Senin, 02 Juli 2007

The Last Step, SMART 26

Dalam sebuah penjara suci, bersama menanti waktu


Mau kemana sekarang? SMA Negeri, SMK, atau terus di DA? Huh..., akhinya ini sudah selesai. Simpan saja semua frustasi itu, karena sekarang kita tak lagi harus memikirkan ujian, pembina yang garang, suara kaca yang bising ketika waktu sholat tiba, sajadah yang tiba-tiba membuyarkan mimpi, atau tempelengan yang siap mendarat kapan saja ketika lengah. Karena sekarang kita sudah tinggal di asrama lain, di kelas lain, di kehiupan lain.


Tak terasa, tiga tahun sudah kita habiskan untuk semua ini. Merasakan kehidupan baru, menghembuskan berjuta nafas, dan tumbuh bersama di DA yang sekarang menjadi rumah kita, walau sering kali kita berontak, “Uh, boring euy, hayang kaluar!”


Asrama yang terkadang hanya berlampu satu setelah yang lainnya pecah oleh bola basket, kelas yang seakan berganti fungsi menjadi tempat tidur, mesjid, aula dan semua yang ada di pondok dengan ciri khasnya masing-masing kini telah membawa kita pada banyak hal. Ditampiling pembina, bolos sekolah bersama untuk nongkrong di pojok, gigitaran, atau nyumput di lemari ketika pembina ngagiring ke asrama. Ha, ha, kita bersama mengutuk semua itu, tapi tak bisa kita sangkal, kita tumbuh bersamanya. Bersama semua hal yang kadang membuat kita lieur dan stress setengah mati.


Tiga tahun bersama disini, bukan waktu yang sedikit. Dulu kita memulai perjalanan panjang ini dengan sama-sama menitikkan air mata. Semua merasa kesepian, setelahnya tak ada lagi belaian hangat ibu, padahal malam begitu dingin. Tak ada lagi tawa ayah yang bersahabat, padahal malam begitu sepi. Kita merasa bosan dan tak bernafsu untuk menyentuh makanan yang sengaja dibeli dari super market, kita merasa sendiri. Dan akhirnya, seseorang menyembunyikan wajahnya di balik bantal, dua orang, tujuh orang, sepuluh orang, sampai semuanya, menangis: tanda rindu pada rumah, tanda sedih, tanda berontak, dan bahwa kita masih seorang anak kecil yang manja dan cengeng.


Tapi setelahnya kesal dengan hanya menutupi mata yang basah dan wajah yang pucat, kita ingin mencari suasana baru yang lebih baik. Sejak itu, mulailah kita berkenalan, curhat, walau dengan sekedar mengatakan: ”Urang leweh euh”. Sehari kemudian kita mulai mengobrol layaknya seorang teman, memberi sabun cuci piring yang dibungkus dengan plastik penggaris setelah selesai makan malam, barteran jeruk dengan Yakult, ku tersenyum, lalu kau membalasnya. Dua hari kemudian kita mulai berbuat jail dengan mengoleskan belsem pada teman lain yang sudah tidur, setidaknya sampai dia bangun dan menyerapahi kita, atau kadang membalas di malam berikutnya. Seminggu kemudian kita mulai berkelahi, mempersoalkan ini-itu, pabelik-belik. Dan sebulan kemudian kita pulang bersama, duduk di bis berdua.


Dulu semua masih terlalu kecil sehingga harus comel kepada pembina ketika ada yang nyarekan, ketika merasa tak aman, dan terlalu banyak alasan untuk melampiaskan kekanak-kanakan kita. Tapi kita terus menjalani hari itu: dijajah kakak kelas, meminjamkan uang walau tak jelas kapan kembalinya (atau kadang tidak kembali sama sekali), mengeluh dengan menu sarapan (hari gini makan cuanki?), dan semua yang entah dimana ujungnya. Tapi dari sanalah hidup kita yang sebenarnya dimulai, dari sanalah segala perubahan terjadi. Sedikit demi sedikit kita tak lagi mempermasalahkan piring yang tak dikembalikan kakak kelas yang terkadang kita temukan di pojok, di tong sampah dan di sembarang tempat lain. Atau gayung yang hilang dan tiba-tiba sudah hancur di atap WC kontes, sendal baru yang raib tanpa jejak di bawah kasur, dan hal lain yang kemudian kitalah yang melakukannya.


Sekarang kita sudah dewasa, tak lagi cengeng seperti ketika ditinggal orang tua dulu. Sekarang kita lebih senang mandiri dan membawa wajah ceria ketika sampai di pondok. Kita ceria dengan berebut sebungkus tahu sumedang, seplastik kacang rebus atau makanan lainnya yang jauh berbeda dengan cemilan di rumah. Kita senang dengan menjalani kehidupan ini: kelaparan di malam hari, meminjam uang teman karena bekal bulanan telah habis, dimarahi guru dengan tidur di kelas karena malamya main ping pong sampai larut, dan banyak hal lainnya.



Sampai pada suatu senja yang begitu suram...


Kemarin kehidupan sampai pada sudut 360 derajat dari rotasinya. Kita menitikkan air mata dan berteriak kembali, karena semua telah berakhir. Selama tiga tahun ini. Kita meratap dan tersedu-sedu seperti dulu, bahkan lebih keras. Tapi semua karena kita sudah bukan anak mama papa yang manja dan cengeng lagi, dan kita harus menangis, benar-benar menangis.


Setelah sama-sama membuat tanda tanya besar di lembar jawab ujian Ilmu Nawu, ku bertanya padamu.

”Maneh kaluar teu?”

”Heeuh, urang kaluar.”


Lalu ku menangis, kau juga.

”Hampura heeuh, urang sok jail ka meneh, urang sok nyarekan maneh, sok nyarekan bapa maneh, sok nyieun nyeri hate maneh...”

”Heeuh, urang oge, hampura nya, tong poho ka urang... urang masih teu rido maneh kaluar, hiks, hiks...”


Kita berpelukan satu sama lain, membludakkan kesedihan dan penyesalan dalam tangis dan teriak.


Kemudian semua keluar kelas bersama dengan sisa air mata yang membuat wajah pucat, bahkan sebagian masih menangis.


Dalam detik-detik terakhir, kita nga-HIT bersama di pinggir asrama HIT Menyoraki orang yang lewat, menyalami guru-guru, foto-foto, dan tertawa bersama. Mungkin karena kita sudah menjalani semuanya, dan yang lain belum.


Lalu semua kenangan ini memuncak dengan The Next Study Practice yang hebat. Menggigil di puncak, ngadugem di dalam bis, pacarekan-carekan, nonton bareng, observasi di TMII (walau mungkin kita sudah menggantinya dengan waktu caper abiz), dan menghabiskan perjalanan yang menyenangkan, sehari penuh. Seragam SMART Dua Genep yang keren, PIN dan ID card, dan semua yang telah kita buat.


Sampai ketika malam sudah begitu menyelimuti perjalanan pulang,

”Urang tiheula heueuh,”

”Naha, maneh moal ka Garut heula?”

”Moal siganamah.”

”Ah, atuh bal, malam terakhir di DA.”

”Sorry...”

”Bal, jangan lupa,tanggal 26 ke DA, ya!”

“Heueuh.”


Sekarang sebagian telah keluar, bebas dari penjara suci–begitulah orang-orang bilang–. Bebas dari keluhan-keluhan tentang jadwal belajar yang memaksa untuk membuka selimut jam setengah lima, karena kita sudah harus belajar dan memulai hari ini, beberapa jam lebih cepat dari anak SMP lain. Merelakan waktu main Persib untuk pelajaran Bahasa Indonesia, dan waktu santai malam untuk menggeluti buku-buku yang sering kali membuat kita berteriak, “Euh, jangar euy...!!!”


Tapi percayalah, bagaimanapun kehidupan baru nanti, suatu saat, di hari seperti ini, kita akan sama-sama kangen pada semua cerita ini. Kita ingin kurawa lagi, ingin babaledogan di kelas lagi, ingin main bola di lapang basket lagi, ingin pacarekan-carekan lagi, ingin ngadugem di asrama untuk melepas ke-jangar-an lagi, ingin bertemu dan ingin hidup bersama lagi. Dan percayalah, “This story hasn`t finished yet, and never!”


Banyak hal yang sudah kita lakukan, dan terlalu panjang untuk mengisi tulisan ini. Huh, biarlah, semua menjadi kenangan kita bersama, sangat indah. Hanya kita yang merasakan, hanya kita yang tahu. Karena ini buknlah kata, yang dapat mengalir dalam bahasa. Ingat, hanya kita yang tahu.


”Kawan, lihatlah, kau menangis, menangisiku ketika ku hendak pergi. Kau memelukku, mengatakan sesal dan harap yang belum pernah ku dengar langsung dari ucapmu. Selama ini. Biarlah, kali ini senja memisahkan kita. Simpan tangismu kawan, sekarang tersenyumlah, karena kita sama-sama berharap, kita menunggu senja lain yang masih menyediakan ruang untuk kita. Suatu hari nanti, bersama seperti ini lagi. Simpan semua kenangan ini kawan, jika besok atau lusa kau kangen padaku, pandangi ia, aku hadir disana. Kawan, yakinlah, kita masih punya hari seperti ini. Ini belum berakhir, dan tak akan pernah”.

0 komentar: