau tak rela aku keluar, begitupun denganku. Kita ingin selalu bersama, membuat acara hebat lagi, meeting di bawah aula lagi, berkirim surat lagi. Tapi ini tak mungkin. Kau telah bersedia berpisah denganku saat pertama kali kita bertemu. Saat kau pertama kali menyalamiku. Saat dulu kau jadian denganku. Kita tak bisa berbuat apa-apa.


Atau jika kau bukan pacarku. Kita tak pernah jadian, kau tak pernah menyalamiku, memberiku gorengan dari pengkolan, jalan berdua, surat-suratan, juga menelfon dengan kata-kata romantis. Aku tak cinta kau, kau juga tak mencintaiku. Tapi ku tak ingin kau keluar, pergi dariku.


Aku ingin kita terus bersama, kau menitipi salam, dan ku menyampaikannya. Menyuruhku memanggil seseorang untuk meet, curhat tentang pacarmu, sahabatan, membuat acara hebat lagi, seperti dulu. Tapi sudahlah, kita memang tak bisa selalu begitu. Kau harus pergi, dan ku tetap disini. Atau sebaliknya. Masih banyak hal yang harus kita lalui.


Aku tak memberimu kenang-kenangan, ucapan selamat tinggal, menangis untukmu atau apapun, kau juga begitu.


Tapi ku tahu, kita telah berbagi banyak hal lebih. Karena sekarang ku tak lagi menundukkan kepala dan berpaling jika melihatmu, kau tak lagi menganggapku orang lain.


Kita tetap bersahabat, ku mengingatmu dan kau mengingatku.


Terima kasih FRIEND, jangan lupakan aku.


Sahabatmu,


SMART26

0 komentar: