Senin, 02 Juli 2007

Mengapa Harus Bodoh dan Malas?

Lulus, tidak, mengulang, melanjutkan, senang, kecewa, beribu tanya dan harap tersebut senantiasa hadir dan membayangi setiap orang sebelum tidur, makan, dan ketika menonton telvisi. Sampai secarik kertas putih membawa kabar kelulusan, atau terpampang pengumuman nilai ujian di halaman kantor TU.


Bahasa Indonesia : 08.00

Bahasa Inggris : 07.00

Matematika : 04.00


Tiba-tiba terdengar tangisan seorang, dua orang, empat orang, sampai hampir dua puluh orang ketika melihat salah satu nilainya yang tidak memenuhi standar 04.51. Sebagian yang bernasib sama hanya diam, bingung harus berbuat apa. Sebagian pasrah dan menunggu segala kemungkinan mendatang.


Beberapa hari kemudian muncul sorak-sorai di jalanan, meluapkan kecewa dan sedih, tanda penentangan untuk sistem UAN yang dirasa tidak adil. Menuntut hak ujian ulang, perubahan sistem, penilai, penurunan ketua Mendiknas, dan setumpuk masalah lain yang dianggap merugikan.


Dengan begitu mengejutkan, sedikit-sedikit merebak klaim sebagai balasan, bahwa siswa yang tidak lulus ujian adalah siswa yang malas dan bodoh. Sangat singkat, jelas, tapi juga menantang, karena serentak berhamburan aksi bakar ban bekas, tanda amarah yang kian besar.


Kenapa si A bisa lulus sementara si B tidak? Pertanyaan sangat mendasar dan sebagian menganggapnya kekanak-kanakan, karena dengan mudah dapat dijawab, si A rajin dan pintar, sementara si B tidak. Jawaban yang cukup logis, tapi di sisi lain perlu dipertanyakan kandungan keadilan dan keobjektifannya.


Jawaban tersebut lebih mengacu pada konsep sentrifugal ( aksi raksi ). Awalnya terlihat begitu logis dan idealis, tapi ketika dihadapkan pada realita UAN, seketika kandungannya menjadi begitu kejam dan menindas. Bagi sebagian orang yang berpotensi di ketiga bidang UAN, ujian bukanlah momentum yang begitu menakutkan, karena sehari-hari sudah terbiasa bermain dengan trigonometri, logaritma, passive voice, atau citra dan citraan. Keberuntungan sedang berpihak padanya. Tapi sebalikknya, bagi yang berpotensi di bidang lain, ini merupakan monster paling menakukan. Ketika setiap hari bergelut dengan Hukum Archimedes, mengulik lagu-lagu, atau berbagai kamus bahasa asing, tiba-tiba harus mampu mengerjakan soal-soal `aneh` yang bukan menjadi potensinya. Lantas, jika fakta dibalikkan, logiskah para musisi, politikus atau presiden sekalipun dapat lulus dalam ujian matematika? Apakah ini benar-benar aksi reaksi, atau hanya keberuntungan semata? Masihkah berlaku jawaban si A rajin dan pintar sementara si B tidak? Masihkah dapat dikatakan siswa yang tidak lulus hanyalah siswa yang malas dan bodoh?


Atau mungkin kata bodoh tersebut mengalami peyorasi. Mungkinkah seorang fisikawan, musisi masa depan, calon duta besar, juga calon atlet menerima cap sebagai orang bodoh? Jika kembali pada kamus besar bahasa Indonesi karangan W. J. S. Poerwadarminta, bodoh adalah tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau dapat (mengerjakan dsb). Lantas, apa dasar penyebutan orang-orang bodoh kepada para calon penerus bangsa? Atau mungkin para politikus, menteri, musisi, atlet yang sekarang dipuja-puja adalah orang-orang bodoh jika mereka tidak dapat mengerjakan soal Matematika, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris? Jika tidak, lalu apa maksud kata bodoh tersebut? Tidakkah terlalu sempit?


Juga untuk kata malas. Pantaskah anak yang rajin berlatih sepak bola, musik, menghitung rumus fisika dikatakan malas hanya karena jarang menggeluti matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Masih kembali pada W. J. S. Poerwadaminta, kata malas mengandung arti tidak mau bekerja (berbuat sesuatu). Disini terdapat pengertian kompleks, lantas, apakah sekarang kata malas pengalami pengkhususan hanya untuk orang yang tidak menggeluti Matematika Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris?


Sekali lagi, masihkah siswa yang tidak lulus ujian dikatakan malas dan bodoh?

0 komentar: