–Onething I want to say before telling this experience, I know that the life stores fairness in the unawareness of ours. And I feel it, very nice. For everyone, believe, this life is valuable.
Then, at midnight, I and two my friends, Aan and Fai, were woken up by the handphone sound. Andy called us and told that the bus would go soon. We were very surprised. Quickly I ran and saw nobody around us. They have been outside.
Huh, the bus was still parked in front of the hotel, we felt calm. When we found the seat at the bus, Andy shouted, “Pidato, tapi tarelat!”.
The bus started going, penetrating the darkness of night. We slept.
I don’t know how long I slept, but the microphone voice told us that we were at Soekarno-Hatta airport. We looked around, yeah, it’s really there.
At the airport, we were disappointed by the delayed departure. So we had to wait the plane up to 09.50 AM! Fuiih…!
Before flight at Soekarno-Hatta Airport
The plane came, immediately everyone searched the seat. I got the A one, beside the window, yuhuuuu…! All West Java participants were at their seats for just a minute, and we would go soon. We would penetrate the cloud, step the sky.
Really, it was my first take off! My chest narrowed.
Stepping the sky
For 1 hour 50 minutes on the sky, the plan landed at Balikpapan airport and we would go to Samarinda after having lunch. Perhaps just for 1 our in Balikpapan, I don’t know exactly, and we continued the 3 hours journey to Samarinda. The innovative Hallo-hallo Bandung song, our yel-yel, accompanied us with its atmosphere of fun. Everybody sing, Hallo, halo-halo, halo Bandung, halo Bandung, Ibukota Periangan, Periangan. Hallo, halo-halo, halo Bandung, kota kenang-kenangan, perjuangan. Sudah, sudah lama Beta, tidak berjumpa dengan kau, Bandung. Sekarang sudah menjadi lautan api, mari Bung rebut kembali, Hallo, halo-halo…!
It was really at Samarinda. I stepped my foot at ATLIT hotel and searched my bag in the baggage. I searched it, searched it, and searched it. No there, my bag was lost! I ask my friends, Aan, Fei, Yayat, the West Java participants, and the trainners, they didn’t aware where my bag was. It was really lost! Yeah, probably I would live in this city accompanied by so many lackness. My clothes, my shoes, my west java uniform. I’d lend all, An.
We might have dinner, everybody took it in the hotel. But I didn’t care, I just wanted to perform prayer and pray hopefully I could get my bag. Finding the Musholla, I dissolved myself at quiet. Ya Allah, ya Allah, ya Allah ya karim.
The sun was rising when I woke up then. “Bal, sholat dulu, udah gitu kita langsung ke kamar Pak Tata. Masalah tasmu”. Aan said.
“Oh, tasnya ketemu?”
“Ga tau sih, tapi semoga aja”.
I attended the 02 room, and Pak Tata called me spontaneously, “Bal, sini!”
“Ya Pak.”
“Tas kamu udah ketemu!”
“Wah??!”
“Kemaren kebawa sama Pak Kani di asrama Haji waktu di Balik Papan. Sekarang giliran tasnya Pak Kani yang ilang. Coba kamu tanyain ke temen-teman, bisi aja tasnya kebawa sama mereka”.
Alhamdulillah, I was really happy when the bag was in the West Java official car. I could take it, I got my life, ha…
Several days there, I prepare hard for the competition. 1 day, 2 days, and up to the time by which I been there, prepare myself, for the struggle. Yeah, it was my time to struggle.
Saturday, November 03, 2007. I think I had already provided all. It was my time, it was my time, bismillah.
The West Java official was arriving when I went to the competition place. They gave me some advices and prays. Then I sat at the participant seat while they were at the spector place. Waiting for me, for my struggle.
In the participant seat, someone –I forget his name– whispered me several words, I felt I dissolved there, I was really encouraged. Finally, my turn came. With the prays, advices, and motivations, I went forward, set the microphone, looked at people in front. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh! I began my speech.
It was really speech I have ever done. My blood rumbled, my voice roared.
The struggle on the national stage
Fuih, it was done. I went down from the stage and welcomed by the smile of West Java official. I felt a big satisfaction. Really!
Along with my trainner, West Java officials, and friends
Before going home, we went to several places such as Mahakam river and Kutai Kingdom. Playing Bom-bom cars, and crossing the river.
10 days at Borneo Island, then, November 08, we had to go home. We would be separated. I was sad, but I was happy. Finally, the story of POSPENAS IV ended.
Arrival at Soekarno-Hatta Airport
Sabtu, 01 Desember 2007
Jumat, 19 Oktober 2007
Salam Untuk Penjara “Suci”
—Kita sudah melewati hal-hal itu bersama, sangat menyenangkan. Rasanya seperti baru kemarin. Walau hanya sebentar, tapi ku tak ingin kehilangan tawa dan panik itu
Bagaimana kabar kalian di sana? Masihkah mengeluh-eluh tentang dapur yang membuat pondok kita menjadi pabrik tahu? Atau masih menggelepar di asrama meneruskan mimpi yang tak berujung? Ya, sebelumnya aku turut prihatin karena sekarang kalian sudah harus memulai hari-hari itu: bangun begitu pagi dengan suara khas Pak Ato dan pangebuk kayunya, mengantri untuk makan dan mandi, kena semprot kepala sekolah untuk keterlambatan, dan banyak hal lain. Untuk memulai rutinitas yang kerap kali kita kutuki habis-habisan.
Beberapa minggu ke depan mungkin aku tak kan bisa berkumpul untuk menjalani hal yang sama; aku masih harus berjuang di tempat lain. Tak usah kujelaskan, kalian sudah tahu hal itu. Aku hanya minta didoakan agar lancar dan syukur-syukur sukses.
Beberapa minggu, tak begitu lama; kita sudah menginjak di kehidupan ini selama hampir 5 tahun, sejak dulu berkenalan dalam seminggu ta’aruf. Beberapa minggu hanya fragmen kecil yang biasa kita lalui. Ya, kita tak kan melewati tawa dan kesal itu bersama lagi, setidaknya kau dan aku. Kita tak kan mengonsep acara bersama, panik bersama, ngantri bersama, berbagi cerita selepas sholat, ngaji bareng, dan banyak hal lainnya. Setidaknya untuk beberapa minggu ini, antara kau dan aku. Tapi karena beberaapa minggu itulah kita bisa seperti ini. Karena beberapa minggu yang telah kita lalui sebelumnya, karena beberapa minggu yang telah membuat kita tertawa, karena beberapa minggu yang telah membuat kita panik, kesal, bosan, kita bisa melantunkan lagu persahabatan ini. Dan karena hanya beberapa minggu, ku tak ingin melewatkannya.
Untuk itu ku tulis surat ini pada kalian, di malam yang sepi, di saat mungkin kalian sedang berkemas dan mempersiapkan apa yang akan dibawa untuk kembali ke rumah kita, pulang dari mudik panjang ini ke penjara “suci”.
Aku hanya tak ingin melewati beberapa minggu ini tanpa kalian, untuk itu kutitipkan salam ini, semoga kalian membacanya.
Untuk Ketum, kibarkan terus semangat perjuangan kita, semoga apa yang telah kita kerjakan berada pada jalur-jalur jihad. Amin, ku harap.
Sekum, tak banyak kata yang ingin ku tulis; mungkin kau hanya punya sedikit waktu untuk membacanya. Aku tak ingin mengganggu kesibukanmu, ha..ha..jk. Untuk kebangkitan IRM dalam mewujudkan remaja yang berakhlak, aku percaya semangat itu ada padamu.
Bedum, jangan sungkan-sungkan minta uang, melihatmu saja mereka sudah segan untuk berkata tidak. (Jangan langsung negatif thinking dan menuduhku macam-macam!)
Kabid SDI, uruskeun SDI sing baleg, tong mikiran … wae!ha..ha.. terserah mu berkata apa.
Kabid ASKO, maju Ma’rakat!
Kalem LPDS, tuluykeun ngagiring, mun perlu ka imah Pembina oge!he..
Kalem LPKWU, bisnisna hade euy!
Sekbid KPSDM, Iqbal Abdul Qadir, ku serahkan sepenuhnya semua amanah ini padamu. Kini kau yang memegang KPSDM, semua bergantung padamu. Jalankan rutinitas hebat kita: Move Down, (buat santri Tsanawiyah hafal mars IRM, selebihnya terserah, kebijakan ada padamu). Jalan program kerja kita: PENA, Mind Gladiator, I’m, dan CoP. Buat agar semua orang mengenalnya, tak hanya tayangan-tayangan sampah televisi. Buat perubahan, kau bisa!
Sekretaris I’m, Haydar, seperti halnya KPSDM, semua ku titipkan padamu. Kumpulkan tulisan anggota sebelum tanggal 27, karena kemungkinan aku ke sana untuk beberapa hari pada tanggal itu, walau kemudian akan pergi lagi. Jika kau ingin mengumpulkan kandidat I’m dan mengadakan acara, terserah. Sekarang kau ketuanya, untuk beberapa minggu ini.
Ketua Mind Gladiator, Fikri Fauzi Toha, kali ini turunkan sedikit fokusmu pada Fiorentina, karena kita sedang menghadapi hal serius. Buat Mind Gladiator sekreatif mungkin, atau kau bisa mengubah formatnya.
Ketua PENA, Rois, mulai perjuangan itu dari sekarang. Tak usah bingung, keluarkan apa yang kebijaksanaanmu rasa bagus. Mungkin aku akan memenuji janji dulu untuk mengisi PENA tanggal 27an. Tapi waktu itu tiba, ku ingin mendengar cerita kumpul pertamamu dulu.
Ketua CoP, Iqbal A.Q., mungkin kesibukanmu akan meningkat. Tapi bagaimanapun, gunakan apa yang akan membawamu pada kehidupan yang lebih baik, kalau menurutmu sia-sia, tinggalkan saja.
Untuk teman-teman KPSDM: Fikri Fauzi, Rois, Iqbal A.Q., Kiki, Irvan Faturrahman, Robby, Haydar, Mustafa Reza, Dimas, Fikri, dan Nizar, aku bangga bekerja sama dengan kalian. Untuk sementara waktu kalian mempunyai ketua baru.
Pasukan KPSDM, Sekbid kemana nih?
Untuk semua personil IRM, teruskan semangat juang kita! Kita baru beberapa langkah!
Kerja keras kita nih!
Untuk teman-teman DKM: Amalul, Irvan, Septiandri, Jatnika, Fazwa, MIU, dan Bizar, banyak amal menanti kita.
Untuk teman-teman belajar malam: Opik, Fikri Fauzi, Septiandri, Irvan, Kemal, dan Shomad, aku sedang berusaha menyusun waktu agar kita bisa belajar bersama lagi seperti kemarin-kemarin.
Untuk teman-teman Komunitas Sejarah: Rendy, ljoel, Azzam, Galih, Kemal, ini belum selesai!
Untuk teman-teman I’m yang tak bisa kusebutkan semuanya, tunggu saja, beberapa minggu lagi Insya 4JJI kalian tahu siapa kandidat yang terpilih. Kalaupun tak terpilih, di DA tak hanya ada I’m saja.
Untuk teman-teman 26 yang belum tersebutkan: Rhevi, Rizki TM, Wildan (Baksos di Pameungpeuk teh kalah urang nu waregna), EQ, Gin Gin, Adit, Ardhi, Ari, Esa, Fajrin, Frisal, Galih, Galura, Hadi, Hamdi, Iman, Irwan, Jefri, Rifqi, dan Sandi, nanti kita teruskan canda dan tawa itu.
Untuk semua penghuni DA, selamat memulai rutinitas itu lagi di penjara “suci” kita, entahlah.
Buka di ruang makan Aliyah, "ngadoa heula euy, bisi ketum dicarekan ku Kepala sekolah deui!"
Bagaimana kabar kalian di sana? Masihkah mengeluh-eluh tentang dapur yang membuat pondok kita menjadi pabrik tahu? Atau masih menggelepar di asrama meneruskan mimpi yang tak berujung? Ya, sebelumnya aku turut prihatin karena sekarang kalian sudah harus memulai hari-hari itu: bangun begitu pagi dengan suara khas Pak Ato dan pangebuk kayunya, mengantri untuk makan dan mandi, kena semprot kepala sekolah untuk keterlambatan, dan banyak hal lain. Untuk memulai rutinitas yang kerap kali kita kutuki habis-habisan.
Beberapa minggu ke depan mungkin aku tak kan bisa berkumpul untuk menjalani hal yang sama; aku masih harus berjuang di tempat lain. Tak usah kujelaskan, kalian sudah tahu hal itu. Aku hanya minta didoakan agar lancar dan syukur-syukur sukses.
Beberapa minggu, tak begitu lama; kita sudah menginjak di kehidupan ini selama hampir 5 tahun, sejak dulu berkenalan dalam seminggu ta’aruf. Beberapa minggu hanya fragmen kecil yang biasa kita lalui. Ya, kita tak kan melewati tawa dan kesal itu bersama lagi, setidaknya kau dan aku. Kita tak kan mengonsep acara bersama, panik bersama, ngantri bersama, berbagi cerita selepas sholat, ngaji bareng, dan banyak hal lainnya. Setidaknya untuk beberapa minggu ini, antara kau dan aku. Tapi karena beberaapa minggu itulah kita bisa seperti ini. Karena beberapa minggu yang telah kita lalui sebelumnya, karena beberapa minggu yang telah membuat kita tertawa, karena beberapa minggu yang telah membuat kita panik, kesal, bosan, kita bisa melantunkan lagu persahabatan ini. Dan karena hanya beberapa minggu, ku tak ingin melewatkannya.
Untuk itu ku tulis surat ini pada kalian, di malam yang sepi, di saat mungkin kalian sedang berkemas dan mempersiapkan apa yang akan dibawa untuk kembali ke rumah kita, pulang dari mudik panjang ini ke penjara “suci”.
Aku hanya tak ingin melewati beberapa minggu ini tanpa kalian, untuk itu kutitipkan salam ini, semoga kalian membacanya.
Untuk Ketum, kibarkan terus semangat perjuangan kita, semoga apa yang telah kita kerjakan berada pada jalur-jalur jihad. Amin, ku harap.
Sekum, tak banyak kata yang ingin ku tulis; mungkin kau hanya punya sedikit waktu untuk membacanya. Aku tak ingin mengganggu kesibukanmu, ha..ha..jk. Untuk kebangkitan IRM dalam mewujudkan remaja yang berakhlak, aku percaya semangat itu ada padamu.
Bedum, jangan sungkan-sungkan minta uang, melihatmu saja mereka sudah segan untuk berkata tidak. (Jangan langsung negatif thinking dan menuduhku macam-macam!)
Kabid SDI, uruskeun SDI sing baleg, tong mikiran … wae!ha..ha.. terserah mu berkata apa.
Kabid ASKO, maju Ma’rakat!
Kalem LPDS, tuluykeun ngagiring, mun perlu ka imah Pembina oge!he..
Kalem LPKWU, bisnisna hade euy!
Sekbid KPSDM, Iqbal Abdul Qadir, ku serahkan sepenuhnya semua amanah ini padamu. Kini kau yang memegang KPSDM, semua bergantung padamu. Jalankan rutinitas hebat kita: Move Down, (buat santri Tsanawiyah hafal mars IRM, selebihnya terserah, kebijakan ada padamu). Jalan program kerja kita: PENA, Mind Gladiator, I’m, dan CoP. Buat agar semua orang mengenalnya, tak hanya tayangan-tayangan sampah televisi. Buat perubahan, kau bisa!
Sekretaris I’m, Haydar, seperti halnya KPSDM, semua ku titipkan padamu. Kumpulkan tulisan anggota sebelum tanggal 27, karena kemungkinan aku ke sana untuk beberapa hari pada tanggal itu, walau kemudian akan pergi lagi. Jika kau ingin mengumpulkan kandidat I’m dan mengadakan acara, terserah. Sekarang kau ketuanya, untuk beberapa minggu ini.
Ketua Mind Gladiator, Fikri Fauzi Toha, kali ini turunkan sedikit fokusmu pada Fiorentina, karena kita sedang menghadapi hal serius. Buat Mind Gladiator sekreatif mungkin, atau kau bisa mengubah formatnya.
Ketua PENA, Rois, mulai perjuangan itu dari sekarang. Tak usah bingung, keluarkan apa yang kebijaksanaanmu rasa bagus. Mungkin aku akan memenuji janji dulu untuk mengisi PENA tanggal 27an. Tapi waktu itu tiba, ku ingin mendengar cerita kumpul pertamamu dulu.
Ketua CoP, Iqbal A.Q., mungkin kesibukanmu akan meningkat. Tapi bagaimanapun, gunakan apa yang akan membawamu pada kehidupan yang lebih baik, kalau menurutmu sia-sia, tinggalkan saja.
Untuk teman-teman KPSDM: Fikri Fauzi, Rois, Iqbal A.Q., Kiki, Irvan Faturrahman, Robby, Haydar, Mustafa Reza, Dimas, Fikri, dan Nizar, aku bangga bekerja sama dengan kalian. Untuk sementara waktu kalian mempunyai ketua baru.
Pasukan KPSDM, Sekbid kemana nih?
Untuk semua personil IRM, teruskan semangat juang kita! Kita baru beberapa langkah!
Kerja keras kita nih!
Untuk teman-teman DKM: Amalul, Irvan, Septiandri, Jatnika, Fazwa, MIU, dan Bizar, banyak amal menanti kita.
Untuk teman-teman belajar malam: Opik, Fikri Fauzi, Septiandri, Irvan, Kemal, dan Shomad, aku sedang berusaha menyusun waktu agar kita bisa belajar bersama lagi seperti kemarin-kemarin.
Untuk teman-teman Komunitas Sejarah: Rendy, ljoel, Azzam, Galih, Kemal, ini belum selesai!
Untuk teman-teman I’m yang tak bisa kusebutkan semuanya, tunggu saja, beberapa minggu lagi Insya 4JJI kalian tahu siapa kandidat yang terpilih. Kalaupun tak terpilih, di DA tak hanya ada I’m saja.
Untuk teman-teman 26 yang belum tersebutkan: Rhevi, Rizki TM, Wildan (Baksos di Pameungpeuk teh kalah urang nu waregna), EQ, Gin Gin, Adit, Ardhi, Ari, Esa, Fajrin, Frisal, Galih, Galura, Hadi, Hamdi, Iman, Irwan, Jefri, Rifqi, dan Sandi, nanti kita teruskan canda dan tawa itu.
Untuk semua penghuni DA, selamat memulai rutinitas itu lagi di penjara “suci” kita, entahlah.
Buka di ruang makan Aliyah, "ngadoa heula euy, bisi ketum dicarekan ku Kepala sekolah deui!"
Kamis, 04 Oktober 2007
Istana Pasir Kita
Ke mana kau pergi
istana pasir kita belum selesai
sejak lama.
Tentang angan itu,
kita bahkan belum mulai
mengukir dinding-dinding, benteng,
tiang yang kuat
dan membenamkan ritme hidup
dalam setiap titiknya.
Kini hari sudah senja
dan air akan pasang
sebentar lagi.
Tapi ku tahu
dari pesan yang kaun kirim
lewat sayup angin dan
gemersik dedaunan
bahwa kau memanggilku
dari kicau burung merpati
bahwa kau menangis...
für jemand,
die hat mir so viel
gegeben.
Ich dich vermissen.
istana pasir kita belum selesai
sejak lama.
Tentang angan itu,
kita bahkan belum mulai
mengukir dinding-dinding, benteng,
tiang yang kuat
dan membenamkan ritme hidup
dalam setiap titiknya.
Kini hari sudah senja
dan air akan pasang
sebentar lagi.
Tapi ku tahu
dari pesan yang kaun kirim
lewat sayup angin dan
gemersik dedaunan
bahwa kau memanggilku
dari kicau burung merpati
bahwa kau menangis...
für jemand,
die hat mir so viel
gegeben.
Ich dich vermissen.
DI BALIK SEBUAH TANDA
–Tinjauan filosofis dan sosial tentang karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Denmark
Tadinya tulisan ini akan dibereskan tahun kemarin, saat karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten Denmark meledak bagai nuklir yang menggempur seluruh dunia dan meresahkan banyak orang. Akan tetapi karena tidak ditemukannya data histories yang mendukung teori filosofisnya, maka tulisan ini saya biarkan menggelepar dalam rentetan file-file. Tapi entah, sekarang saya begitu terdorong untuk menyelesaikannya, walaupun pemburuan data historisnya tak kunjung usai. Biarlah.
Di tulisan ini saya menekankan pada diskursus Nabi-isme yang pernah menjadi apologi karikatur tersebut, walaupun pada akhirnya disertakan juga tinjauan sosial agar lebih realistis. Semoga bermanfaat.
1.Diskursus Nabi-isme
–Tinjauan filosofis
Diskursus Nabi-isme menjadi polemik tersendiri di era modern ini. Walaupun tidak mendapat tempat yang krusial dalam masyarakat, setidaknya model yang satu ini dapat menjadi apologi bagi karikatur Nabi Muhammad di Koran Jillad Posten, Denmark, yang berimbas pada konflik keagamaan dan sosial.
Secara teoritis, diskursus ini menekankan pada epistimologi seniman dalam penciptaan sebuah karya seni yang berlandaskan pada metode wahyu. Di sini imajinasi sang seniman marupakan sesuatu yang transenden karena datang langsung dari logos dalam bentuk wahyu dan bukan manifestasi dari yang lainnya. Dengan begini, maka karya seni yang dihasilkannya menjadi tabu dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Akan tetapi pendekatan terhadap diskursus ini sayangnya hanya dilirik dari sisi teori idealisnya saja, yang lahir di Perancis pada tahun 1825, saat pendewaan terhadap imajinasi menjapai masa pencerahannya. Padahal dilihajt dari lensa historis, di sini terdapat anakronisme seiring dengan munculnya diskursus lain yang semakin mengkikis model epistimologi modernisme, yaitu posmodernisme.
Sejak tahun 1950-an, paradigma umum seakan digoncangkan dengan munculnya satu diskursus baru (dalam dunia seni khususnya) yang sampai saat inipun definisi dan eksistensinya masih dalam perdeba tan, yaitu diskursus posmodernisme. Meskipun masih diperbincangkan apakah posmodernisme ini merupakan kelanjutan dari, revolusi dari, atau keruntuhan dari modernisme, tapi ditinjau dari pengalaman empirisnya bahwa orang-orang kian meninggalkan rasionalitas modernisme menuju (apa yang disebut Baudrillard dengan) ekstasi, maka (dari sudut pandang saya pribadi) kian jelaslah bahwa posmodernisme merupakan entitas baru yang menggerogoti modernisme melalui kapitalisme dengan segala macam persenjataannya. Konsumerisme misalnya, yang menggiring orang-orang untuk mabuk dalam gaya hidup Barat.
Dengan demikian, maka (ditinjau secara filosofis) diskursus Nabi-isme sudah begitu usang dalam menghadapi realitas zaman ini. Apa yang disebut form follows meaning dalam dunia seni sudah jauh-jauh hari terkubur di perut bumi. Bahkan rasionalitaspun sudah terkikis banyak oleh ideology kapitalis, form follows fun, sehingga Nabi-isme sebagai ideologi bagi karikatur Nabi Muhammad adalah benar-benar utopis.
Kembali pada pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Nabi-isme nampaknya terlalu naïf jika dika takan sebagai kampong halaman yang dari situ karikatur Nabi Muhammad lahir. Ada hal-hal lain yang nampaknya turun tangan juga dalam terbentuknya karikatur ini. Bahkan mungkin Nabi-isme hanya merupakan apologi saja, sedang motif lain yang mendalangi terciptanya karikatur ini terhalangi (walaupun tak begitu rapi) oleh jargon yang bernama Nabi-isme.
2.Tanda Ekstrim (Superlative Sign)
Terlepas dari motif yang melandasi lahirnya karikatur ini, terdapat hal yang perlu ditinjau ulang pada karikatur tersebut. Di sini saya menemukan satu hal yang menjadi objek kajian, yaitu terdapat superlative (saya tidak menyebutnya disfemisme) yang benar-benar sadis dalam penggambarannya yang berasal dari paradigma subjektif pembuat terhadap objeknya.
Dalam semiotika, terdapat istilah tanda ekstrim (superlative sign) sebagai satu konsep tanda. Konsep tanda ini digunakan untuk melebih-lebihkan objek sampai batas terjauh. Dalam karikatur tersebut konsep superlatif ini digunakan untuk mendiskreditkan objeknya sekeras mungkin. Jadi karikatur Nabi Muhammad ini pada dasarnya bukanlah referensi akan fakta yang menjadi objek referensinya, akan tetapi tak lebih sebagai manifestasi subjektif pembuatnya dengan tujuan mendiskreditkan fakta.
3.Konflik Antar Agama
–Tinjauan sosial
Selain merupakan discredit terhadap objek referensinya, karikatur ini juga membawa akibat yang ambivalen terhadap kondisi sosial, baik itu untuk kalangan umat Islam dan umat selainnya. Bagi umat Islam, hal ini berpotensi besar menimbulkan kebencian terhadap agama lain, sehinga dapat membuka lebar pintu sejarah akan konflik-konflik sebelumnya yang pernah melanda umat Islam untuk diungkit kembali. Dengan begini, umat lain cenderung dipandang sebagai entitas jahat yang harus diperangi.
Sementara untuk umat selain Islam, di tengah isu dunia internasional yang tak henti memojokkan umat Islam dengan dalih terrorismenya, maka kehadiran karikatur ini akan mengantarkan paradigma mereka pada titik klimaks kebenciannya. Imbasnya, di mana-mana terdengar slogan dan hal-hal lain sebagai diskredit terhadap Islam. Di internet misalnya, Jihad adalah kata yang dilarang (restricted word) untuk deskr ipsi site di .co.nr. ketika chatting kemarin, saya dikagetkan dengan orang –yang mengaku official AllNet Cafe– bahwa umat muslim bukanlah manusia, tetapi babi. Dalam keadaan inilah, konflik antar agama berdiri tegak jauh ke langit, sementara akarnya besar menghujam bumi.
Dengan demikian, baik dalam tinjauan filosofis dan sosial, pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten adalah salah. Secara filosofis, diskursus Nabi-isme tidaklah cukup untuk membungkus karikatur superlatif ini, sedang dari tinjauan sosial, karikatur ini membawa konflik berkepanjangan antar umat beragama semakin paten.
Tadinya tulisan ini akan dibereskan tahun kemarin, saat karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten Denmark meledak bagai nuklir yang menggempur seluruh dunia dan meresahkan banyak orang. Akan tetapi karena tidak ditemukannya data histories yang mendukung teori filosofisnya, maka tulisan ini saya biarkan menggelepar dalam rentetan file-file. Tapi entah, sekarang saya begitu terdorong untuk menyelesaikannya, walaupun pemburuan data historisnya tak kunjung usai. Biarlah.
Di tulisan ini saya menekankan pada diskursus Nabi-isme yang pernah menjadi apologi karikatur tersebut, walaupun pada akhirnya disertakan juga tinjauan sosial agar lebih realistis. Semoga bermanfaat.
1.Diskursus Nabi-isme
–Tinjauan filosofis
Diskursus Nabi-isme menjadi polemik tersendiri di era modern ini. Walaupun tidak mendapat tempat yang krusial dalam masyarakat, setidaknya model yang satu ini dapat menjadi apologi bagi karikatur Nabi Muhammad di Koran Jillad Posten, Denmark, yang berimbas pada konflik keagamaan dan sosial.
Secara teoritis, diskursus ini menekankan pada epistimologi seniman dalam penciptaan sebuah karya seni yang berlandaskan pada metode wahyu. Di sini imajinasi sang seniman marupakan sesuatu yang transenden karena datang langsung dari logos dalam bentuk wahyu dan bukan manifestasi dari yang lainnya. Dengan begini, maka karya seni yang dihasilkannya menjadi tabu dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Akan tetapi pendekatan terhadap diskursus ini sayangnya hanya dilirik dari sisi teori idealisnya saja, yang lahir di Perancis pada tahun 1825, saat pendewaan terhadap imajinasi menjapai masa pencerahannya. Padahal dilihajt dari lensa historis, di sini terdapat anakronisme seiring dengan munculnya diskursus lain yang semakin mengkikis model epistimologi modernisme, yaitu posmodernisme.
Sejak tahun 1950-an, paradigma umum seakan digoncangkan dengan munculnya satu diskursus baru (dalam dunia seni khususnya) yang sampai saat inipun definisi dan eksistensinya masih dalam perdeba tan, yaitu diskursus posmodernisme. Meskipun masih diperbincangkan apakah posmodernisme ini merupakan kelanjutan dari, revolusi dari, atau keruntuhan dari modernisme, tapi ditinjau dari pengalaman empirisnya bahwa orang-orang kian meninggalkan rasionalitas modernisme menuju (apa yang disebut Baudrillard dengan) ekstasi, maka (dari sudut pandang saya pribadi) kian jelaslah bahwa posmodernisme merupakan entitas baru yang menggerogoti modernisme melalui kapitalisme dengan segala macam persenjataannya. Konsumerisme misalnya, yang menggiring orang-orang untuk mabuk dalam gaya hidup Barat.
Dengan demikian, maka (ditinjau secara filosofis) diskursus Nabi-isme sudah begitu usang dalam menghadapi realitas zaman ini. Apa yang disebut form follows meaning dalam dunia seni sudah jauh-jauh hari terkubur di perut bumi. Bahkan rasionalitaspun sudah terkikis banyak oleh ideology kapitalis, form follows fun, sehingga Nabi-isme sebagai ideologi bagi karikatur Nabi Muhammad adalah benar-benar utopis.
Kembali pada pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten, Nabi-isme nampaknya terlalu naïf jika dika takan sebagai kampong halaman yang dari situ karikatur Nabi Muhammad lahir. Ada hal-hal lain yang nampaknya turun tangan juga dalam terbentuknya karikatur ini. Bahkan mungkin Nabi-isme hanya merupakan apologi saja, sedang motif lain yang mendalangi terciptanya karikatur ini terhalangi (walaupun tak begitu rapi) oleh jargon yang bernama Nabi-isme.
2.Tanda Ekstrim (Superlative Sign)
Terlepas dari motif yang melandasi lahirnya karikatur ini, terdapat hal yang perlu ditinjau ulang pada karikatur tersebut. Di sini saya menemukan satu hal yang menjadi objek kajian, yaitu terdapat superlative (saya tidak menyebutnya disfemisme) yang benar-benar sadis dalam penggambarannya yang berasal dari paradigma subjektif pembuat terhadap objeknya.
Dalam semiotika, terdapat istilah tanda ekstrim (superlative sign) sebagai satu konsep tanda. Konsep tanda ini digunakan untuk melebih-lebihkan objek sampai batas terjauh. Dalam karikatur tersebut konsep superlatif ini digunakan untuk mendiskreditkan objeknya sekeras mungkin. Jadi karikatur Nabi Muhammad ini pada dasarnya bukanlah referensi akan fakta yang menjadi objek referensinya, akan tetapi tak lebih sebagai manifestasi subjektif pembuatnya dengan tujuan mendiskreditkan fakta.
3.Konflik Antar Agama
–Tinjauan sosial
Selain merupakan discredit terhadap objek referensinya, karikatur ini juga membawa akibat yang ambivalen terhadap kondisi sosial, baik itu untuk kalangan umat Islam dan umat selainnya. Bagi umat Islam, hal ini berpotensi besar menimbulkan kebencian terhadap agama lain, sehinga dapat membuka lebar pintu sejarah akan konflik-konflik sebelumnya yang pernah melanda umat Islam untuk diungkit kembali. Dengan begini, umat lain cenderung dipandang sebagai entitas jahat yang harus diperangi.
Sementara untuk umat selain Islam, di tengah isu dunia internasional yang tak henti memojokkan umat Islam dengan dalih terrorismenya, maka kehadiran karikatur ini akan mengantarkan paradigma mereka pada titik klimaks kebenciannya. Imbasnya, di mana-mana terdengar slogan dan hal-hal lain sebagai diskredit terhadap Islam. Di internet misalnya, Jihad adalah kata yang dilarang (restricted word) untuk deskr ipsi site di .co.nr. ketika chatting kemarin, saya dikagetkan dengan orang –yang mengaku official AllNet Cafe– bahwa umat muslim bukanlah manusia, tetapi babi. Dalam keadaan inilah, konflik antar agama berdiri tegak jauh ke langit, sementara akarnya besar menghujam bumi.
Dengan demikian, baik dalam tinjauan filosofis dan sosial, pemuatan karikatur Nabi Muhammad di Koran Jilland Posten adalah salah. Secara filosofis, diskursus Nabi-isme tidaklah cukup untuk membungkus karikatur superlatif ini, sedang dari tinjauan sosial, karikatur ini membawa konflik berkepanjangan antar umat beragama semakin paten.
Surat Untuk Pondok
Pada lesat waktu
hiruk pikuk kultur
dan dinamika modernitas,
ku lihat bentuk satu entitas yang absurd
terombang ambing dalam ambiguitas
menuju titik klimaks kebiasan
dan posidealisme…
Bandung, 18 Juli 2007
Pak, ku sengaja menulis surat ini; kita jarang bertemu, berbincang-bincang, sharing, atau sekedar saling menyapa sekalipun. Ku terlalu segan kalau harus memasuki ruang kepala sekolah untuk bergabung membicarakan masalah pondok dalam rapat pimpinan. Ku juga agak malu jika harus mengganggu waktu pimpinan hanya untuk mendengar kata-kataku. Tapi ada banyak hal yang ingin ku ceritakan, Pak. Mungkin surat ini tak akan terlalu mengganggu, karena Bapak bisa membacanya kapanpun: nanti malam, besok siang, lusa, minggu depan, terserah.
Oke, kita mulai dengan hal-hal baru di pondok. Aku masih ingat ketika kelas 1, kami begitu bersemangat berlarian ke Laboratorium Matematika untuk menonton film dokumenter. Tanpa giringan pembina, beberapa detik saja kami sudah bermunculan di sana dan berebut kursi. Sekejap laboratorium Matematika penuh. Tak masalah dengan televisinya yang hanya berukuran 21 inch sementara kami berjumlah 68 orang. Yang penting nonton.
Tapi mungkin sekarang Laboratorium Matematika sudah tak begitu banyak kami ingat, kecuali tentang rumus-rumus trigonometri yang tempo lalu membingungkanku dan teman-teman di sana. Kami lebih suka nonton di multimedia yang sudah aktif kemarin-kemarin. Cukup dramatis untuk dikatakan gedung bioskop.
Juga dengan banyak bangunan lainya. Perpustakaan, Lab. Bahasa yang ku dengar akan dilengkapi komputer untuk setiap meja, dan 2 Laboratorium baru di samping kelas. Membuatku bersemangat untuk bercerita pada teman-teman di rumah bahwa sekolahku mempunyai laboratorium terlengkap se-Jawa Barat. Aku bangga.
Kini semua perubahan itu membawa atmosfer baru di pondok. Membawa kita pada satu sesi yang kita sebut modern.
Sayangnya semua tak berjalan selancar itu. Terlalu banyak penyesuaian yang harus kita lakukan, atau entah apa namanya. Tiba-tiba saja ku lihat ada birokrasi di Pondok, 4 kepala sekolah, bahkan kemarin ku dengar IRM akan dipecah menjadi 4: Tsanawiyah Putera, Tsanawiyah Puteri, Aliyah Putera, dan Aliyah Puteri; untuk mengejar akreditasi. Ku ragu, mungkin kita belum bisa beradaptasi dan mengartikan modernitas ini.
Sebut saja birokrasi di Pondok. Aku memang tak pernah mendengar langsung pengumuman dari Bapak dalam upacara bulanan atau pemberitahuan seusai sholat maghrib, kalau kepemimpinan di Pondok kita kini mengalami transisi menuju birokrasi. Guru-guru juga. Tapi semua berkata begitu, kita ada dalam pola birokrasi. Kita ada dalam seni kepemimpinan struktural birokrat, atau entah apa disebutnya. Kini kami mempunyai koordinator pembina walaupun faktanya semua hal yang berhubungan dengan poros asrama ada di bawah instruksi kepala sekolah. Kami harus menyerahkan proposal pada Kabid. Extrakurikuler untuk dikritiki ini-itu sebelum akhirnya sampai pada Pimpinan. Kami harus mengirimkan surat dan meminta perizinan 4 kepala sekolah dengan paradigma yang berbeda-beda saat akan mengadakan kegiatan.
Lantas, kami mengeluhkan tentang banyak hal. Kami mengeluhkan menu dan porsi makan, kami mengeluhkan belatung pada nasi tempo lalu, kami mengeluhkan tentang banyaknya santri yang tidak kebagian jatah makan, kami mengeluhkan lembar uneg-uneg tentang katering yang dicabut begitu saja, kami mengeluhkan jadwal kultum IRM yang dibuang dan diganti dengan jadwal atas nama pondok, kami mengeluhkan dekakensi moral yang menyerang pada hampir semua santri, kami mengeluh,kan pembagian mesjid yang menghambat regenerasi dengan alasan efektifitas tempat dan pembinaan. Tapi semua keluhan itu seakan terbang begitu saja; kita tak bisa berbicara langsung.
Pak, ku takut jika semua ini ternyata mendistorsi idealisme kita. Ku takut jika kita malah terlalu sibuk mengurusi laboratorium Biologi yang sampai sekarang belum selesai sementara kami harus bolak-balik meminta perizinan lomba dan kegiatan di luar. Ku takut kita terlalu sibuk mengurusi akreditasi sementara nilai-nilai spiritual makin bias. Ku takut kita sudah benar-benar melegitimasi birokrasi sampai trukturlah yang sekarang memimpin kita, padahal kami butuh aliran kata-kata nasihat Bapak di mesjid. Ku takut kita salah fokus. Sekarang kita berhasil mempunyai banyak kitab hadits baru, tapi kita tak bisa membacanya. Kita berhasil mempunyai internet, tapi kita tak bisa membuat e-mail. Kita berhasil punya banyak hal, tapi kita tak mengerti.
Mungkin kita harus mengkaji ulang semuanya, sebelum ini akan benar-benar akut. Kita harus mengkaji kembali pemisahan mesjid, sebelum regenerasi benar-benar hilang. Kita harus mengkaji kembali fokus kita, sebelum (ku takut) pondok ini akan berubah menjadi lembaga lain. Karena ku tak ingin kalau modernitas ini malah menghilangkan jati diri kita.
Pak, masih banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi ku lebih senang membicarakannya di mesjid usai sholat. Teman-temanku juga. Kami lebih senang jika kita bisa sharing setelah Bapak mengimami sholat berjamaah. Kami lebih senang jika kita bisa bersama.
Aku senang tinggal di pondok. Dengan banyak hal yang ku temukan dulu. Aku senang bisa bertanya dan berdiskusi dengan kakak kelas di mesjid usai sholat, ku senang bisa berdebat dengan kakak kelas dalam acara mind gladiator, juga dengan banyak hal lain. Dan ku tak ingin kalau kesenangan ini hilang. Ku ingin merasakannya lagi...
hiruk pikuk kultur
dan dinamika modernitas,
ku lihat bentuk satu entitas yang absurd
terombang ambing dalam ambiguitas
menuju titik klimaks kebiasan
dan posidealisme…
Bandung, 18 Juli 2007
Pak, ku sengaja menulis surat ini; kita jarang bertemu, berbincang-bincang, sharing, atau sekedar saling menyapa sekalipun. Ku terlalu segan kalau harus memasuki ruang kepala sekolah untuk bergabung membicarakan masalah pondok dalam rapat pimpinan. Ku juga agak malu jika harus mengganggu waktu pimpinan hanya untuk mendengar kata-kataku. Tapi ada banyak hal yang ingin ku ceritakan, Pak. Mungkin surat ini tak akan terlalu mengganggu, karena Bapak bisa membacanya kapanpun: nanti malam, besok siang, lusa, minggu depan, terserah.
Oke, kita mulai dengan hal-hal baru di pondok. Aku masih ingat ketika kelas 1, kami begitu bersemangat berlarian ke Laboratorium Matematika untuk menonton film dokumenter. Tanpa giringan pembina, beberapa detik saja kami sudah bermunculan di sana dan berebut kursi. Sekejap laboratorium Matematika penuh. Tak masalah dengan televisinya yang hanya berukuran 21 inch sementara kami berjumlah 68 orang. Yang penting nonton.
Tapi mungkin sekarang Laboratorium Matematika sudah tak begitu banyak kami ingat, kecuali tentang rumus-rumus trigonometri yang tempo lalu membingungkanku dan teman-teman di sana. Kami lebih suka nonton di multimedia yang sudah aktif kemarin-kemarin. Cukup dramatis untuk dikatakan gedung bioskop.
Juga dengan banyak bangunan lainya. Perpustakaan, Lab. Bahasa yang ku dengar akan dilengkapi komputer untuk setiap meja, dan 2 Laboratorium baru di samping kelas. Membuatku bersemangat untuk bercerita pada teman-teman di rumah bahwa sekolahku mempunyai laboratorium terlengkap se-Jawa Barat. Aku bangga.
Kini semua perubahan itu membawa atmosfer baru di pondok. Membawa kita pada satu sesi yang kita sebut modern.
Sayangnya semua tak berjalan selancar itu. Terlalu banyak penyesuaian yang harus kita lakukan, atau entah apa namanya. Tiba-tiba saja ku lihat ada birokrasi di Pondok, 4 kepala sekolah, bahkan kemarin ku dengar IRM akan dipecah menjadi 4: Tsanawiyah Putera, Tsanawiyah Puteri, Aliyah Putera, dan Aliyah Puteri; untuk mengejar akreditasi. Ku ragu, mungkin kita belum bisa beradaptasi dan mengartikan modernitas ini.
Sebut saja birokrasi di Pondok. Aku memang tak pernah mendengar langsung pengumuman dari Bapak dalam upacara bulanan atau pemberitahuan seusai sholat maghrib, kalau kepemimpinan di Pondok kita kini mengalami transisi menuju birokrasi. Guru-guru juga. Tapi semua berkata begitu, kita ada dalam pola birokrasi. Kita ada dalam seni kepemimpinan struktural birokrat, atau entah apa disebutnya. Kini kami mempunyai koordinator pembina walaupun faktanya semua hal yang berhubungan dengan poros asrama ada di bawah instruksi kepala sekolah. Kami harus menyerahkan proposal pada Kabid. Extrakurikuler untuk dikritiki ini-itu sebelum akhirnya sampai pada Pimpinan. Kami harus mengirimkan surat dan meminta perizinan 4 kepala sekolah dengan paradigma yang berbeda-beda saat akan mengadakan kegiatan.
Lantas, kami mengeluhkan tentang banyak hal. Kami mengeluhkan menu dan porsi makan, kami mengeluhkan belatung pada nasi tempo lalu, kami mengeluhkan tentang banyaknya santri yang tidak kebagian jatah makan, kami mengeluhkan lembar uneg-uneg tentang katering yang dicabut begitu saja, kami mengeluhkan jadwal kultum IRM yang dibuang dan diganti dengan jadwal atas nama pondok, kami mengeluhkan dekakensi moral yang menyerang pada hampir semua santri, kami mengeluh,kan pembagian mesjid yang menghambat regenerasi dengan alasan efektifitas tempat dan pembinaan. Tapi semua keluhan itu seakan terbang begitu saja; kita tak bisa berbicara langsung.
Pak, ku takut jika semua ini ternyata mendistorsi idealisme kita. Ku takut jika kita malah terlalu sibuk mengurusi laboratorium Biologi yang sampai sekarang belum selesai sementara kami harus bolak-balik meminta perizinan lomba dan kegiatan di luar. Ku takut kita terlalu sibuk mengurusi akreditasi sementara nilai-nilai spiritual makin bias. Ku takut kita sudah benar-benar melegitimasi birokrasi sampai trukturlah yang sekarang memimpin kita, padahal kami butuh aliran kata-kata nasihat Bapak di mesjid. Ku takut kita salah fokus. Sekarang kita berhasil mempunyai banyak kitab hadits baru, tapi kita tak bisa membacanya. Kita berhasil mempunyai internet, tapi kita tak bisa membuat e-mail. Kita berhasil punya banyak hal, tapi kita tak mengerti.
Mungkin kita harus mengkaji ulang semuanya, sebelum ini akan benar-benar akut. Kita harus mengkaji kembali pemisahan mesjid, sebelum regenerasi benar-benar hilang. Kita harus mengkaji kembali fokus kita, sebelum (ku takut) pondok ini akan berubah menjadi lembaga lain. Karena ku tak ingin kalau modernitas ini malah menghilangkan jati diri kita.
Pak, masih banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi ku lebih senang membicarakannya di mesjid usai sholat. Teman-temanku juga. Kami lebih senang jika kita bisa sharing setelah Bapak mengimami sholat berjamaah. Kami lebih senang jika kita bisa bersama.
Aku senang tinggal di pondok. Dengan banyak hal yang ku temukan dulu. Aku senang bisa bertanya dan berdiskusi dengan kakak kelas di mesjid usai sholat, ku senang bisa berdebat dengan kakak kelas dalam acara mind gladiator, juga dengan banyak hal lain. Dan ku tak ingin kalau kesenangan ini hilang. Ku ingin merasakannya lagi...
Sabtu, 11 Agustus 2007
Feminitas, Hirarki Jender, dan Peran Perempuan dalam Pluralisme dan Perdamaian
Ketika peradaban manusia masih dalam tahap pra-modernitas (pra-modernity), dikotomi peran antara laki-laki dan perempuan terbentuk berdasarkan perbedaan fungsional dari aspek fisik yang dimiliki oleh keduanya. Perempuan mempunyai alat yang menyebabkan terjadinya proses reproduksi. Mereka mengalami masa kehamilan yang cukup panjang, di mana pada masa-masa kehamilan tersebut perempuan dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang ringan. Setelah melewati masa kehamilan, kaum Hawa ini harus menyusui dalam waktu yang relatif lama pula. Semua proses reproduksi ini menyebabkan perempuan cenderung statis, sehingga pekerjaan-pekerjaan rumah sangat relevan dengan struktur fisiknya.
Sementara itu laki-laki dianugerahi fisik dengan ketahanan yang relatif tinggi. Kekuatan yang dimiliki laki-laki cenderung lebih besar daripada perempuan. Hal ini menempatkan laki-laki pada posisi yang dinamis, yaitu untuk bekerja keras dan mencari nafkah. Dari sini dikotomi jenderpun terbentuk secara implisit dan diakui secara tidak langsung bahwa perempuan memainkan peran sebagai ibu rumah tangga, dan laki-laki sebagai pencari nafkah.
Akan tetapi, dinamika peradaban melesat begitu cepat yang ditandai oleh revolusi industri di Inggris. Teknologi mulai merebak di daerah perkotaan dan mengambil alih berbagai sektor pekerjaan manusia. Pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan langsung oleh manusia kini tergantikan oleh tenaga mesin dan teknologi. Teknis pekerjaan fisikpun mengalami transformasi pada pekerjaan yang lebih mengutamakan fikiran dan tidak lagi mengambil tempat di sawah, hutan, atau pegunungan, akan tetapi lebih dominan dilakukan di perkantoran.
Seiring dengan revolusi peradaban di atas, timbul satu pemikiran bahwa sektor privat yang digeluti oleh kaum feminis sudah tidak lagi relevan untuk kondisi zaman sekarang. Kini pekerjaan rumah tangga telah banyak tergantikan oleh teknologi. Wanita sudah tak lagi harus menghabiskan banyak waktu untuk menyusui, karena sekarang sudah tersedia botol susu. Begitupun dengan pekerjaan rumah tangga lainnya, yang bahkan sampai pada kehamilan sekalipun. Dewasa ini telah ditemukan proses hamil kontrak yang memungkinkan seseorang menitipkan bayinya dalam rahim orang lain sehingga ia dapat mempunyai anak tanpa harus melewati masa kehamilan.
Jika melirik fakta, perempuan memiliki peran yang cukup krusial terhadap implementasi perdamaian. Di Aceh, terdapat inisiatif kaum perempuan untuk membuat kongres Duek Ureung Pakat Inong Aceh dengan tujuan resolusi konflik. Di Ambon, kelompok-kelompok perempuan berada di garis depan untuk aktif memulai kembali aktifitas ekonomi ketika para laki-laki terus berperang. Bahkan perempuan dari Kei di Maluku berkemah di tengah-tengah jembatan menuntut kedua kelompok yang bertikai untuk berhenti. Dengan demikian, secara faktual terbukti bahwa perempuan memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat khususnya dalam resolusi konflik. Hal ini memungkinkan bagi terbukanya peran untuk kaum perempuan di sektor publik. Dan tentu saja terdapat dikotomi peran antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada konsep biologis, agama, dan konsep lainnya yang berlaku di masyarakat.
Akan tetapi, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan nampaknya masih berupa idealisme. Sektor publik begitu didominasi kaum pria. Untuk menanggapi hal ini, sejak tahun 1960an gerakan feminisme (feminism movement) mulai lahir. Gerakan ini menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan yang terdistorsi oleh diskriminasi jender. Dalam gerakan ini, perempuan dinyatakan begitu dirugikan oleh ide-ide dikotomi jender seperti konsep patriarkal yang hanya menyebabkan hegemoni kaum maskulin terhadap kaum feminin. Secara teknis, objek kritikan gerakan ini berbeda-beda. Feminisme liberal melancarkan kritikannya terhadap paham liberal yang mengutamakan kesamaan dan kebebasan individual yang berlaku, akan tetapi hal itu lebih cenderung hanya untuk kaum laki-laki. Feminisme sosialis menyerang sistem sosial ekonomi kapitalis yang mengenal kelas sosial (social class). Feminisme radikal terhadap aspek biologi (nature) yang menyebabkan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, seperti kehamilan yang harus dialami kaum hawa. Kelompok ini juga menolak lembaga perkawinan yang menurutnya adalah formalisasi penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dan selanjutnya adalah feminisme teologi, yang berdasar pada asumsi bahwa agama merupakan alat untuk membebaskan golongan tertindas, bukan untuk melegitimasi hegemoni penguasa.
Selain itu, teori feminis juga mencuat pada tingkat internasional. Teori ini berupaya menyelidiki dan memperbaiki sistem yang tercemar oleh diskriminasi jender. Dalam pandangan Hilary Charlesworth, teori ini difokuskan pada upaya menyelidiki apa yang menyebabkan berlangsungnya peran dominan dari kelompok laki-laki atas kelompok perempuan. Pada gilirannya, kelompok feminis ini akan berupaya supaya kejadian tersebut tidak terulang lagi.
Akan tetapi, sejak kebangkitannya pada tahun 1960an, persamaan hak yang dituntut gerakan feminisme sampai saat ini masih berupa konsep. Sektor publik masih dikuasai kaum maskulin dan sektor privat oleh kaum feminin. Bahkan dewasa ini gerakan feminisme menjadi sebuah polemik tersendiri di kalangan masyarakat karena gagasan-gagasan yang disuarakannya terkesan utopis, dan absurditas target yang dicapainya, yaitu menghilangkan dikotomi peran yang disebabkan jender.
Dalam menanggapi hal ini, gagasan kelompok biological essentialists mungkin dapat diperhatikan. Kelompok ini berasumsi bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan esensial yang berimbas pada dikotomi jender. Perempuan hamil, menyusui dan mengalami proses reprodusi sementara laki-laki tidak. Dengan demikian, kelompok ini beranggapan bahwa peran keibuanlah yang cocok bagi kaum feminis.
Di sisi lain, terlepas dari perbedaan esensial antara feminitas dan maskulinitas, terdapat juga hak-hak yang harus bernilai sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini seperti tuntutan yang disuarakan oleh R.A. Kartini mengenai hak perempuan untuk memperoleh kesamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan entitas yang berbeda dengan tuntutan-tuntutan lainnya seperti tuntutan perempuan untuk menjadi pemimpin dan lain sebagainya. Tuntutan akan pendidikan terlepas dari pengaruh biologis yang secara alami dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Pendidikan terlepas dari faktor apapun yang menghambat perempuan untuk mendapatkannya. Pendidikan mutlak dapat diterima secara sejajar baik oleh laki-laki ataupun perempuan.
Di era modern ini, tuntutan perempuan akan kesamaan hak dalam mendapatkan pendidikan telah terpenuhi sepenuhnya. Kini tak ada lagi diskriminasi jender di mana kaum perenmpuan tidak mempunyai hak seluas yang dimiliki kaum laki-laki dalam mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tinggi kini sudah terbuka bagi kaum perempuan. Akan tetapi, yang menjadi masalah sekarang bukanlah tuntutan hak pendidikan bagi kam perempuan, akan tetapi mengenai aplikasi pendidikan tersebut dalam masyarakat. Zaman sekarang laki-laki dan perempuan mempunyai intelektualitas dan pengetahuan yang sama, akan tetapi dalam kenyataannya peran-peran dalam dunia sosial masih dikuasai laki-laki. Maka seyogyanya sekarang perempuan menuntut perannya dalam praktek lapangan. Dan tentunya harus sesuai dengan potensi esensialnya masing-masing.
Jika ditinjau dari aspek biologis, perempuan dan laki-laki memiliki bermacam perbedaan yang mengharuskan pada adanya dikotomi jender. Misalnya pada perbedaan alat reproduksi. Laki-laki mempunyai buah pelir (testis) yang merupakan sumber pembentukan hormon testosterone dan perempuan mempunyai ovarium sebagai alat produksi hormon prolactin, extrogen, dan progesteron. Hormon-hormon tersebut (khususnya testosterone dan extrogen) selain berpengaruh pada struktur organik seperti pergerakan otot, pola raut muka, dan pelebaran dada, juga memegang peranan krusial bagi terbentuknya sifat feminitas dan maskulinitas. Hormon testosterone dalam tubuh laki-laki membawa sifat agresifitas dan kompetitas yang menyebabkan laki-laki cenderung bersikap agresif dan kompetitif. Sedangkan hormon extrogen dalam tubuh perempuan membawa perempuan pada kecenderungan sinergistik dan pengasuhan.
Dengan perbedaan esensial tersebut, maka terdapat proporsi peran yang berbeda yang harus dimainkan oleh perempuan dan laki-laki sesuai sifat feminitas atau maskulinitas yang terbentuk dalam dirinya. Laki-laki dengan hormon testosteronenya yang berbanding lurus dengan agresifitas dan kompetitas akan sinkron dengan hal-hal yang agresif dan kompetitif seperti pasar bebas (free market) dan glogalisasi. Sedangkan perempuan dengan hormon extrogennya mempunyai proporsi sendiri dalam hal yang cenderung edukatif dan mengasuh.
Sejenak kita bisa melirik pada globalisasi yang digembor-gemborkan oleh Negara-negara Barat khususnya Eropa dan Amerika. Di sini sistem ekonomi semakin terintegrasi tanpa batas yang membuka jalan bagi persaingan global. Di satu sisi, ini membawa dampak positif karena mendukung perkembangan ekonomi dan teknologi secara pesat. Produksi dan inovasi akan lahir setiap saat. Tapi di sisi lain, sistem globalisasi yang berbasis kapitalisme ini juga sinkron dengan sistem feodalisme di mana terdapat kelas-kelas social (social class) dalam masyarakat akibat dari persaingan global. Akhirnya terbentuklah golongan si kaya dan golongan si miskin, dengan eksplorasi besar-besaran oleh si kaya terhadap si miskin. Dalam konsep globalisasi ini, yang memainkan peran subjek dan objek tidak lagi berupa rakyat, akan tetapi semua negara di dunia. Negara maju (developed country) akan memperluas pengaruh ekonominya ke Negara lain, khususnya Negara berkembang (developing country). Negara berkembang ini akan semakin terbelakang dengan kesenjangan yang besar antara tingginya tingkat konsumsi dengan rendahnya intensitas produsi. Imbasnya, Negara-negara berkembang akan menggantungkan kebutuhan-kebutuhan ekonominya pada Negara maju. Dengan begini, muncullah ungkapan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Untuk menghadapi hal ini, diperlukan adanya daya saing (competence) yang tinggi dari pemerintah dan subjek ekonomi. Karena kita tahu bahwa di balik globalisasi ini terselubung ambisi barat untuk mendominasi ekonomi dunia dengan agresifitas dan kompetitas sebagai ciri utamanya. Untuk melindungi eksistenksi Negara dalam globalisasi ini, diperlukan agresifitas dan kompetitas yang tinggi pula. Dan sifat-sifat ini cenderung sinkron dengan sifat maskulinitas.
Di sisi lain, secara internal Negara juga tak lepas dari tuntutan kebutuhan-kebutuhan krusial lain seperti pendidikan (baik moral maupun akademis), kesehatan, dan perdamaian. Agar lebih jelas, mari kita tinjau satu persatu kebutuhan tersebut. Pertama, kebutuhan akan pendidikan. Dewasa ini, realitas sistem pendidikan formal (khususnya di Indonesia) seakan mengalami transformasi ke arah radikalisme. Dewasa ini tindak kekerasan oleh guru terhadap muridnya sudah merupakan satu kelaziman di lingkungan sekolah, mulai dari bentuk tempelengan sampai pemukulan. Semua ini menunjukkan bahwa tujuan edukatif dari pendidikan telah terdistorsi sedemikian rupa. Dan fakta-fakta tersebut didominasi oleh peran laki-laki dengan sifat maskulinitas yang tinggi.
Pendidikan formal idealnya membekali objeknya baik dari segi moralitas maupun akademis secara intensif, sehingga kader yang dibentuknya mempunyai intelektualitas dan karakter yang baik. Akan tetapi, realitas kontemporer dunia pendidikan cenderung diwarnai kekerasan yang selain berpotensi besar untuk mengacaukan proses belajar juga mempunyai potensi yang signifikan dalam membentuk karakter objeknya.
Dengan melihat paradoks dalam dunia pendidikan di atas, maka diperlukan adanya satu reformasi pada beberapa aspek pendidikan. Dan objek esensial dari reformasi tersebut tentu saja adalah realitas radikalisme. Kekerasan dalam dunia pendidikan harus diminimalisir sedemikian rupa dan ditransformasi pada konsep pengasuhan dan pengajaran yang benar-benar edukatif. Dan hal ini sangat relevan dengan sifat feminitas kaum perempuan.
Ke dua, mengenai urusan kesehatan. Tema kesehatan menganbil tempat yang cukup krusial dalam masyarakat. Masalah-masalah kesehatan seperti penyakit-penyakit dan kekurangan gizi menjadi perhatian khusus yang harus ditanggapi secara profesional. Oleh karena itu, idealnya urusan kesehatan diperankan oleh pihak yang mempunyai tingkat kepedulian serta pengasuhan yang tinggi. Dan menurut konsep biologis, perempuanlah yang memenuhi syarat kepedulian dan pengasuhan tersebut.
Akan tetapi, bukan berarti dunia kesehatan harus dipegang oleh kaum feminis secara absolut. Peran sentral seperti menteri kesehatan memang cocok untuk kaum feminis, akan tetapi, lain halnya dengan peran dalam hal teknis lapangan seperti dokter di rumah sakit dan peramu obat-obatan. Peran-peran ini cenderung sejalan dengan intensitas kemampuan seseorang. Untuk meramu obat misalnya, hal ini bergantung pada seberapa besar seseorang menguasai ilmu farmasi, bukan pada seberapa besar kepedulian seseorang. Jadi, hal-hal yang menyangkut peran teknis dapat juga relevan bagi kaum maskulin.
Dengan penempatan secara proporsional tersebut, maka perempuan dapat berpartisipasi secara aktif di sektor publik khususnya dalam memperjuangkan perdamaian. Perjuangan mewujudkan perdamaian merupakan hal yang kompleks, yang tidak hanya dilakukan dengan memberantas kekerasan, peperangan, atau hal lain semacamnya. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerdawarminta, kata damai mengandung artian keadaan tak bermusuhan (tak ada perang dsb.). Maka untuk mewujudkan keadaan seperti demikian, diperlukan masyarakat yang terdidik (baik secara moral dan akademis), stabilitas ekonomi yang memungkinkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyat, dan masyarakat yang sehat secara fisik.
Akan tetapi, fakta menyatakan bahwa kedudukan perempuan ternyata lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini secara khusus dilihat dari aspek pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam paradigma masyarakat, terdapat kecenderungan bahwa maskulinitas lebih tinggi daripada feminitas. Hal-hal yang menyangkut pekerjaan laki-laki dianggap lebih daripada hal-hal yang menyakut pekerjaan perempuan. Padahal, kenyataannya tak ada perbedaan antara jumlah orang pintar laki-laki dan jumlah orang pintar perempuan. Mengenai hal ini timbul anggapan dari kalangan penstudi Hubungan Internasional bahwa kita hidup di dunia di mana sifat maskulinitas dianggap lebih tinggi daripada feminitas. Akibatnya, timbullah apa yang disebut hirarki jender. Menurut hemat penulis sendiri, yang menjadi masalah di sini adalah penempatan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Di tingkat intelektualitas, memang hampir tidak terjadi perbedaan antara kaum feminin dan kaum maskulin, akan tetapi dari segi implementasi, hal tersebut jelaslah berbeda. Intelektualitas memang dapat dimiliki oleh siapapun, akan tetapi realitas adalah tergantung potensi esensial antara perempuan dan laki-laki. Karena tertapat kesenjangan yang cukup lebar antara teori dan aplikasi lapangan (khususnya dalam ilmu sosial). Maka dalam masyarakat yang plural, permpuan haruslah dapat menyesuaikan eksistensinya secara proporsional. Dalam hal ini akar masalahnya bukanlah perbedaan peran dan hak sosial antara laki-laki dan perempuan yang cenderung diskriminatif, akan tetapi bagaimana peran perempuan yang sesuai dengan potensi esensialnya dapat dikembangkan. Karena bagaimanapun juga, laki-laki dan perempuan mempunyai unsur biologis yang berbeda dan oleh karena itu menempatkannya pada peran yang berbeda pula. Bukan berarti perbedaan peran ini mengandung unsur yang diskriminatif, akan tetapi kedua-duanya mempunyai proporsi yang berbeda yang tidak dapat dibandingkan mana yang lebih utama dan mana yang tidak. Sekali lagi, yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana peran perempuan dapat dikembangkan sehingga tidak terus terpaku pada hal-hal tradisional.
Memang, ada anggapan bahwa peran yang dimainkan kaum perempuan baik sebagai ibu rumah tangga atau peran-peran lainnya bersumber dari faktor kultural yang mengakar dari zaman dulu. Secara kultural perempuan ditempatkan dalam posisi yang inferior. Dan hal itu terus terjadi sampai sekarang. Lantas, ada anggapan bahwa untuk meninggikan derajat eksistensi kaum perempuan dalam masyarakat adalah dengan mengubah status quo yang terbentuk sejak zaman purba tersebut dan digantikan oleh kesamaan hak sepenuhnya dalam berbagai aspek kehidupan antara pria dan wanita. Akan tetapi tentulah ini merupakan asumsi yang utopis. Menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan berarti juga membuat laki-laki harus dapat mengandung, menyusui dan lain sebagainya yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh laki-laki. Jadi benang merahnya adalah ada sesuatu yang tidak dapat diperankan laki-laki dan ada sesuatu yang tidak dapat diperankan perempuan. Jika demikian, maka asumsi yang seharusnya muncul adalah derajat baik itu laki-laki atau perempuan tidak diukur dari bagaimana mereka dapat meraih jabatan atau memerankan sesuatu, dengan penilaian yang murni harus sama. Akan tetapi, penilaian tinggi atau tidaknya derajat laki-laki atau perempuan haruslah diukur dari bagaimana ia menjalankan perannya dengan baik. Karena penilaian tentang tinggi rendahnya derajat yang didasarkan pada jender sangatlah terpengaruh oleh faktor-faktor lain seperti kapitalisme dan meterialisme, yang jika penilaian itu didasarkan pada hal-hal tersebut, maka yang akan terjadi adalah relatifitas dan ambiguitas penilaian itu sendiri yang akan terus bias seiring berjalannya waktu dan berbedanya tempat.
Dengan demikian, idealnya potensi esensial yang terdapat pada diri laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Artinya, penempatan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dilakukan secara komplementer di mana laki-laki dan perempuan mempunyai tempat masing-masing yang proporsional. Dalam masyarakat plural (plural society) tentulah akan terdapat begitu banyak perbedaan, baik itu agama, ras, suku bangsa, atau warna kulit. Akan tetapi semua perbedaan tersebut akan menciptakan satu tatanan masyarakat yang bisa saling menghargai dan mengakui eksistensi masing-masing beserta perannya tersendiri. Eksistensi perempuan dan laki-laki harus dapat dilaksanakan secara proporsional dan saling mengakui, bukan diskriminasi. Atau juga berupa tuntutan kesamaan sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki, akan tetapi merupakan penuntutan hak-hak eksistensi perempuan itu sendiri secara proporsional. Secara alamiyah dilihat dari konsep biologis dan konsep alam, perempuan dan laki-laki mempunyai masing-masing perbedaan mendasar secara biologis. Dan otomatis perbedaan tersebut mengakibatkan pada perbedaan peran. Dengan adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara proporsional, maka eksistensi perempuan mendapatkan peran esensialnya dalam tatanan pluralisme.
Sementara itu laki-laki dianugerahi fisik dengan ketahanan yang relatif tinggi. Kekuatan yang dimiliki laki-laki cenderung lebih besar daripada perempuan. Hal ini menempatkan laki-laki pada posisi yang dinamis, yaitu untuk bekerja keras dan mencari nafkah. Dari sini dikotomi jenderpun terbentuk secara implisit dan diakui secara tidak langsung bahwa perempuan memainkan peran sebagai ibu rumah tangga, dan laki-laki sebagai pencari nafkah.
Akan tetapi, dinamika peradaban melesat begitu cepat yang ditandai oleh revolusi industri di Inggris. Teknologi mulai merebak di daerah perkotaan dan mengambil alih berbagai sektor pekerjaan manusia. Pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan langsung oleh manusia kini tergantikan oleh tenaga mesin dan teknologi. Teknis pekerjaan fisikpun mengalami transformasi pada pekerjaan yang lebih mengutamakan fikiran dan tidak lagi mengambil tempat di sawah, hutan, atau pegunungan, akan tetapi lebih dominan dilakukan di perkantoran.
Seiring dengan revolusi peradaban di atas, timbul satu pemikiran bahwa sektor privat yang digeluti oleh kaum feminis sudah tidak lagi relevan untuk kondisi zaman sekarang. Kini pekerjaan rumah tangga telah banyak tergantikan oleh teknologi. Wanita sudah tak lagi harus menghabiskan banyak waktu untuk menyusui, karena sekarang sudah tersedia botol susu. Begitupun dengan pekerjaan rumah tangga lainnya, yang bahkan sampai pada kehamilan sekalipun. Dewasa ini telah ditemukan proses hamil kontrak yang memungkinkan seseorang menitipkan bayinya dalam rahim orang lain sehingga ia dapat mempunyai anak tanpa harus melewati masa kehamilan.
Jika melirik fakta, perempuan memiliki peran yang cukup krusial terhadap implementasi perdamaian. Di Aceh, terdapat inisiatif kaum perempuan untuk membuat kongres Duek Ureung Pakat Inong Aceh dengan tujuan resolusi konflik. Di Ambon, kelompok-kelompok perempuan berada di garis depan untuk aktif memulai kembali aktifitas ekonomi ketika para laki-laki terus berperang. Bahkan perempuan dari Kei di Maluku berkemah di tengah-tengah jembatan menuntut kedua kelompok yang bertikai untuk berhenti. Dengan demikian, secara faktual terbukti bahwa perempuan memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat khususnya dalam resolusi konflik. Hal ini memungkinkan bagi terbukanya peran untuk kaum perempuan di sektor publik. Dan tentu saja terdapat dikotomi peran antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada konsep biologis, agama, dan konsep lainnya yang berlaku di masyarakat.
Akan tetapi, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan nampaknya masih berupa idealisme. Sektor publik begitu didominasi kaum pria. Untuk menanggapi hal ini, sejak tahun 1960an gerakan feminisme (feminism movement) mulai lahir. Gerakan ini menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan yang terdistorsi oleh diskriminasi jender. Dalam gerakan ini, perempuan dinyatakan begitu dirugikan oleh ide-ide dikotomi jender seperti konsep patriarkal yang hanya menyebabkan hegemoni kaum maskulin terhadap kaum feminin. Secara teknis, objek kritikan gerakan ini berbeda-beda. Feminisme liberal melancarkan kritikannya terhadap paham liberal yang mengutamakan kesamaan dan kebebasan individual yang berlaku, akan tetapi hal itu lebih cenderung hanya untuk kaum laki-laki. Feminisme sosialis menyerang sistem sosial ekonomi kapitalis yang mengenal kelas sosial (social class). Feminisme radikal terhadap aspek biologi (nature) yang menyebabkan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, seperti kehamilan yang harus dialami kaum hawa. Kelompok ini juga menolak lembaga perkawinan yang menurutnya adalah formalisasi penindasan laki-laki terhadap perempuan. Dan selanjutnya adalah feminisme teologi, yang berdasar pada asumsi bahwa agama merupakan alat untuk membebaskan golongan tertindas, bukan untuk melegitimasi hegemoni penguasa.
Selain itu, teori feminis juga mencuat pada tingkat internasional. Teori ini berupaya menyelidiki dan memperbaiki sistem yang tercemar oleh diskriminasi jender. Dalam pandangan Hilary Charlesworth, teori ini difokuskan pada upaya menyelidiki apa yang menyebabkan berlangsungnya peran dominan dari kelompok laki-laki atas kelompok perempuan. Pada gilirannya, kelompok feminis ini akan berupaya supaya kejadian tersebut tidak terulang lagi.
Akan tetapi, sejak kebangkitannya pada tahun 1960an, persamaan hak yang dituntut gerakan feminisme sampai saat ini masih berupa konsep. Sektor publik masih dikuasai kaum maskulin dan sektor privat oleh kaum feminin. Bahkan dewasa ini gerakan feminisme menjadi sebuah polemik tersendiri di kalangan masyarakat karena gagasan-gagasan yang disuarakannya terkesan utopis, dan absurditas target yang dicapainya, yaitu menghilangkan dikotomi peran yang disebabkan jender.
Dalam menanggapi hal ini, gagasan kelompok biological essentialists mungkin dapat diperhatikan. Kelompok ini berasumsi bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan esensial yang berimbas pada dikotomi jender. Perempuan hamil, menyusui dan mengalami proses reprodusi sementara laki-laki tidak. Dengan demikian, kelompok ini beranggapan bahwa peran keibuanlah yang cocok bagi kaum feminis.
Di sisi lain, terlepas dari perbedaan esensial antara feminitas dan maskulinitas, terdapat juga hak-hak yang harus bernilai sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini seperti tuntutan yang disuarakan oleh R.A. Kartini mengenai hak perempuan untuk memperoleh kesamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan entitas yang berbeda dengan tuntutan-tuntutan lainnya seperti tuntutan perempuan untuk menjadi pemimpin dan lain sebagainya. Tuntutan akan pendidikan terlepas dari pengaruh biologis yang secara alami dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Pendidikan terlepas dari faktor apapun yang menghambat perempuan untuk mendapatkannya. Pendidikan mutlak dapat diterima secara sejajar baik oleh laki-laki ataupun perempuan.
Di era modern ini, tuntutan perempuan akan kesamaan hak dalam mendapatkan pendidikan telah terpenuhi sepenuhnya. Kini tak ada lagi diskriminasi jender di mana kaum perenmpuan tidak mempunyai hak seluas yang dimiliki kaum laki-laki dalam mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tinggi kini sudah terbuka bagi kaum perempuan. Akan tetapi, yang menjadi masalah sekarang bukanlah tuntutan hak pendidikan bagi kam perempuan, akan tetapi mengenai aplikasi pendidikan tersebut dalam masyarakat. Zaman sekarang laki-laki dan perempuan mempunyai intelektualitas dan pengetahuan yang sama, akan tetapi dalam kenyataannya peran-peran dalam dunia sosial masih dikuasai laki-laki. Maka seyogyanya sekarang perempuan menuntut perannya dalam praktek lapangan. Dan tentunya harus sesuai dengan potensi esensialnya masing-masing.
Jika ditinjau dari aspek biologis, perempuan dan laki-laki memiliki bermacam perbedaan yang mengharuskan pada adanya dikotomi jender. Misalnya pada perbedaan alat reproduksi. Laki-laki mempunyai buah pelir (testis) yang merupakan sumber pembentukan hormon testosterone dan perempuan mempunyai ovarium sebagai alat produksi hormon prolactin, extrogen, dan progesteron. Hormon-hormon tersebut (khususnya testosterone dan extrogen) selain berpengaruh pada struktur organik seperti pergerakan otot, pola raut muka, dan pelebaran dada, juga memegang peranan krusial bagi terbentuknya sifat feminitas dan maskulinitas. Hormon testosterone dalam tubuh laki-laki membawa sifat agresifitas dan kompetitas yang menyebabkan laki-laki cenderung bersikap agresif dan kompetitif. Sedangkan hormon extrogen dalam tubuh perempuan membawa perempuan pada kecenderungan sinergistik dan pengasuhan.
Dengan perbedaan esensial tersebut, maka terdapat proporsi peran yang berbeda yang harus dimainkan oleh perempuan dan laki-laki sesuai sifat feminitas atau maskulinitas yang terbentuk dalam dirinya. Laki-laki dengan hormon testosteronenya yang berbanding lurus dengan agresifitas dan kompetitas akan sinkron dengan hal-hal yang agresif dan kompetitif seperti pasar bebas (free market) dan glogalisasi. Sedangkan perempuan dengan hormon extrogennya mempunyai proporsi sendiri dalam hal yang cenderung edukatif dan mengasuh.
Sejenak kita bisa melirik pada globalisasi yang digembor-gemborkan oleh Negara-negara Barat khususnya Eropa dan Amerika. Di sini sistem ekonomi semakin terintegrasi tanpa batas yang membuka jalan bagi persaingan global. Di satu sisi, ini membawa dampak positif karena mendukung perkembangan ekonomi dan teknologi secara pesat. Produksi dan inovasi akan lahir setiap saat. Tapi di sisi lain, sistem globalisasi yang berbasis kapitalisme ini juga sinkron dengan sistem feodalisme di mana terdapat kelas-kelas social (social class) dalam masyarakat akibat dari persaingan global. Akhirnya terbentuklah golongan si kaya dan golongan si miskin, dengan eksplorasi besar-besaran oleh si kaya terhadap si miskin. Dalam konsep globalisasi ini, yang memainkan peran subjek dan objek tidak lagi berupa rakyat, akan tetapi semua negara di dunia. Negara maju (developed country) akan memperluas pengaruh ekonominya ke Negara lain, khususnya Negara berkembang (developing country). Negara berkembang ini akan semakin terbelakang dengan kesenjangan yang besar antara tingginya tingkat konsumsi dengan rendahnya intensitas produsi. Imbasnya, Negara-negara berkembang akan menggantungkan kebutuhan-kebutuhan ekonominya pada Negara maju. Dengan begini, muncullah ungkapan yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Untuk menghadapi hal ini, diperlukan adanya daya saing (competence) yang tinggi dari pemerintah dan subjek ekonomi. Karena kita tahu bahwa di balik globalisasi ini terselubung ambisi barat untuk mendominasi ekonomi dunia dengan agresifitas dan kompetitas sebagai ciri utamanya. Untuk melindungi eksistenksi Negara dalam globalisasi ini, diperlukan agresifitas dan kompetitas yang tinggi pula. Dan sifat-sifat ini cenderung sinkron dengan sifat maskulinitas.
Di sisi lain, secara internal Negara juga tak lepas dari tuntutan kebutuhan-kebutuhan krusial lain seperti pendidikan (baik moral maupun akademis), kesehatan, dan perdamaian. Agar lebih jelas, mari kita tinjau satu persatu kebutuhan tersebut. Pertama, kebutuhan akan pendidikan. Dewasa ini, realitas sistem pendidikan formal (khususnya di Indonesia) seakan mengalami transformasi ke arah radikalisme. Dewasa ini tindak kekerasan oleh guru terhadap muridnya sudah merupakan satu kelaziman di lingkungan sekolah, mulai dari bentuk tempelengan sampai pemukulan. Semua ini menunjukkan bahwa tujuan edukatif dari pendidikan telah terdistorsi sedemikian rupa. Dan fakta-fakta tersebut didominasi oleh peran laki-laki dengan sifat maskulinitas yang tinggi.
Pendidikan formal idealnya membekali objeknya baik dari segi moralitas maupun akademis secara intensif, sehingga kader yang dibentuknya mempunyai intelektualitas dan karakter yang baik. Akan tetapi, realitas kontemporer dunia pendidikan cenderung diwarnai kekerasan yang selain berpotensi besar untuk mengacaukan proses belajar juga mempunyai potensi yang signifikan dalam membentuk karakter objeknya.
Dengan melihat paradoks dalam dunia pendidikan di atas, maka diperlukan adanya satu reformasi pada beberapa aspek pendidikan. Dan objek esensial dari reformasi tersebut tentu saja adalah realitas radikalisme. Kekerasan dalam dunia pendidikan harus diminimalisir sedemikian rupa dan ditransformasi pada konsep pengasuhan dan pengajaran yang benar-benar edukatif. Dan hal ini sangat relevan dengan sifat feminitas kaum perempuan.
Ke dua, mengenai urusan kesehatan. Tema kesehatan menganbil tempat yang cukup krusial dalam masyarakat. Masalah-masalah kesehatan seperti penyakit-penyakit dan kekurangan gizi menjadi perhatian khusus yang harus ditanggapi secara profesional. Oleh karena itu, idealnya urusan kesehatan diperankan oleh pihak yang mempunyai tingkat kepedulian serta pengasuhan yang tinggi. Dan menurut konsep biologis, perempuanlah yang memenuhi syarat kepedulian dan pengasuhan tersebut.
Akan tetapi, bukan berarti dunia kesehatan harus dipegang oleh kaum feminis secara absolut. Peran sentral seperti menteri kesehatan memang cocok untuk kaum feminis, akan tetapi, lain halnya dengan peran dalam hal teknis lapangan seperti dokter di rumah sakit dan peramu obat-obatan. Peran-peran ini cenderung sejalan dengan intensitas kemampuan seseorang. Untuk meramu obat misalnya, hal ini bergantung pada seberapa besar seseorang menguasai ilmu farmasi, bukan pada seberapa besar kepedulian seseorang. Jadi, hal-hal yang menyangkut peran teknis dapat juga relevan bagi kaum maskulin.
Dengan penempatan secara proporsional tersebut, maka perempuan dapat berpartisipasi secara aktif di sektor publik khususnya dalam memperjuangkan perdamaian. Perjuangan mewujudkan perdamaian merupakan hal yang kompleks, yang tidak hanya dilakukan dengan memberantas kekerasan, peperangan, atau hal lain semacamnya. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerdawarminta, kata damai mengandung artian keadaan tak bermusuhan (tak ada perang dsb.). Maka untuk mewujudkan keadaan seperti demikian, diperlukan masyarakat yang terdidik (baik secara moral dan akademis), stabilitas ekonomi yang memungkinkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyat, dan masyarakat yang sehat secara fisik.
Akan tetapi, fakta menyatakan bahwa kedudukan perempuan ternyata lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini secara khusus dilihat dari aspek pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam paradigma masyarakat, terdapat kecenderungan bahwa maskulinitas lebih tinggi daripada feminitas. Hal-hal yang menyangkut pekerjaan laki-laki dianggap lebih daripada hal-hal yang menyakut pekerjaan perempuan. Padahal, kenyataannya tak ada perbedaan antara jumlah orang pintar laki-laki dan jumlah orang pintar perempuan. Mengenai hal ini timbul anggapan dari kalangan penstudi Hubungan Internasional bahwa kita hidup di dunia di mana sifat maskulinitas dianggap lebih tinggi daripada feminitas. Akibatnya, timbullah apa yang disebut hirarki jender. Menurut hemat penulis sendiri, yang menjadi masalah di sini adalah penempatan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Di tingkat intelektualitas, memang hampir tidak terjadi perbedaan antara kaum feminin dan kaum maskulin, akan tetapi dari segi implementasi, hal tersebut jelaslah berbeda. Intelektualitas memang dapat dimiliki oleh siapapun, akan tetapi realitas adalah tergantung potensi esensial antara perempuan dan laki-laki. Karena tertapat kesenjangan yang cukup lebar antara teori dan aplikasi lapangan (khususnya dalam ilmu sosial). Maka dalam masyarakat yang plural, permpuan haruslah dapat menyesuaikan eksistensinya secara proporsional. Dalam hal ini akar masalahnya bukanlah perbedaan peran dan hak sosial antara laki-laki dan perempuan yang cenderung diskriminatif, akan tetapi bagaimana peran perempuan yang sesuai dengan potensi esensialnya dapat dikembangkan. Karena bagaimanapun juga, laki-laki dan perempuan mempunyai unsur biologis yang berbeda dan oleh karena itu menempatkannya pada peran yang berbeda pula. Bukan berarti perbedaan peran ini mengandung unsur yang diskriminatif, akan tetapi kedua-duanya mempunyai proporsi yang berbeda yang tidak dapat dibandingkan mana yang lebih utama dan mana yang tidak. Sekali lagi, yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana peran perempuan dapat dikembangkan sehingga tidak terus terpaku pada hal-hal tradisional.
Memang, ada anggapan bahwa peran yang dimainkan kaum perempuan baik sebagai ibu rumah tangga atau peran-peran lainnya bersumber dari faktor kultural yang mengakar dari zaman dulu. Secara kultural perempuan ditempatkan dalam posisi yang inferior. Dan hal itu terus terjadi sampai sekarang. Lantas, ada anggapan bahwa untuk meninggikan derajat eksistensi kaum perempuan dalam masyarakat adalah dengan mengubah status quo yang terbentuk sejak zaman purba tersebut dan digantikan oleh kesamaan hak sepenuhnya dalam berbagai aspek kehidupan antara pria dan wanita. Akan tetapi tentulah ini merupakan asumsi yang utopis. Menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan berarti juga membuat laki-laki harus dapat mengandung, menyusui dan lain sebagainya yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh laki-laki. Jadi benang merahnya adalah ada sesuatu yang tidak dapat diperankan laki-laki dan ada sesuatu yang tidak dapat diperankan perempuan. Jika demikian, maka asumsi yang seharusnya muncul adalah derajat baik itu laki-laki atau perempuan tidak diukur dari bagaimana mereka dapat meraih jabatan atau memerankan sesuatu, dengan penilaian yang murni harus sama. Akan tetapi, penilaian tinggi atau tidaknya derajat laki-laki atau perempuan haruslah diukur dari bagaimana ia menjalankan perannya dengan baik. Karena penilaian tentang tinggi rendahnya derajat yang didasarkan pada jender sangatlah terpengaruh oleh faktor-faktor lain seperti kapitalisme dan meterialisme, yang jika penilaian itu didasarkan pada hal-hal tersebut, maka yang akan terjadi adalah relatifitas dan ambiguitas penilaian itu sendiri yang akan terus bias seiring berjalannya waktu dan berbedanya tempat.
Dengan demikian, idealnya potensi esensial yang terdapat pada diri laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Artinya, penempatan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dilakukan secara komplementer di mana laki-laki dan perempuan mempunyai tempat masing-masing yang proporsional. Dalam masyarakat plural (plural society) tentulah akan terdapat begitu banyak perbedaan, baik itu agama, ras, suku bangsa, atau warna kulit. Akan tetapi semua perbedaan tersebut akan menciptakan satu tatanan masyarakat yang bisa saling menghargai dan mengakui eksistensi masing-masing beserta perannya tersendiri. Eksistensi perempuan dan laki-laki harus dapat dilaksanakan secara proporsional dan saling mengakui, bukan diskriminasi. Atau juga berupa tuntutan kesamaan sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki, akan tetapi merupakan penuntutan hak-hak eksistensi perempuan itu sendiri secara proporsional. Secara alamiyah dilihat dari konsep biologis dan konsep alam, perempuan dan laki-laki mempunyai masing-masing perbedaan mendasar secara biologis. Dan otomatis perbedaan tersebut mengakibatkan pada perbedaan peran. Dengan adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara proporsional, maka eksistensi perempuan mendapatkan peran esensialnya dalam tatanan pluralisme.
Senin, 02 Juli 2007
Rangking: Satu Idealisme atau Kajian “Semiotika” Akademis?
Kemarin siang aku dan orang tua pergi ke Garut untuk mengambil rapot. Jalanan macet, dan udara panas menyengat sampai otak. Sesampainya di Garut, aku disambut rentetan angka di buku rapotku yang, intinya mereka membentuk angka 7 pada kolom paling bawah. Aku rangking 7! Sesaat ku lihat raut wajah orang tuaku yang sepertinya akan meleleh, bukti yang berteriak sangat keras bahwa mereka kecewa. Aku hanya bisa tersenyum, bahkan mungkin ingin tertawa. Aku tak masuk 3 besar kali ini. Mungkin kecewa, atau sebaliknya, aku bangga. Entahlah.
Lantas orang tuaku bercerita dengan banyak orang di luar. Walau tak ku kenal, tapi kadang aku bergabung dengan mereka. Dan pertanyaan yang harus ku jawab dari mereka adalah, ”Rangking berapa sekarang?” Membuatku sedikit risih.
Mungkin ini adalah hasil dari kampanye anti rangkingku atau entah apa namanya. Akhir-akhir ini ku benar-benar tak peduli akan deretan angka-angka di buku biru itu. Dan memberitahukannya juga pada orang lain. Seringkali ulangan harianku juga jelek, tapi ku hanya tersenyum. Ku benar-benar tak peduli.
Ku hanya tak habis fikir bagaimana satu angka dapat mengubah paradigma orang-orang secara signifikan. Tiba-tiba saja seseorang bisa berteriak kegirangan atau sebaliknya. Hanya karena satu angka.
Hanya menurutku ini kebanyakan tak lebih seperti struktur tanda-tanda antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified) dalam kajian semiotika. Singkat saja, salah satu fungsi dari semiotika adalah mengaburkan makna itu sendiri (sebentar, ini bukan berarti sebuah kuliah kelas ilmu sosial, hanya saja ku tak menemukan istilah lain). Dan ini terjadi pada dunia akademis. Orang-orang begitu tergila-gila akan rangking, sedang kebanyakan mereka tak tahu apa makna di balik rangking itu sendiri. Maksudku, kita terlalu berambisi besar untuk meraih sebuah angka dalam buku rapot, tapi kita tak tahu untuk apa angka itu, dan apa makna dari angka itu.
Dalam prosesnya, kita belajar siang malam dan menggeluti setumpuk buku dalam sekejap ketika THB, untuk mendapatkan satu angka. Dan tumpukan buku yang kita hadapi hanya kita siapkan untuk beberapa menit waktu ulangan, selebihnya, terserah. Seringkali ingatan tadi malam menghilang begitu saja setelah selesai ulangan. Dan kita tak peduli, yang penting nilainya bagus, dan rangkingku memuaskan. Hei, apa ini? Bukankan angka-angka yang berjejer di rapot itu seharusnya mencerminkan bahwa kita memang mempunyai kemampuan, dalam Kimia katakanlah. Tapi kenyataannya, makna dari rangking itu sekarang sudah begitu kabur, sehingga kita tak sadar bahwa kini rangking tersebut menggambarkan orang yang ingatannya kuat dalam semalam. Sebagian juga menggambarkan orang yang begitu rapi, sehingga kertas contekan di kartu ujiannya tidak terlihat pengawas.
Tapi ini bukan berarti kampanye untuk serta merta menganjlokkan rangking rapot kita, sama sekali bukan. Ini hanya keprihatinanku bahwa kenyataan yang terjadi sekarang adalah demikian. Kita begitu terbuai dengan angka-angka ”palsu” yang didapat dari kerja semalaman. Aku hanya ingin mengatakan kembali bahwa kia ke pergi ke sekolah untuk belajar dan mengetahui banyak hal, bukan untuk bermain-main dan dalam satu malam menumpukkan buku untuk mendapatkan satu angka. Kita rangking satu karena memang kita tahu banyak hal, bukan karena ingatan sementara yang tiba-tiba saja lenyap setelah ulangan.
Wali kelasku sering panik dan membuat panik semua orang ketika ia melihat nilai di bawah tujuh, kemudian dia meminta kami untuk menghubungi guru yang bersangkutan agar nilainya ditambah. Bagaimanapun caranya. Katanya, kalau nilainya kurang dari tujuh, berarti tidak bisa ikut PMDK. Dari dulu ia selalu banyak berpidato tentang PMDK, seolah semua hanya bisa masuk universitas lewat jalur PMDK. Lantas, kenapa harus PMDK? Kenapa ia tidak pernah sekalipun menyebut kata SPMB, atau tes masuk lainnya yang murni dari kemampuan sehingga murid-muridnya bisa lebih bersemangat dan mempunyai daya kompetitif tinggi? Kenapa banyak orang harus lelah menyalin jawaban LKS orang lain untuk mendapat angka bagus? Kenapa banyak murid sekolah kini berjuang untuk mendapat sebuah angka, bukan untuk mengetahui sesuatu? Entahlah.
Lantas orang tuaku bercerita dengan banyak orang di luar. Walau tak ku kenal, tapi kadang aku bergabung dengan mereka. Dan pertanyaan yang harus ku jawab dari mereka adalah, ”Rangking berapa sekarang?” Membuatku sedikit risih.
Mungkin ini adalah hasil dari kampanye anti rangkingku atau entah apa namanya. Akhir-akhir ini ku benar-benar tak peduli akan deretan angka-angka di buku biru itu. Dan memberitahukannya juga pada orang lain. Seringkali ulangan harianku juga jelek, tapi ku hanya tersenyum. Ku benar-benar tak peduli.
Ku hanya tak habis fikir bagaimana satu angka dapat mengubah paradigma orang-orang secara signifikan. Tiba-tiba saja seseorang bisa berteriak kegirangan atau sebaliknya. Hanya karena satu angka.
Hanya menurutku ini kebanyakan tak lebih seperti struktur tanda-tanda antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified) dalam kajian semiotika. Singkat saja, salah satu fungsi dari semiotika adalah mengaburkan makna itu sendiri (sebentar, ini bukan berarti sebuah kuliah kelas ilmu sosial, hanya saja ku tak menemukan istilah lain). Dan ini terjadi pada dunia akademis. Orang-orang begitu tergila-gila akan rangking, sedang kebanyakan mereka tak tahu apa makna di balik rangking itu sendiri. Maksudku, kita terlalu berambisi besar untuk meraih sebuah angka dalam buku rapot, tapi kita tak tahu untuk apa angka itu, dan apa makna dari angka itu.
Dalam prosesnya, kita belajar siang malam dan menggeluti setumpuk buku dalam sekejap ketika THB, untuk mendapatkan satu angka. Dan tumpukan buku yang kita hadapi hanya kita siapkan untuk beberapa menit waktu ulangan, selebihnya, terserah. Seringkali ingatan tadi malam menghilang begitu saja setelah selesai ulangan. Dan kita tak peduli, yang penting nilainya bagus, dan rangkingku memuaskan. Hei, apa ini? Bukankan angka-angka yang berjejer di rapot itu seharusnya mencerminkan bahwa kita memang mempunyai kemampuan, dalam Kimia katakanlah. Tapi kenyataannya, makna dari rangking itu sekarang sudah begitu kabur, sehingga kita tak sadar bahwa kini rangking tersebut menggambarkan orang yang ingatannya kuat dalam semalam. Sebagian juga menggambarkan orang yang begitu rapi, sehingga kertas contekan di kartu ujiannya tidak terlihat pengawas.
Tapi ini bukan berarti kampanye untuk serta merta menganjlokkan rangking rapot kita, sama sekali bukan. Ini hanya keprihatinanku bahwa kenyataan yang terjadi sekarang adalah demikian. Kita begitu terbuai dengan angka-angka ”palsu” yang didapat dari kerja semalaman. Aku hanya ingin mengatakan kembali bahwa kia ke pergi ke sekolah untuk belajar dan mengetahui banyak hal, bukan untuk bermain-main dan dalam satu malam menumpukkan buku untuk mendapatkan satu angka. Kita rangking satu karena memang kita tahu banyak hal, bukan karena ingatan sementara yang tiba-tiba saja lenyap setelah ulangan.
Wali kelasku sering panik dan membuat panik semua orang ketika ia melihat nilai di bawah tujuh, kemudian dia meminta kami untuk menghubungi guru yang bersangkutan agar nilainya ditambah. Bagaimanapun caranya. Katanya, kalau nilainya kurang dari tujuh, berarti tidak bisa ikut PMDK. Dari dulu ia selalu banyak berpidato tentang PMDK, seolah semua hanya bisa masuk universitas lewat jalur PMDK. Lantas, kenapa harus PMDK? Kenapa ia tidak pernah sekalipun menyebut kata SPMB, atau tes masuk lainnya yang murni dari kemampuan sehingga murid-muridnya bisa lebih bersemangat dan mempunyai daya kompetitif tinggi? Kenapa banyak orang harus lelah menyalin jawaban LKS orang lain untuk mendapat angka bagus? Kenapa banyak murid sekolah kini berjuang untuk mendapat sebuah angka, bukan untuk mengetahui sesuatu? Entahlah.
The Everlasting Memories, FIKIR 2007
Untuk keributan yang dulu pernah kita buat…
Kapan lagi kita rapat dan berbagi kegaduhan seperti 4 bulan lalu? Kapan lagi kalian membuat acara kudeta dengan slogan oli turun BBM naik? Kapan lagi kita bersama-sama membereskan kursi aula, menata rangkaian bunga, dan menghias sepeda untuk acara penyambutan? Kapan lagi... entahlah, akhirnya kita telah melaluinya. Ini telah selesai. Kita telah benar-benar membuat FIKIR yang berbeda dan, hebat.
Malam itu benar-benar melelahkan. Kau, ku, kita semua begitu ngantuk dan capek setelah semuanya selesai. Karena bukan hanya beberapa jam kita habiskan untuk persiapan acara, tapi kita telah memulai semuanya sejak 6 bulan lalu. Dengan keributan, keegoisan, dan kerjasama. Sebuah harga yang tidak sedikit. Dan karena itulah ku tak ingin semua ini berlalu begitu saja, hanya beberapa jam. Ku ingin kita membuka kembali file-file yang dulu pernah kita buat, setidaknya kita masih bisa merasakan keributan dan perdebatan dulu.
Berawal dari rapat pertama siang itu. Udara begitu panas dan membuatku –dan mungkin kalian juga– tak begitu konsentrasi. Suasana begitu gersang, dan ku harus menghadapi teman-teman baru di seksi acara. Dengan karakter baru pula tentunya. Singkat cerita, rapat berlangsung begitu kacau, dan kita tak menemukan tema yang pantas. Semua berjalan menurut fikirannnya masing-masing. Ku, kalian, kita benar-benar pusing. Setidaknya untuk pertamakali.
Lantas, kita putuskan untuk mengulur waktu rapat. Sampai suatu malam yang menegangkan–entah ku lupa hari apa– ku dan teman-teman putera mengumpulkan sebesar mungkin keberanian untuk rapat di kelas puteri. Meski mungkin akan begitu berat sangsinya jika ketahuan. Rapat berlangsung begitu tenang, meski suasana egois masih terasa kental. Dan dari sana, mungkin untuk pertama kalinya ku kibarkan bendera perang dengan makhluk berinisial I yang juga baru ku kenal. Dari sana pula kita memulai keributan panjang, kau, aku, semuanya.
Kalian pasti masih ingat acara kudeta tempo lalu. Saat kalian tak puas dengan kepemimpinan seorang Amalul. Lalu kalianpun membuat spanduk dengan berpuluh slogan di sana, yang kalian kibarkan di kelas waktu itu. Kelaspun menjadi begitu panas, tak terkendali. Walau akhirnya Amalul tetap menjadi ketua FIKIR.
Haripun berganti, melewati rentetan waktu.
FIKIR tinggal beberapa hari lagi. Kitapun makin sering melakukan rapat, entah di kelas, ataupun di depan rumah Bu Bacih dengan kewaspadaan tingkat tinggi tentunya. Karena saat malam begitu menyelimuti rapat kita, ancaman itu pernah benar-benar datang. Sesosok berinisial A mulai menampakkan batang hidungnya dan kitapun lari tunggang langgang sambil tertawa.
Akhirnya waktunyapun tiba. Saat di mana kita bisa buktikan setiap tetes keringat kita. Kepada Kabid Ekstrakulikuler, yang begitu kerasnya membentak kita tempo hari. Kepada kepala sekolah puteri yang banyak mempermasalahkan dana dan tema, kepada kepala sekolah putera yang sejak dulu selalu menjadi ancaman terbesar saat rapat, dan kepada seluh penghuni DA, bahwa inilah kita. Kelas 4 putera dan puteri yang entah bagaimana kalian anggap.
Tapi tak selancar itu. Banyak masalah baru yang muncul sebelum acara. Listrik yang tiba-tiba mati, tidak ada lampu sorot, laptop yang tiba-tiba tak berfungsi, waktu yang ngaret, sampai pada pemateri yang –katanya– kurang ganteng. Kitapun panik, bahkan ada yang meangis.
Tapi ternyata kepanikan itu tak berlangsung lama. Dugaan-dugaan gila itu lenyap ketika tiba saatnya acara inti. Ternyata seseorang yang kita anggap dengan fikiran gila itu benar-benar hebat. Semua terdiam, acara begitu lancar dan sukses. Benar-benar di luar dugaan.
Kitapun berpelukan, bahkan sebagian ada yang menangis setelah acara selesai.
Dan kini, semua telah berakhir. Kita tak perlu lagi ribut mempermasalahkan tema, acara penyambutan, atau pemateri. Kini tak ada lagi rapat, meet, atau perdebata kecil di telefon dan e-mail. Semua telah berlalu. Lantas, kapan lagi...
Kapan lagi kita rapat dan berbagi kegaduhan seperti 4 bulan lalu? Kapan lagi kalian membuat acara kudeta dengan slogan oli turun BBM naik? Kapan lagi kita bersama-sama membereskan kursi aula, menata rangkaian bunga, dan menghias sepeda untuk acara penyambutan? Kapan lagi... entahlah, akhirnya kita telah melaluinya. Ini telah selesai. Kita telah benar-benar membuat FIKIR yang berbeda dan, hebat.
Malam itu benar-benar melelahkan. Kau, ku, kita semua begitu ngantuk dan capek setelah semuanya selesai. Karena bukan hanya beberapa jam kita habiskan untuk persiapan acara, tapi kita telah memulai semuanya sejak 6 bulan lalu. Dengan keributan, keegoisan, dan kerjasama. Sebuah harga yang tidak sedikit. Dan karena itulah ku tak ingin semua ini berlalu begitu saja, hanya beberapa jam. Ku ingin kita membuka kembali file-file yang dulu pernah kita buat, setidaknya kita masih bisa merasakan keributan dan perdebatan dulu.
Berawal dari rapat pertama siang itu. Udara begitu panas dan membuatku –dan mungkin kalian juga– tak begitu konsentrasi. Suasana begitu gersang, dan ku harus menghadapi teman-teman baru di seksi acara. Dengan karakter baru pula tentunya. Singkat cerita, rapat berlangsung begitu kacau, dan kita tak menemukan tema yang pantas. Semua berjalan menurut fikirannnya masing-masing. Ku, kalian, kita benar-benar pusing. Setidaknya untuk pertamakali.
Lantas, kita putuskan untuk mengulur waktu rapat. Sampai suatu malam yang menegangkan–entah ku lupa hari apa– ku dan teman-teman putera mengumpulkan sebesar mungkin keberanian untuk rapat di kelas puteri. Meski mungkin akan begitu berat sangsinya jika ketahuan. Rapat berlangsung begitu tenang, meski suasana egois masih terasa kental. Dan dari sana, mungkin untuk pertama kalinya ku kibarkan bendera perang dengan makhluk berinisial I yang juga baru ku kenal. Dari sana pula kita memulai keributan panjang, kau, aku, semuanya.
Kalian pasti masih ingat acara kudeta tempo lalu. Saat kalian tak puas dengan kepemimpinan seorang Amalul. Lalu kalianpun membuat spanduk dengan berpuluh slogan di sana, yang kalian kibarkan di kelas waktu itu. Kelaspun menjadi begitu panas, tak terkendali. Walau akhirnya Amalul tetap menjadi ketua FIKIR.
Haripun berganti, melewati rentetan waktu.
FIKIR tinggal beberapa hari lagi. Kitapun makin sering melakukan rapat, entah di kelas, ataupun di depan rumah Bu Bacih dengan kewaspadaan tingkat tinggi tentunya. Karena saat malam begitu menyelimuti rapat kita, ancaman itu pernah benar-benar datang. Sesosok berinisial A mulai menampakkan batang hidungnya dan kitapun lari tunggang langgang sambil tertawa.
Akhirnya waktunyapun tiba. Saat di mana kita bisa buktikan setiap tetes keringat kita. Kepada Kabid Ekstrakulikuler, yang begitu kerasnya membentak kita tempo hari. Kepada kepala sekolah puteri yang banyak mempermasalahkan dana dan tema, kepada kepala sekolah putera yang sejak dulu selalu menjadi ancaman terbesar saat rapat, dan kepada seluh penghuni DA, bahwa inilah kita. Kelas 4 putera dan puteri yang entah bagaimana kalian anggap.
Tapi tak selancar itu. Banyak masalah baru yang muncul sebelum acara. Listrik yang tiba-tiba mati, tidak ada lampu sorot, laptop yang tiba-tiba tak berfungsi, waktu yang ngaret, sampai pada pemateri yang –katanya– kurang ganteng. Kitapun panik, bahkan ada yang meangis.
Tapi ternyata kepanikan itu tak berlangsung lama. Dugaan-dugaan gila itu lenyap ketika tiba saatnya acara inti. Ternyata seseorang yang kita anggap dengan fikiran gila itu benar-benar hebat. Semua terdiam, acara begitu lancar dan sukses. Benar-benar di luar dugaan.
Kitapun berpelukan, bahkan sebagian ada yang menangis setelah acara selesai.
Dan kini, semua telah berakhir. Kita tak perlu lagi ribut mempermasalahkan tema, acara penyambutan, atau pemateri. Kini tak ada lagi rapat, meet, atau perdebata kecil di telefon dan e-mail. Semua telah berlalu. Lantas, kapan lagi...
Kenapa dengan DA?
Kenapa Dengan DA?
Sore itu huan begitu lebat. Aku dan teman-teman belum puas mengerumuni jendela asrama HIT. Menunggui satu dua santri puteri yang lewat, dan meneriakinya dengan banyak celotehan. Atau sekedar memanggilnya, tanpa tahu kenapa. Tapi biasanya kreatifitas kami muncul saat ada yang merespon panggilan kami, ya untuk menitipi salam, atau sekedar menjailnya.
Tapi hujan begitu lebat. Tak ada puteri yang pergi ke koperasi, orang-orangpun jarang. Biasanya walau tak ada puteri yang lewat, kami tetap tak kalah berisik untuk meneriaki teman putera sendiri jika kebetulan ia terlihat dari jendela. “Sedikit” ejekan dapat membuat kami ceria. Tapi kini jalan benar-benar sepi, mungkin sekarang hujanlah yang sedang meneriakiku dan teman-teman. Sama berisiknya.
”Boring euy, euwuh job!” spontan temanku berceloteh, sambil menarik kepalanya dari jendela dan merebah di atas kasur.
”Heueuh, teu jiga baheula.” yang lain menjawab. Sedikit-sedikit kamipun meninggalkan jendela, dan semua tiba-tiba saja berkumpul di kasur asrama HIT.
”Ah, ayeunamah DA teh kieu nya! Teu jiga baheula!” sebuah suara memulai pembicaraan panjang dan–mungkin–cukup serius. Emif meneruskan kata-katanya, dan dapat kulihat tatap kecewanya yang begitu pias. ”Baheulamah rame teh!”
Sore itu benar-benar mengingatkanku dan teman-teman pada kenangan kami dulu. Saat kami memulai perjalanan panjang di kehidupan yang aneh ini.
”Baheulamah resep teh ngumpul di masjid jeung kakak kelas ngomongkeun masalah agama.” Kemal yang dari tadi terdiam kini tak kalah antusias meluapkan kata-katanya.
”Heueuh, da ayeunamah mmasjid teh dipisah.” Galih menjawab.
Entah, sekarang aku dan teman-teman lebih serius membicarakan tentang kenapa dengan DA daripada ada apa dengan DA. Setelah akhir-akhir ini kami rasakan semua benar-benar berubah. Oke, mungkin agar lebih jelas harus ku obrolkan satupersatu ”prubahan-perubahan” itu.
Mungkin masjid yang harus menjadi sorotan utama. Tempat di mana ku memulai titik balik dari sekolah dasar yang begitu lugu, menuju proses kedewasaan yang hebat. Ku mulai mengenal apa itu agama, apa itu filsafat, apa itu bahasa dan banyak hal besar. Dari masjid, dari obrolan-obrolan yang terjadi di sana. Tapi sekarang mesjid Tsanawiyah dan Aliyah telah dipisah dengan alasan tidak cukup. Entahlah. Dan imbasnya, kini tak ada lagi obrolan hebat seperti dulu. Tak lagi ku lihat transisi berarti dari anak Tsanawiyah sekarang. Semua berjalan begitu datar, hambar. Atau kalaupun satu dua kali kami bertemu di mesjid, yang terjadi bukanlah obrolan tentang hal-hal hebat, tapi hal-hal lugu dan kekanak-kanakan.
Lantas, kami–ku dan teman-teman– haus akan semua itu. Kaipun menunggu, katanya mesjid akan disatukan kembali saat mesjid Aliyah selesai dirombak. Kamipun menunggu, entah sampai kapan.
Tak habis sampai di situ. Banyak hal yang begitu membingungkan. Kemarin-kemarin aku dan panitia lain mengadakan acara nonton bareng KMR dengan film The Last Samurai. Tujuannnya agar mubaligh-mubaligh KMR dapat bersemangat memperjuangkan Islam seperti orang-orang samurai memertahankan budaya samurainya. Mulai dari permintaan izin, kami meluncurkan surat peminjaman ruang multimedia. Setelah dibicarakan, kami tidak diizinkan menggunakan ruang multimedia dengan alasan komputernya rusak. Walaupun di sana masih ada laptop sebagai penggantinya, tapi kami dilarang menggunakannya. Katanya anak-anak tidak boleh menggunakan laptop multimedia. Entah, apa mungkin uang bulanan yang kini naik menjadi Rp. 400.000,00 masih belum cukup untuk membayar laptop itu. Tapi kami masih diizinkan menggunakan lab matematik. Walaupuin berat, tapi ku tak punya pilihan lain. Sampai di lab, ternyata cobaan iitu belum berhenti. Guru matematik sudah stand by menunggu muridnya untuk belajar. Akupun menjelaskan bahwa lab sudah dicarter untuk acara KMR. Tapi guru matematik dan satu guru Kimia ( yang terkenal killer ) tetap ingin menggunakan lab tersebut. Akhirnya, terpaksa ku luangkan waktu untuk ”ngobrol” dengan mereka mengenai lab itu. Beberapa waktu kemudian guru matematik itu keluar dari lab dan pergi. Sangat jelas ku lihat kesal di raut mukanya. Nonton pun dimulai, dengan waktu yang begitu pas-pasan. Akhirnya, sebelum kami menamatkan Disc terakhir, tiba waktunya adzan. Terpaksa ku menundanya sampai malam nanti. Akupun meminta izin untuk meneruskannnya malam nanti dan diizinkan.
Malampun tiba. Kami dan para anggota sudah siap di lab untuk menyaksikan kelanjutannya. Dan filmpun dimulai. Tapi tak selancar itu. Di tengah-tengah, kepala sekolah datang dan menyuruh membubarkan acara. Akupun kesal, dan kami harus “ngobrol” lagi. Dan “ngobrol” itu dapat mengulur waktu sampai acara habis, dan kamipun bebas. Beberapa hari setelah itu, aku dan beberapa panitia lain dipanggil ke kantor kepala sekolah, dan membicarakan tentang film itu. Beberapa alasan sempat mendarat di telingaku: karena filmnya tak pantaslah, bukan dari Islamlah, tak mendidiklah, dan bermacam alasan lainnya. Dan obrolan kamipun berlanjut panjang, panas. Sampai ku katakan bahwa film itu pernah diputar dalam training ESQ, dia baru bisa menerima. Akupun keluar dari kantor kepala sekolah, dengan tidak mengikuti pelajaran karena panggilan tadi begitu menguras waktu. Tapi beberapa hari kemudian ku merasa sedikit terobati karena guru Tarekhku bilang, ”Tah, cing atuh tonton film The Last Samrai! Etamah film alus. Conto kumaha bangsa Samurai ngabela bangsana, Islam oge kudu kitu!”
Rupanya masalah tak habis sampai di situ. Kami malah sering mendapat ancaman saat kumpul KMR. Pernah dulu kami dibubarkan karena kumpul di tempat puteri. Katanya dilarang putera kumpul di kelas puteri. Entahlah. Kamipun kesal, keterlaluan!
Akhirnya, pada 15 Maret 2007, kelasku mengadakan FIKIR. Saatnya ku buktikan pada kepala sekolah itu bahwa acara yang kami buat bukan sembarang acara seperti apa yang ia bilang. FIKIRpun dimulai, walau sebelumnya ada gertakan juga pada persiapannya karena kami tak masuk kelas.
Saatnya tiba. Ternyata benar! FIKIR itu benar-benar hebat!aku dan teman-teman berpelukan setelahnya dan bersyukur. Keren!
Ucapan selamatpun kami terima. Bahkan, salah satu pembina bilang, “Sejak 9 tahun Bapak tinggal di DA, FIKIR kalianlah yang paling bagus.” Di kantor sekolahpun guru-guru membicarakannya. Kepala sekolah itupun juga. Yang yang paling penting, ia tak lagi semena-mena menggertak ketika ku mengadakan acara KMR, walau kepergok kumpul bareng puteri.
Alam sudah menguning, hujan tak lagi begitu deras. Tapi obrolan kami masih panas. Senja tiba, menjemput mentari di ufuk barat yang jauh. Belum habis obrolan ini, –dan entah sampai kapan akan habis– suara pintu yang dipukuli tongkat kecil memaksa kami mengakhirinya. Pak Asep –pembina kami– sudah menggiring untuk solat maghrib.
Sore itu huan begitu lebat. Aku dan teman-teman belum puas mengerumuni jendela asrama HIT. Menunggui satu dua santri puteri yang lewat, dan meneriakinya dengan banyak celotehan. Atau sekedar memanggilnya, tanpa tahu kenapa. Tapi biasanya kreatifitas kami muncul saat ada yang merespon panggilan kami, ya untuk menitipi salam, atau sekedar menjailnya.
Tapi hujan begitu lebat. Tak ada puteri yang pergi ke koperasi, orang-orangpun jarang. Biasanya walau tak ada puteri yang lewat, kami tetap tak kalah berisik untuk meneriaki teman putera sendiri jika kebetulan ia terlihat dari jendela. “Sedikit” ejekan dapat membuat kami ceria. Tapi kini jalan benar-benar sepi, mungkin sekarang hujanlah yang sedang meneriakiku dan teman-teman. Sama berisiknya.
”Boring euy, euwuh job!” spontan temanku berceloteh, sambil menarik kepalanya dari jendela dan merebah di atas kasur.
”Heueuh, teu jiga baheula.” yang lain menjawab. Sedikit-sedikit kamipun meninggalkan jendela, dan semua tiba-tiba saja berkumpul di kasur asrama HIT.
”Ah, ayeunamah DA teh kieu nya! Teu jiga baheula!” sebuah suara memulai pembicaraan panjang dan–mungkin–cukup serius. Emif meneruskan kata-katanya, dan dapat kulihat tatap kecewanya yang begitu pias. ”Baheulamah rame teh!”
Sore itu benar-benar mengingatkanku dan teman-teman pada kenangan kami dulu. Saat kami memulai perjalanan panjang di kehidupan yang aneh ini.
”Baheulamah resep teh ngumpul di masjid jeung kakak kelas ngomongkeun masalah agama.” Kemal yang dari tadi terdiam kini tak kalah antusias meluapkan kata-katanya.
”Heueuh, da ayeunamah mmasjid teh dipisah.” Galih menjawab.
Entah, sekarang aku dan teman-teman lebih serius membicarakan tentang kenapa dengan DA daripada ada apa dengan DA. Setelah akhir-akhir ini kami rasakan semua benar-benar berubah. Oke, mungkin agar lebih jelas harus ku obrolkan satupersatu ”prubahan-perubahan” itu.
Mungkin masjid yang harus menjadi sorotan utama. Tempat di mana ku memulai titik balik dari sekolah dasar yang begitu lugu, menuju proses kedewasaan yang hebat. Ku mulai mengenal apa itu agama, apa itu filsafat, apa itu bahasa dan banyak hal besar. Dari masjid, dari obrolan-obrolan yang terjadi di sana. Tapi sekarang mesjid Tsanawiyah dan Aliyah telah dipisah dengan alasan tidak cukup. Entahlah. Dan imbasnya, kini tak ada lagi obrolan hebat seperti dulu. Tak lagi ku lihat transisi berarti dari anak Tsanawiyah sekarang. Semua berjalan begitu datar, hambar. Atau kalaupun satu dua kali kami bertemu di mesjid, yang terjadi bukanlah obrolan tentang hal-hal hebat, tapi hal-hal lugu dan kekanak-kanakan.
Lantas, kami–ku dan teman-teman– haus akan semua itu. Kaipun menunggu, katanya mesjid akan disatukan kembali saat mesjid Aliyah selesai dirombak. Kamipun menunggu, entah sampai kapan.
Tak habis sampai di situ. Banyak hal yang begitu membingungkan. Kemarin-kemarin aku dan panitia lain mengadakan acara nonton bareng KMR dengan film The Last Samurai. Tujuannnya agar mubaligh-mubaligh KMR dapat bersemangat memperjuangkan Islam seperti orang-orang samurai memertahankan budaya samurainya. Mulai dari permintaan izin, kami meluncurkan surat peminjaman ruang multimedia. Setelah dibicarakan, kami tidak diizinkan menggunakan ruang multimedia dengan alasan komputernya rusak. Walaupun di sana masih ada laptop sebagai penggantinya, tapi kami dilarang menggunakannya. Katanya anak-anak tidak boleh menggunakan laptop multimedia. Entah, apa mungkin uang bulanan yang kini naik menjadi Rp. 400.000,00 masih belum cukup untuk membayar laptop itu. Tapi kami masih diizinkan menggunakan lab matematik. Walaupuin berat, tapi ku tak punya pilihan lain. Sampai di lab, ternyata cobaan iitu belum berhenti. Guru matematik sudah stand by menunggu muridnya untuk belajar. Akupun menjelaskan bahwa lab sudah dicarter untuk acara KMR. Tapi guru matematik dan satu guru Kimia ( yang terkenal killer ) tetap ingin menggunakan lab tersebut. Akhirnya, terpaksa ku luangkan waktu untuk ”ngobrol” dengan mereka mengenai lab itu. Beberapa waktu kemudian guru matematik itu keluar dari lab dan pergi. Sangat jelas ku lihat kesal di raut mukanya. Nonton pun dimulai, dengan waktu yang begitu pas-pasan. Akhirnya, sebelum kami menamatkan Disc terakhir, tiba waktunya adzan. Terpaksa ku menundanya sampai malam nanti. Akupun meminta izin untuk meneruskannnya malam nanti dan diizinkan.
Malampun tiba. Kami dan para anggota sudah siap di lab untuk menyaksikan kelanjutannya. Dan filmpun dimulai. Tapi tak selancar itu. Di tengah-tengah, kepala sekolah datang dan menyuruh membubarkan acara. Akupun kesal, dan kami harus “ngobrol” lagi. Dan “ngobrol” itu dapat mengulur waktu sampai acara habis, dan kamipun bebas. Beberapa hari setelah itu, aku dan beberapa panitia lain dipanggil ke kantor kepala sekolah, dan membicarakan tentang film itu. Beberapa alasan sempat mendarat di telingaku: karena filmnya tak pantaslah, bukan dari Islamlah, tak mendidiklah, dan bermacam alasan lainnya. Dan obrolan kamipun berlanjut panjang, panas. Sampai ku katakan bahwa film itu pernah diputar dalam training ESQ, dia baru bisa menerima. Akupun keluar dari kantor kepala sekolah, dengan tidak mengikuti pelajaran karena panggilan tadi begitu menguras waktu. Tapi beberapa hari kemudian ku merasa sedikit terobati karena guru Tarekhku bilang, ”Tah, cing atuh tonton film The Last Samrai! Etamah film alus. Conto kumaha bangsa Samurai ngabela bangsana, Islam oge kudu kitu!”
Rupanya masalah tak habis sampai di situ. Kami malah sering mendapat ancaman saat kumpul KMR. Pernah dulu kami dibubarkan karena kumpul di tempat puteri. Katanya dilarang putera kumpul di kelas puteri. Entahlah. Kamipun kesal, keterlaluan!
Akhirnya, pada 15 Maret 2007, kelasku mengadakan FIKIR. Saatnya ku buktikan pada kepala sekolah itu bahwa acara yang kami buat bukan sembarang acara seperti apa yang ia bilang. FIKIRpun dimulai, walau sebelumnya ada gertakan juga pada persiapannya karena kami tak masuk kelas.
Saatnya tiba. Ternyata benar! FIKIR itu benar-benar hebat!aku dan teman-teman berpelukan setelahnya dan bersyukur. Keren!
Ucapan selamatpun kami terima. Bahkan, salah satu pembina bilang, “Sejak 9 tahun Bapak tinggal di DA, FIKIR kalianlah yang paling bagus.” Di kantor sekolahpun guru-guru membicarakannya. Kepala sekolah itupun juga. Yang yang paling penting, ia tak lagi semena-mena menggertak ketika ku mengadakan acara KMR, walau kepergok kumpul bareng puteri.
Alam sudah menguning, hujan tak lagi begitu deras. Tapi obrolan kami masih panas. Senja tiba, menjemput mentari di ufuk barat yang jauh. Belum habis obrolan ini, –dan entah sampai kapan akan habis– suara pintu yang dipukuli tongkat kecil memaksa kami mengakhirinya. Pak Asep –pembina kami– sudah menggiring untuk solat maghrib.
Eksistensi Remaja Sebagai Pelajar Ideal
Sekilas, ketika kata pendidikan terlintas dalam benak para pelajar, maka apa yang akan muncul pada fikiran mereka? Seragam putih, kelas yang terkadang begitu mengancam, mayoritas guru yang keras, juga sistem yang cenderung otoriter. Begitulah mungkin kata pendidikan terkonsep sedemikian rupa dalam perspektif mayoritas pelajar Indonesia, dengan kecenderungan keras bahwa segala hal yang berbau pendidikan berarti harus memasuki satu lembaga formal bernama sekolah. Dan ironinya, seluk beluk sekolah yang kontradiktif dan sering kali menakut-nakuti para pelajar juga harus terbawa ketika kata pendidikan melintas di fikiran mereka. Imbasnya, segala hal yang berbau pendidikan haruslah selalu mengancam dan menakutkan. Dan dalam realita seperti ini, bagaimanakah para pelajar dapat meraih haknya dalam memperoleh pendidikan sehingga dapat terwujud kader-kader bangsa yang unggul dari kualitas dan kuantitasnya? Mungkinkah sekolah yang sekarang melandasi kita dalam memperoleh pendidikan telah benar-benar bekerja secara fungsional sesuai dengan visi pendidikan itu sendiri, yaitu untuk menyalurkan ilmu dari genarasi ke generasi, atau hanya sekedar melegalisir para remaja dengan seragam dan perangkat lainnya sehingga dapat benar-benar disebut pelajar?
Sejenak mari kita renungkan proses pendidikan sebelum sekarang, yang seringkali terkenal ortodok, jumud, dan kuno.
Dulu, pendidikan disampaikan melalui tembang, kidung, puisi, juga cerita kepahlawanan. Berbagai tokoh agama telah mengambil eksistensi penting di sini. Karena bagaimanapun, pokok-pokok pendidikan mempunyai relasi langsung dengan ajaran agama itu sendiri. Seperti sejak abad 30SM, di Mesir orang-orang sudah memulai metode seperti ini dengan sumber Kitab Taurat dan Talmud. Atau sejak tahun 1200 SM, pendeta Hindu sudah mulai melaksanakan metode ini di lembah Indus dengan Kitab Vedanya.
Untuk kawasan Eropa, pendidikan mengalami revolusi sejak lahirnya pemikir-pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, setelah sebelumnya pendidikan tersebut mendapat pengaruh besar dari cerita-cerita kuno seperti Iliad, Odyssey, dan lain sebagainya. Dan dari sini mulailah terjadi perkembangan pada sistem pendidikan. Seperti halnya di kawasan romawi abad pertama, di mana pendidikan lebih diorentasikan pada keorganisasian. Imbasnya, penguasaan massa, pidato, dan segala hal tentang keorganisasian menjadi substansi dari pendidikan itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan mengalami evolusi sesuai dengan keadaan sosial yang terjadi waku itu. Seperti halnya yang terjadi di abad 17, di mana Rene Descartes lebih menitik beratkan pendidikan pada bidang filsafat, Wolfgan Ratke pada bidang bahasa atau John Locke yang cenderung pada pertanian, pegembangan kreatifitas, dan kesegaran jasmani dengan sinkronisasi pada keadaan sosial waktu itu.
Barulah di abad 19 mulai adanya pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan yang akhirnya kita sebut dengan pendidikan modern. Pada abad ini mulai lahir gagasan bahwa pendidikan sebaiknya disama ratakan, dalam artian materi pengajaran disesuaikan menurut standar nsional. Dan pada abad 20, akhirnya gagasan ini diperkuat Ellen Key dengan pernyataannya bahwa pendidikan harus dilaksanakan sesuai kemampuan anak didik, bukan karena kebutuhan sosial golongan.
Setelah mengalami berbagai revolusi, sampailah pendidikan pada sistem yang ita kenal sekarang. Dan khususnya untuk negara kita, dengan berbagai atribut, metode dan sistem yang kerap kali berubah-ubah. Akan tetapi, dengan adanya sistem modern seperi ini, secara faktual para pelajar mengindikasikan hal-hal yang kontradiktif. Karena tak sedikit terjadi masalah dengan ketidak sesuaian di kelas, doktrin-doktrin tentang guru: terlalu radikal, kurang perhatian, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada tawuran antar pelajar sebagai indikasi dari dekadensi moral. Lantas, jika dibandingkan, bukankah saat tak ada sistem seperti sekarang (melalui metode yang kita anggap kuno), lahir tokoh-tokoh dunia seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang buah fikirannya mendominasi pemikiran-pemikiran kontemporer? Dengan keadaan seperti ini, bukankah lebih baik pendidikan dilakukan sesuai metode zaman dulu, atau bahkan tanpa sekolah?
Secara ideal, sekolah merupakan sarana yang sangat cocok dalam melakukan proses pendidikan (dan karena itulah di sini sangat diorentasikan pada permasalahan seputar sekolah). Peraturan, sistem, dan fasilitas yang memadai merupakan indikasi penting bahwa sekolah diatur dengan manajemen yang baik. Dan bagaimanapun, pendidikan yang telah diatur dengan metode sedemikian rupa hasilnya cenderung akan lebih baik. Akan tetapi, secara faktual ternyata yang terjadi secara dominan adalah hal-hal kontradiktif. Secara garis besar, ada dua macam faktor yang berpengaruh penting di sini, yaitu faktor internal mengenai kepribadian seorang pelajar, dan faktor eksternal, yaitu teman, keluarga, guru dan peraturan. Dan di sinilah diperlukan adanya peran aktif remaja sebagai pelajar, juga kader bangsa yang terdidik untuk menanganinya, sehingga diharapkan dapat tercipta situasi pembelajaran yang kondusif, efektif, dan efisien.
Pertama, faktor internal mengenai kepribadian pelajar. Di sini masalah yang terjadi tidak begitu kompleks, karena secara dominan telah dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang akan dijelaskan kemudian. Secara garis besar, masalah yang perlu diperhatikan pada aspek ini adalah bagaimana remaja memahami kondisi lingkungannya dan reaksi yang terjadi setelah itu. Dalam hal ini lebih diaksentuasikan pada remaja karena problematika di masa remaja sangatlah komplels, padahal masa remaja adalah masa di mana semuanya mulai dibentuk (jati diri, kepribadian, pola hidup, dan lain sebagainya). Seperti yang diungkapkan Sean Covey,
“Bayangkan seutas tambang sepanjang delapan puluh kaki terpampang di depanmu. Setiap kaki mewakili satu tahun usiamu. Masa remaja hanya tujuh tahun, begitu singkat, tetapi ketujuh tahun itu memengaruhi enam puluh satu sisanya.”
Di sini remaja berperan penting dalam pembentukan kepribadiannya sebagai pelajar yang ideal, agar tidak terbawa arus jika ligkungan sekolahnya lebih mencerminkan kebiasaan negatif. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnhya, pemahaman tentang kondisi lingkungan akan baik dan buruknya juga kesadaran akan eksistensi remaja yang ideal sangatlah penting. Dengan kata lain, remaja berperan untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang-ruang positif bagaimanapun kondisi lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi, dengan begitu kompleksnya problematika masa remaja atau hal-hal yang masih bias tapi cenderung dipandang negatif, besar kemungkinan paradigma remaja akan berubah secara sinkron dengan pola hidup lingkungan yang akhirnya terealisasi lewat perlakuan nyata dan lebih parah lagi hal itu akan membudaya di kalangan pelajar, sehingga eksistensi remaja sebagai pelajar seakan berubah. Seperti halnya ketika dalam satu lingkungan kelas mayoritas pelajarnya sering bolos, maka setidaknya palajar yang lain akan meganggap bahwa bolos adalah hal biasa. Yang karena paradigma seperti demikian, maka pelajar yang lainpun melakukan hal yang sama. Setelah beberapa kali dilakukan, akhirnya bolos menjadi satu budaya dan ironinya, terkadang timbul anggapan bahwa pelajar yang tidak pernah bolos adalah pelajaryang tidak normal. Dan secara tidak langsung hal ini melegalisir bahwa bolos merupakan satu predikat pelajar ideal. Di sinilah benar-benar diperlukan adanya pemahaman pelajar tentang lingkungannya (dalam hal ini sekolah) yang secara teknis diantaranya dapat dilakukan dengan berperan aktif di organisasi-organisasi pelajar.
Kedua, faktor eksternal yang secara garis besar meliputi teman, keluarga, guru, dan peraturan. Di sinilah problematika masa remaja terasa begitu kompleks.
Di sini teman menempati urutan pertama atau faktor terbesar yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja. Karena seringnya bergaul dan berkomunikasi antar sesama teman, maka tercipta satu bentuk solidaritas yang sangat tinggi. Dengan situasi seperti ini, maka tidak heran jika banyak remaja yang mengikuti segala hal agar terjadi kesinkronan dengan teman-temannya, suka atau tidak, positif atau negatif.
Pada umumnya ada dua permasalahan ini di sini. Pertama, jika lingkungan/pergaulan teman seorang pelajar cenderung negatif, dan ke dua, kecenderungan mengikuti apapun kebiasaan seorang teman demi sinkronisasi, baik itu postif maupun negatif.
Untuk lingkungan dengan kecenderungan pergaulan negatif, maka pada kawasan inilah perlu adanya paradigma remaja yang benar-benar dewasa. Karena secara faktual, pola hidup seorang remaja banyak berubah dengan lingkungan seperti ini. Juga terbukti bahwa kecenderungan solidaritas dalam lingkungan seperti ini sangatlah kuat, di mana dedikasi seseorang kepada teman dan kelompoknya mayoritas melebihi apapun. Sehingga pengorbanan menjadi bagian dari proses pertemanan, yang sayangnya, dalam hal ini pengorbanan mengalami reduksi kata yang kontradiktif, dan banyak dijadikan alas an untuk memperbaiki citra suatu perbuatan negatif.
Selanjutnya, masalah yang timbul dalam lingkup pertemanan adalah sinkronisasi. Disadari atau tidak, seorang remaja akan lebih direspon dan diakui eksistensinya ketika ia sinkron dengan teman atau kelompoknya dalam berbagai aspek. Saat mayoritas pelajar dalam satu kelas terbiasa datang terlambat, maka eksistensi pelajar yang senang tepat waktu dalam lingkungan tersebut terasa tidak bersahabat. Dalam keadaan seperti ini, kecenderungan remaja lebih memilih untuk meninggalkan kebiasaannya, dan Mengikuti kelompoknya. Atau jika lingkungannya terbiasa dengan hal positif. Yang menjadi masalah di sini bukanlah perubahan dari kebiasaan negatif menuju positif, tapi tidak tentunya kepribadian. Yang imbasnya akan timbul ketergantungan pada lingkungan yang dan dikhawatirkan adalah ketika remaja tersebut kembali pada lngkungan negatif. Dan inti permasalahannya adalah eksistensi remaja tersebut dikendalikan oleh lingkungan, yang idealnya dialah yang mengendalikan, minimalnya untuk dirinya sendiri, dan lebihnya untuk lingkungan.
Dengan semua realita seperti ini, (dalam lingkkup teman), seringkali timbul anggapan bahwa solusi terbaik adalah menjauhi semua teman yang cenderung negatif, dan mencari teman dengan segala sifat positif. Akan tetapi timbul masalah baru, bukankah dengan cara seperti ini telah benar-bnar lahir anggapan bahwa pada orang-orang yang dianggap baik telah benar-benar terdapat sifat baik yang absolut, dan dalam orang-oang yang dianggap negatif benar-benar terdapat sifat buruk yang absolut? Jika dihadapkan dengan konsep yang ideal, bukankah setiap otrang mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing? Dengan demikian, maka peran remaja yang terpenting di sini bukanlah memilih teman, akan tetapi menempatkan eksistensinya sebagai teman yang benar-benar teman, dalam artian dapat menemani temannya dalam waktu yang dibutuhkan. Ketika ada beberapa pelajar yang sering terlambat, maka pada dasarnya pelajar tersebut membutuhkan teman yang dapat mengatasi keterlambatannya. Sehingga jelas, peran remaja dalam hal ini bukan malah menambah kebutuhan temannya dengan ikut terlambat, akan tetapi memberinya solusi dengan berbagai cara untuk mengatasi keterlambatannya. Bukankah Islam adalah rahmatan li `alamin? Teringat akan kata-kata bijak,
“Ketika kamu melihat laut yang tercemar, maka jernihkanlah laut tersebut, dan tidak ikut tercemar di dalamnya. Atau ketika kamu melihat hutan gundul yang gersang, maka hijaukanlah kembali hutan itu.”
Faktor eksternal kedua adalah keluarga. Masalah yang terjadi pada keluarga pestilah harus terbawa pada semua aspek kehidupan, termasuk pada pendidikan. Seorang yang mempunyai masalah pada keluarganya seperti pertengkaran orang tua, atau masalah ekonomi akan terlihat menyimpan sesuatu yang berbeda, dan semangat belajarnya menurun derastis. Hal ini disebabkan diantaranya karena rasa memiliki remaja terhadap keluarga yang sangat minim.
Adapun di sini, remaja berperan untuk ikut andil lebih dalam pada lingkup keluarga. Dengan aktif berperan seperti ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga secara baik juga mematuhi nasihat orang tua dengan segala kesadaran, maka akan timbul rasa memahami, yang akhirnya menumbuhkan rasa memiliki akan keluarga itu sendiri. Dengan demikian, remaja akan cenderung berperilaku sebagai subjek daripada objek. Dalam artian masalah-masalah yang datang dari keluarga akan senantiasa ditanggapi dengan kata bagaimana, bukan dengan kata mengapa. Sehingga, pendidikan tidak akan terlalu terganggu dengan adanya masalah keluarga.
Faktor ketiga adalah guru. Terkadang guru terasa begitu otoriter, sehingga mambuat kondisi kelas sangat membosankan. Atau juga sebagian ada yang galak, dan membuat kelas seakan di neraka. Dan masih banyak lagi karakter lain yang dengannya situasi kelas dibentuk.
Untuk menghadapi masalah ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menerimanya dengan bijak, kedua, memperbaikinya secara efektif.
Pertama,menerimanya dengan bijak. Adakalanya karakter guru yang tidak relevan dengan aturan pembelajaran menurut peersepsi pelajar menjadi masalah karena kekurangan pelajar dalam memandang baik buruknya sesuatu. Terkadang sesuatu dianggap baik hanya karena kesinkronan dengan hati penilainya. Secara sekilas, tanpa memerhatikan efek jangka panjangnya. Bukankah inti dari pembelajaran adalah membentuk para cendikiawan dan bukan melakukan hal-hal yang selalu sekehendak hati? Bukankah di satu waktu seseorang harus berjuang dan berkorban untuk mendapat sesuatu? Maka di sini pelajar berperan dalam mengubah paradigmanya sendiri. Seperti halnya ketika disodorkan pada banyak tugas, maka mayoritas akan memandang guru dengan persepsi negatif, dan dengan begitu terciptalah situasi belajar yang buruk. Tapi jika paradigma tersebut diubah, dengan menyadari bahwa latihan adalah sesuatu yang penting dan harus dilakukan, juga guru semata-mata memberikan tugas tersebut untuk kepentingan pelajarnya, maka kondisi pembelajaran akan berlangsung dengan lebih kondusif.
Kedua, memperbaikinya secara efektif. Untuk melakukan hal ini, diperlukan adanya waawasan yang cukup tentang baik dan buruknya teknis pengajaran, juga keefektifannya dengan kondisi kelas. Jika dengan paradigma yang matang, pandangan jauh ke depan, juga disertai fakta akan ketikak efektifan teknis pengajaran seorang guru untuk suatu kelas, maka bagaimanapun hal seperti ini harus diperbaiki. Karena dalam satu waktu suatu cara dapat berubah baik buruknya tergantung pada keadaan. Dan yang perlu diperhatikan di sini adalah teknis perbaikannya, agar dapat dilakukan secara efektif. Contohnya dapat dilakukan dengan berbicara langsung secara baik di luar jam pelajaran, atau secara tersirat ketika ada momentum yang memfasilitasinya, seperti drama, pidato, dan lain sebagainya.
Faktor keempat adalah tatatertib. Pada dasarnya, sama seperti guru, di satu sisi perlu adanya kesadaran dan perubahan paradigma seorang pelajar dalam memandang tatatertib. Yang berbeda di sini adalah tata tertib cenderung menunjukkan sesutu yang membawa dampak positif, sehingga kecil kemungkinan perlu adanya perbaikan dari pelajar. Tapi yang berbeda di sini yaitu kurangnya perhatian dalam pelaksanaan yang ironinya sering kali juga dilakukan oleh aparatur sekolah. Sehingga disaari atau tidak, timbul kegalauan pada hati pelajar tentang pelaksanaan tatatertib tersebut. Di mana pelanggaran tatatertib yang dilakukan oleh guru secara tersirat mengandung pembelajaran terhadap murid-muridnya. Dengan keadaan seperti ini, maka peran pelajar tidak terfokus pada perbaikan tatatertib, akan tetapi cenderung pada usaha pelaksanaan tatatertib tersebut oleh berbagai pihak, yang secara teknis dapat dilakukan dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap tatatertib, tidak mencontoh jika satu waktu terdapat guru yang melakukannya (pelanggaran) sehingga timbul rasa sungkan di hati guru tersebut untuk mengulanginya, atau dengan langsung berkonsultasi pada kepala sekolah dengan sikap seorang guru yang terbukti demikian.
Akhirnya, dengan semua hal tersebut diharapkan para remaja sebagai pelajar turut aktif berperan dalam jalannya pendidikan. Yang mana, setelah pendidikan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, maka besar kemungkinan dapat terwujud kecerdasan di kalangan para pelajar sebagai kader-kader bangsa yang akan menentukan eksistensi Tanah Air Indonesia di masa mendatang.
Garut, Oktober 2006
Sejenak mari kita renungkan proses pendidikan sebelum sekarang, yang seringkali terkenal ortodok, jumud, dan kuno.
Dulu, pendidikan disampaikan melalui tembang, kidung, puisi, juga cerita kepahlawanan. Berbagai tokoh agama telah mengambil eksistensi penting di sini. Karena bagaimanapun, pokok-pokok pendidikan mempunyai relasi langsung dengan ajaran agama itu sendiri. Seperti sejak abad 30SM, di Mesir orang-orang sudah memulai metode seperti ini dengan sumber Kitab Taurat dan Talmud. Atau sejak tahun 1200 SM, pendeta Hindu sudah mulai melaksanakan metode ini di lembah Indus dengan Kitab Vedanya.
Untuk kawasan Eropa, pendidikan mengalami revolusi sejak lahirnya pemikir-pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, setelah sebelumnya pendidikan tersebut mendapat pengaruh besar dari cerita-cerita kuno seperti Iliad, Odyssey, dan lain sebagainya. Dan dari sini mulailah terjadi perkembangan pada sistem pendidikan. Seperti halnya di kawasan romawi abad pertama, di mana pendidikan lebih diorentasikan pada keorganisasian. Imbasnya, penguasaan massa, pidato, dan segala hal tentang keorganisasian menjadi substansi dari pendidikan itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan mengalami evolusi sesuai dengan keadaan sosial yang terjadi waku itu. Seperti halnya yang terjadi di abad 17, di mana Rene Descartes lebih menitik beratkan pendidikan pada bidang filsafat, Wolfgan Ratke pada bidang bahasa atau John Locke yang cenderung pada pertanian, pegembangan kreatifitas, dan kesegaran jasmani dengan sinkronisasi pada keadaan sosial waktu itu.
Barulah di abad 19 mulai adanya pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan yang akhirnya kita sebut dengan pendidikan modern. Pada abad ini mulai lahir gagasan bahwa pendidikan sebaiknya disama ratakan, dalam artian materi pengajaran disesuaikan menurut standar nsional. Dan pada abad 20, akhirnya gagasan ini diperkuat Ellen Key dengan pernyataannya bahwa pendidikan harus dilaksanakan sesuai kemampuan anak didik, bukan karena kebutuhan sosial golongan.
Setelah mengalami berbagai revolusi, sampailah pendidikan pada sistem yang ita kenal sekarang. Dan khususnya untuk negara kita, dengan berbagai atribut, metode dan sistem yang kerap kali berubah-ubah. Akan tetapi, dengan adanya sistem modern seperi ini, secara faktual para pelajar mengindikasikan hal-hal yang kontradiktif. Karena tak sedikit terjadi masalah dengan ketidak sesuaian di kelas, doktrin-doktrin tentang guru: terlalu radikal, kurang perhatian, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada tawuran antar pelajar sebagai indikasi dari dekadensi moral. Lantas, jika dibandingkan, bukankah saat tak ada sistem seperti sekarang (melalui metode yang kita anggap kuno), lahir tokoh-tokoh dunia seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang buah fikirannya mendominasi pemikiran-pemikiran kontemporer? Dengan keadaan seperti ini, bukankah lebih baik pendidikan dilakukan sesuai metode zaman dulu, atau bahkan tanpa sekolah?
Secara ideal, sekolah merupakan sarana yang sangat cocok dalam melakukan proses pendidikan (dan karena itulah di sini sangat diorentasikan pada permasalahan seputar sekolah). Peraturan, sistem, dan fasilitas yang memadai merupakan indikasi penting bahwa sekolah diatur dengan manajemen yang baik. Dan bagaimanapun, pendidikan yang telah diatur dengan metode sedemikian rupa hasilnya cenderung akan lebih baik. Akan tetapi, secara faktual ternyata yang terjadi secara dominan adalah hal-hal kontradiktif. Secara garis besar, ada dua macam faktor yang berpengaruh penting di sini, yaitu faktor internal mengenai kepribadian seorang pelajar, dan faktor eksternal, yaitu teman, keluarga, guru dan peraturan. Dan di sinilah diperlukan adanya peran aktif remaja sebagai pelajar, juga kader bangsa yang terdidik untuk menanganinya, sehingga diharapkan dapat tercipta situasi pembelajaran yang kondusif, efektif, dan efisien.
Pertama, faktor internal mengenai kepribadian pelajar. Di sini masalah yang terjadi tidak begitu kompleks, karena secara dominan telah dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang akan dijelaskan kemudian. Secara garis besar, masalah yang perlu diperhatikan pada aspek ini adalah bagaimana remaja memahami kondisi lingkungannya dan reaksi yang terjadi setelah itu. Dalam hal ini lebih diaksentuasikan pada remaja karena problematika di masa remaja sangatlah komplels, padahal masa remaja adalah masa di mana semuanya mulai dibentuk (jati diri, kepribadian, pola hidup, dan lain sebagainya). Seperti yang diungkapkan Sean Covey,
“Bayangkan seutas tambang sepanjang delapan puluh kaki terpampang di depanmu. Setiap kaki mewakili satu tahun usiamu. Masa remaja hanya tujuh tahun, begitu singkat, tetapi ketujuh tahun itu memengaruhi enam puluh satu sisanya.”
Di sini remaja berperan penting dalam pembentukan kepribadiannya sebagai pelajar yang ideal, agar tidak terbawa arus jika ligkungan sekolahnya lebih mencerminkan kebiasaan negatif. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnhya, pemahaman tentang kondisi lingkungan akan baik dan buruknya juga kesadaran akan eksistensi remaja yang ideal sangatlah penting. Dengan kata lain, remaja berperan untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang-ruang positif bagaimanapun kondisi lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi, dengan begitu kompleksnya problematika masa remaja atau hal-hal yang masih bias tapi cenderung dipandang negatif, besar kemungkinan paradigma remaja akan berubah secara sinkron dengan pola hidup lingkungan yang akhirnya terealisasi lewat perlakuan nyata dan lebih parah lagi hal itu akan membudaya di kalangan pelajar, sehingga eksistensi remaja sebagai pelajar seakan berubah. Seperti halnya ketika dalam satu lingkungan kelas mayoritas pelajarnya sering bolos, maka setidaknya palajar yang lain akan meganggap bahwa bolos adalah hal biasa. Yang karena paradigma seperti demikian, maka pelajar yang lainpun melakukan hal yang sama. Setelah beberapa kali dilakukan, akhirnya bolos menjadi satu budaya dan ironinya, terkadang timbul anggapan bahwa pelajar yang tidak pernah bolos adalah pelajaryang tidak normal. Dan secara tidak langsung hal ini melegalisir bahwa bolos merupakan satu predikat pelajar ideal. Di sinilah benar-benar diperlukan adanya pemahaman pelajar tentang lingkungannya (dalam hal ini sekolah) yang secara teknis diantaranya dapat dilakukan dengan berperan aktif di organisasi-organisasi pelajar.
Kedua, faktor eksternal yang secara garis besar meliputi teman, keluarga, guru, dan peraturan. Di sinilah problematika masa remaja terasa begitu kompleks.
Di sini teman menempati urutan pertama atau faktor terbesar yang mempengaruhi kehidupan seorang remaja. Karena seringnya bergaul dan berkomunikasi antar sesama teman, maka tercipta satu bentuk solidaritas yang sangat tinggi. Dengan situasi seperti ini, maka tidak heran jika banyak remaja yang mengikuti segala hal agar terjadi kesinkronan dengan teman-temannya, suka atau tidak, positif atau negatif.
Pada umumnya ada dua permasalahan ini di sini. Pertama, jika lingkungan/pergaulan teman seorang pelajar cenderung negatif, dan ke dua, kecenderungan mengikuti apapun kebiasaan seorang teman demi sinkronisasi, baik itu postif maupun negatif.
Untuk lingkungan dengan kecenderungan pergaulan negatif, maka pada kawasan inilah perlu adanya paradigma remaja yang benar-benar dewasa. Karena secara faktual, pola hidup seorang remaja banyak berubah dengan lingkungan seperti ini. Juga terbukti bahwa kecenderungan solidaritas dalam lingkungan seperti ini sangatlah kuat, di mana dedikasi seseorang kepada teman dan kelompoknya mayoritas melebihi apapun. Sehingga pengorbanan menjadi bagian dari proses pertemanan, yang sayangnya, dalam hal ini pengorbanan mengalami reduksi kata yang kontradiktif, dan banyak dijadikan alas an untuk memperbaiki citra suatu perbuatan negatif.
Selanjutnya, masalah yang timbul dalam lingkup pertemanan adalah sinkronisasi. Disadari atau tidak, seorang remaja akan lebih direspon dan diakui eksistensinya ketika ia sinkron dengan teman atau kelompoknya dalam berbagai aspek. Saat mayoritas pelajar dalam satu kelas terbiasa datang terlambat, maka eksistensi pelajar yang senang tepat waktu dalam lingkungan tersebut terasa tidak bersahabat. Dalam keadaan seperti ini, kecenderungan remaja lebih memilih untuk meninggalkan kebiasaannya, dan Mengikuti kelompoknya. Atau jika lingkungannya terbiasa dengan hal positif. Yang menjadi masalah di sini bukanlah perubahan dari kebiasaan negatif menuju positif, tapi tidak tentunya kepribadian. Yang imbasnya akan timbul ketergantungan pada lingkungan yang dan dikhawatirkan adalah ketika remaja tersebut kembali pada lngkungan negatif. Dan inti permasalahannya adalah eksistensi remaja tersebut dikendalikan oleh lingkungan, yang idealnya dialah yang mengendalikan, minimalnya untuk dirinya sendiri, dan lebihnya untuk lingkungan.
Dengan semua realita seperti ini, (dalam lingkkup teman), seringkali timbul anggapan bahwa solusi terbaik adalah menjauhi semua teman yang cenderung negatif, dan mencari teman dengan segala sifat positif. Akan tetapi timbul masalah baru, bukankah dengan cara seperti ini telah benar-bnar lahir anggapan bahwa pada orang-orang yang dianggap baik telah benar-benar terdapat sifat baik yang absolut, dan dalam orang-oang yang dianggap negatif benar-benar terdapat sifat buruk yang absolut? Jika dihadapkan dengan konsep yang ideal, bukankah setiap otrang mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing? Dengan demikian, maka peran remaja yang terpenting di sini bukanlah memilih teman, akan tetapi menempatkan eksistensinya sebagai teman yang benar-benar teman, dalam artian dapat menemani temannya dalam waktu yang dibutuhkan. Ketika ada beberapa pelajar yang sering terlambat, maka pada dasarnya pelajar tersebut membutuhkan teman yang dapat mengatasi keterlambatannya. Sehingga jelas, peran remaja dalam hal ini bukan malah menambah kebutuhan temannya dengan ikut terlambat, akan tetapi memberinya solusi dengan berbagai cara untuk mengatasi keterlambatannya. Bukankah Islam adalah rahmatan li `alamin? Teringat akan kata-kata bijak,
“Ketika kamu melihat laut yang tercemar, maka jernihkanlah laut tersebut, dan tidak ikut tercemar di dalamnya. Atau ketika kamu melihat hutan gundul yang gersang, maka hijaukanlah kembali hutan itu.”
Faktor eksternal kedua adalah keluarga. Masalah yang terjadi pada keluarga pestilah harus terbawa pada semua aspek kehidupan, termasuk pada pendidikan. Seorang yang mempunyai masalah pada keluarganya seperti pertengkaran orang tua, atau masalah ekonomi akan terlihat menyimpan sesuatu yang berbeda, dan semangat belajarnya menurun derastis. Hal ini disebabkan diantaranya karena rasa memiliki remaja terhadap keluarga yang sangat minim.
Adapun di sini, remaja berperan untuk ikut andil lebih dalam pada lingkup keluarga. Dengan aktif berperan seperti ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga secara baik juga mematuhi nasihat orang tua dengan segala kesadaran, maka akan timbul rasa memahami, yang akhirnya menumbuhkan rasa memiliki akan keluarga itu sendiri. Dengan demikian, remaja akan cenderung berperilaku sebagai subjek daripada objek. Dalam artian masalah-masalah yang datang dari keluarga akan senantiasa ditanggapi dengan kata bagaimana, bukan dengan kata mengapa. Sehingga, pendidikan tidak akan terlalu terganggu dengan adanya masalah keluarga.
Faktor ketiga adalah guru. Terkadang guru terasa begitu otoriter, sehingga mambuat kondisi kelas sangat membosankan. Atau juga sebagian ada yang galak, dan membuat kelas seakan di neraka. Dan masih banyak lagi karakter lain yang dengannya situasi kelas dibentuk.
Untuk menghadapi masalah ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menerimanya dengan bijak, kedua, memperbaikinya secara efektif.
Pertama,menerimanya dengan bijak. Adakalanya karakter guru yang tidak relevan dengan aturan pembelajaran menurut peersepsi pelajar menjadi masalah karena kekurangan pelajar dalam memandang baik buruknya sesuatu. Terkadang sesuatu dianggap baik hanya karena kesinkronan dengan hati penilainya. Secara sekilas, tanpa memerhatikan efek jangka panjangnya. Bukankah inti dari pembelajaran adalah membentuk para cendikiawan dan bukan melakukan hal-hal yang selalu sekehendak hati? Bukankah di satu waktu seseorang harus berjuang dan berkorban untuk mendapat sesuatu? Maka di sini pelajar berperan dalam mengubah paradigmanya sendiri. Seperti halnya ketika disodorkan pada banyak tugas, maka mayoritas akan memandang guru dengan persepsi negatif, dan dengan begitu terciptalah situasi belajar yang buruk. Tapi jika paradigma tersebut diubah, dengan menyadari bahwa latihan adalah sesuatu yang penting dan harus dilakukan, juga guru semata-mata memberikan tugas tersebut untuk kepentingan pelajarnya, maka kondisi pembelajaran akan berlangsung dengan lebih kondusif.
Kedua, memperbaikinya secara efektif. Untuk melakukan hal ini, diperlukan adanya waawasan yang cukup tentang baik dan buruknya teknis pengajaran, juga keefektifannya dengan kondisi kelas. Jika dengan paradigma yang matang, pandangan jauh ke depan, juga disertai fakta akan ketikak efektifan teknis pengajaran seorang guru untuk suatu kelas, maka bagaimanapun hal seperti ini harus diperbaiki. Karena dalam satu waktu suatu cara dapat berubah baik buruknya tergantung pada keadaan. Dan yang perlu diperhatikan di sini adalah teknis perbaikannya, agar dapat dilakukan secara efektif. Contohnya dapat dilakukan dengan berbicara langsung secara baik di luar jam pelajaran, atau secara tersirat ketika ada momentum yang memfasilitasinya, seperti drama, pidato, dan lain sebagainya.
Faktor keempat adalah tatatertib. Pada dasarnya, sama seperti guru, di satu sisi perlu adanya kesadaran dan perubahan paradigma seorang pelajar dalam memandang tatatertib. Yang berbeda di sini adalah tata tertib cenderung menunjukkan sesutu yang membawa dampak positif, sehingga kecil kemungkinan perlu adanya perbaikan dari pelajar. Tapi yang berbeda di sini yaitu kurangnya perhatian dalam pelaksanaan yang ironinya sering kali juga dilakukan oleh aparatur sekolah. Sehingga disaari atau tidak, timbul kegalauan pada hati pelajar tentang pelaksanaan tatatertib tersebut. Di mana pelanggaran tatatertib yang dilakukan oleh guru secara tersirat mengandung pembelajaran terhadap murid-muridnya. Dengan keadaan seperti ini, maka peran pelajar tidak terfokus pada perbaikan tatatertib, akan tetapi cenderung pada usaha pelaksanaan tatatertib tersebut oleh berbagai pihak, yang secara teknis dapat dilakukan dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap tatatertib, tidak mencontoh jika satu waktu terdapat guru yang melakukannya (pelanggaran) sehingga timbul rasa sungkan di hati guru tersebut untuk mengulanginya, atau dengan langsung berkonsultasi pada kepala sekolah dengan sikap seorang guru yang terbukti demikian.
Akhirnya, dengan semua hal tersebut diharapkan para remaja sebagai pelajar turut aktif berperan dalam jalannya pendidikan. Yang mana, setelah pendidikan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, maka besar kemungkinan dapat terwujud kecerdasan di kalangan para pelajar sebagai kader-kader bangsa yang akan menentukan eksistensi Tanah Air Indonesia di masa mendatang.
Garut, Oktober 2006
Mengapa Harus Bodoh dan Malas?
Lulus, tidak, mengulang, melanjutkan, senang, kecewa, beribu tanya dan harap tersebut senantiasa hadir dan membayangi setiap orang sebelum tidur, makan, dan ketika menonton telvisi. Sampai secarik kertas putih membawa kabar kelulusan, atau terpampang pengumuman nilai ujian di halaman kantor TU.
Bahasa Indonesia : 08.00
Bahasa Inggris : 07.00
Matematika : 04.00
Tiba-tiba terdengar tangisan seorang, dua orang, empat orang, sampai hampir dua puluh orang ketika melihat salah satu nilainya yang tidak memenuhi standar 04.51. Sebagian yang bernasib sama hanya diam, bingung harus berbuat apa. Sebagian pasrah dan menunggu segala kemungkinan mendatang.
Beberapa hari kemudian muncul sorak-sorai di jalanan, meluapkan kecewa dan sedih, tanda penentangan untuk sistem UAN yang dirasa tidak adil. Menuntut hak ujian ulang, perubahan sistem, penilai, penurunan ketua Mendiknas, dan setumpuk masalah lain yang dianggap merugikan.
Dengan begitu mengejutkan, sedikit-sedikit merebak klaim sebagai balasan, bahwa siswa yang tidak lulus ujian adalah siswa yang malas dan bodoh. Sangat singkat, jelas, tapi juga menantang, karena serentak berhamburan aksi bakar ban bekas, tanda amarah yang kian besar.
Kenapa si A bisa lulus sementara si B tidak? Pertanyaan sangat mendasar dan sebagian menganggapnya kekanak-kanakan, karena dengan mudah dapat dijawab, si A rajin dan pintar, sementara si B tidak. Jawaban yang cukup logis, tapi di sisi lain perlu dipertanyakan kandungan keadilan dan keobjektifannya.
Jawaban tersebut lebih mengacu pada konsep sentrifugal ( aksi raksi ). Awalnya terlihat begitu logis dan idealis, tapi ketika dihadapkan pada realita UAN, seketika kandungannya menjadi begitu kejam dan menindas. Bagi sebagian orang yang berpotensi di ketiga bidang UAN, ujian bukanlah momentum yang begitu menakutkan, karena sehari-hari sudah terbiasa bermain dengan trigonometri, logaritma, passive voice, atau citra dan citraan. Keberuntungan sedang berpihak padanya. Tapi sebalikknya, bagi yang berpotensi di bidang lain, ini merupakan monster paling menakukan. Ketika setiap hari bergelut dengan Hukum Archimedes, mengulik lagu-lagu, atau berbagai kamus bahasa asing, tiba-tiba harus mampu mengerjakan soal-soal `aneh` yang bukan menjadi potensinya. Lantas, jika fakta dibalikkan, logiskah para musisi, politikus atau presiden sekalipun dapat lulus dalam ujian matematika? Apakah ini benar-benar aksi reaksi, atau hanya keberuntungan semata? Masihkah berlaku jawaban si A rajin dan pintar sementara si B tidak? Masihkah dapat dikatakan siswa yang tidak lulus hanyalah siswa yang malas dan bodoh?
Atau mungkin kata bodoh tersebut mengalami peyorasi. Mungkinkah seorang fisikawan, musisi masa depan, calon duta besar, juga calon atlet menerima cap sebagai orang bodoh? Jika kembali pada kamus besar bahasa Indonesi karangan W. J. S. Poerwadarminta, bodoh adalah tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau dapat (mengerjakan dsb). Lantas, apa dasar penyebutan orang-orang bodoh kepada para calon penerus bangsa? Atau mungkin para politikus, menteri, musisi, atlet yang sekarang dipuja-puja adalah orang-orang bodoh jika mereka tidak dapat mengerjakan soal Matematika, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris? Jika tidak, lalu apa maksud kata bodoh tersebut? Tidakkah terlalu sempit?
Juga untuk kata malas. Pantaskah anak yang rajin berlatih sepak bola, musik, menghitung rumus fisika dikatakan malas hanya karena jarang menggeluti matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Masih kembali pada W. J. S. Poerwadaminta, kata malas mengandung arti tidak mau bekerja (berbuat sesuatu). Disini terdapat pengertian kompleks, lantas, apakah sekarang kata malas pengalami pengkhususan hanya untuk orang yang tidak menggeluti Matematika Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris?
Sekali lagi, masihkah siswa yang tidak lulus ujian dikatakan malas dan bodoh?
Bahasa Indonesia : 08.00
Bahasa Inggris : 07.00
Matematika : 04.00
Tiba-tiba terdengar tangisan seorang, dua orang, empat orang, sampai hampir dua puluh orang ketika melihat salah satu nilainya yang tidak memenuhi standar 04.51. Sebagian yang bernasib sama hanya diam, bingung harus berbuat apa. Sebagian pasrah dan menunggu segala kemungkinan mendatang.
Beberapa hari kemudian muncul sorak-sorai di jalanan, meluapkan kecewa dan sedih, tanda penentangan untuk sistem UAN yang dirasa tidak adil. Menuntut hak ujian ulang, perubahan sistem, penilai, penurunan ketua Mendiknas, dan setumpuk masalah lain yang dianggap merugikan.
Dengan begitu mengejutkan, sedikit-sedikit merebak klaim sebagai balasan, bahwa siswa yang tidak lulus ujian adalah siswa yang malas dan bodoh. Sangat singkat, jelas, tapi juga menantang, karena serentak berhamburan aksi bakar ban bekas, tanda amarah yang kian besar.
Kenapa si A bisa lulus sementara si B tidak? Pertanyaan sangat mendasar dan sebagian menganggapnya kekanak-kanakan, karena dengan mudah dapat dijawab, si A rajin dan pintar, sementara si B tidak. Jawaban yang cukup logis, tapi di sisi lain perlu dipertanyakan kandungan keadilan dan keobjektifannya.
Jawaban tersebut lebih mengacu pada konsep sentrifugal ( aksi raksi ). Awalnya terlihat begitu logis dan idealis, tapi ketika dihadapkan pada realita UAN, seketika kandungannya menjadi begitu kejam dan menindas. Bagi sebagian orang yang berpotensi di ketiga bidang UAN, ujian bukanlah momentum yang begitu menakutkan, karena sehari-hari sudah terbiasa bermain dengan trigonometri, logaritma, passive voice, atau citra dan citraan. Keberuntungan sedang berpihak padanya. Tapi sebalikknya, bagi yang berpotensi di bidang lain, ini merupakan monster paling menakukan. Ketika setiap hari bergelut dengan Hukum Archimedes, mengulik lagu-lagu, atau berbagai kamus bahasa asing, tiba-tiba harus mampu mengerjakan soal-soal `aneh` yang bukan menjadi potensinya. Lantas, jika fakta dibalikkan, logiskah para musisi, politikus atau presiden sekalipun dapat lulus dalam ujian matematika? Apakah ini benar-benar aksi reaksi, atau hanya keberuntungan semata? Masihkah berlaku jawaban si A rajin dan pintar sementara si B tidak? Masihkah dapat dikatakan siswa yang tidak lulus hanyalah siswa yang malas dan bodoh?
Atau mungkin kata bodoh tersebut mengalami peyorasi. Mungkinkah seorang fisikawan, musisi masa depan, calon duta besar, juga calon atlet menerima cap sebagai orang bodoh? Jika kembali pada kamus besar bahasa Indonesi karangan W. J. S. Poerwadarminta, bodoh adalah tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau dapat (mengerjakan dsb). Lantas, apa dasar penyebutan orang-orang bodoh kepada para calon penerus bangsa? Atau mungkin para politikus, menteri, musisi, atlet yang sekarang dipuja-puja adalah orang-orang bodoh jika mereka tidak dapat mengerjakan soal Matematika, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris? Jika tidak, lalu apa maksud kata bodoh tersebut? Tidakkah terlalu sempit?
Juga untuk kata malas. Pantaskah anak yang rajin berlatih sepak bola, musik, menghitung rumus fisika dikatakan malas hanya karena jarang menggeluti matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Masih kembali pada W. J. S. Poerwadaminta, kata malas mengandung arti tidak mau bekerja (berbuat sesuatu). Disini terdapat pengertian kompleks, lantas, apakah sekarang kata malas pengalami pengkhususan hanya untuk orang yang tidak menggeluti Matematika Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris?
Sekali lagi, masihkah siswa yang tidak lulus ujian dikatakan malas dan bodoh?
Terimakasih Kak!
Sekarang, kurasakan nafasku yang terbang, darah yang benar-benar mengalir, dan langkah yang begitu tegap.
Hmm.., berapa kali ku menangis bulan ini? Berpisah, pergi, keluar, kapan kata-kata itu bisa tak lagi ku dengar? Kemarin teman sekelas, sekarang, kau pamit, pergi jauh. Besok, akankah kata itu terus kutemui dan memaksaku menangis lagi?
Ku tak ingin berpisah, sungguh. Jika perpisahan berwujud benda, pasti sudah ku bakar sampai mengabu. Jika tulisan, pasti kuhapus sampai tak terbaca. Jika, jika.., ah, sudahlah, jika hanya membuat imaji menggila, dan tatapan tak terarah. Ku tak bisa apa-apa selain menerimanya, kecewa, dan menangis.
Percuma ku berteriak, suara keras tak membuatmu kembali. Mengeluh, kau telah pergi. Tapi ku tak bisa tersenyum, tegar, dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Ku tak bisa berbohong, aku menangis, tak peduli siapa yang melihat, dan dimana ku berada.
Sekarang kau telah pergi, tak ada lagi yang mengomentari dengan berkata “jelek“ setelah ku turun dari mimbar, mengajak mengisi pengajian di luar, pergi ke warnet bersama, atau berdebat ketika besok ulangan umum. Semua hanya tinggal cerita.
Mulai dari suatu malam yang dingin, kalian masuk kelasku dengan wajah senyum dan penuh persahabatan. Ku sangat kesal, ngantuk dan capek. Ingin rasanya mengambil selimut, menutupi badan sampai esok. Tapi kalian masuk sangat lama, kelas begitu ribut. Perasaanku semakin boring, menyerapahimu dalam hati. Ku tak berani mengusirmu, mengeluh dihadapanmu. Sampai ketika sudah selesai, ku tersenyum lega, bersyukur.
Sedikit-sedikit terjadilah tragedi pais bekok, pais setum, dan goreng patut. Ku tak mengerti apa itu, mungkin makanan khas daerah seperti goreng pisang dan bala-bala. Kalian menyuruhku membelinya di Bu Oyon. Tak masalah, dan ku benar-benar melakukannya. Setidaknya sampai ku bersikap seperti orang bodoh, lalu semua orang memegangi perutnya dan tertawa sangat keras.
Beberapa hari kemudian kalian masuk asrama, bercerita tentang banyak hal. Aku menyukainya, meski setelahnya sering ketakutan jika sendiri di asrama. Ceritanya terlalu seram. Atau kadang ketika ku harapkan kedatangan kalian untuk duduk di kasurku dan ngobrol seperti hari-hari sebelumnya, kalian malah berbicara hal-hal boring yang tak kusukai. Membuatku ngantuk dan jengah.
Kemudian kita memulai saling mengerti di KMR, belajar tentang banyak hal. Bermuka tebal di hadapan puteri, ditertawai, merasakan kekaguman orang-orang, tepuk tangan, dan sebentar kadang menjadi obrolan banyak orang. Semua menikmati perjalanan ini. Lari ke Ngamplang setiap jum`at subuh, berdebat di Mesjid Agung suatu saat, melaksanakan mission impossible, uji mental di pengkolan, buka bersama, tahajud bersama, festival pocong yang menyenangkan–begitulah kita menyebut jurit malam yang tak menyeramkan dulu–, sampai penutupan yang gelap. Kau, aku, mereka menangis disana.
Atau dengan Hisapbu, ketika sore melewati waktu ashar menjadi saat yang luar biasa. Banyak hal yang seharusnya membuatku pusing dan ku kutuki seperti rumus-rumus fisika, data sejarah IPS, dan undang-undang di PPKn. Tapi ini berbeda. Ku, dan semua menyukainya. Ini menyenangkan, hebat.
Lalu Mading yang penuh kreasi. Meski tak bisa melahirkan tokoh imaji seperti Si Siuk dan Si Fulan, setidaknya ku masih punya puisi yang hebat–dulu ku anggap begitu–. Ini suasana menyenangkan, ketika banyak orang berkerumun untuk melihat apakah karya mereka dipajang, pagi-pagi, selepas bangun tidur di kelas.
Waktu membawa semua orang pada ruang yang berbeda. Ku memegang nama kelas II, dan kalian kelas V. Tak ada lagi KMR, KQR, Hisapbu, atau Mading seperti kemarin bersama. Kalian sudah harus mengurusi ini-itu IRM. Entahlah, ku tak begitu faham. Tapi ku senang. LT, Nasyfest, Marakat, MC dan semua yang kalian buat.
Tapi ini bukan sekedar tertawaan, hiburan yang menghilangkan stress akan hari ini yang entah berapa bahasa kita gunakan untuk menyebutnya, walau seakan tak tertemukan kata yang cocok. Kalian telah membuat sesuatu yang lebih. Dan sekarang, lihatlah, adik-adikmu sudah menjadi seperti ini.
18 Juni 2006, ketika kau memelukku dan menangis...
Ku kesal, tak ingin mengalirkan air mata lagi. Tak ingin kalian pergi, meninggalkan obrolan mesjid, kurawa di ruang makan, dan semuanya. Kalian juga begitu.
Sampai akhirnya, kau benar-benar menutup cerita ini. Tak banyak kata yang tertulis di paragrap terakhir, tapi sangat berharga.
”Maneh neruskeun di DA? hiks, hiks”
”–ku sangat bingung– Hiks, hiks, heueuh“
”Bal, maneh tong ngerakeun urang, nitip DA heueuh, hiks, hiks, hampura urang lamun sok salah ka maneh, hiks”
“Bal, A masih pengen ngobrol di mesjid lagi, hiks, becanda lagi, A gak pengen ninggalin DA, hiks.”
“Iya A, maafin Iqbal, hiks”
Tapi biarlah, kita tak punya jalan lain, karena memang beginilah hidup. Sudah bukan waktunya lagi kalian di sini, ini sudah selesai. Selamat, kalian hebat! Maafkan aku, Terimakasih Kak!
Hmm.., berapa kali ku menangis bulan ini? Berpisah, pergi, keluar, kapan kata-kata itu bisa tak lagi ku dengar? Kemarin teman sekelas, sekarang, kau pamit, pergi jauh. Besok, akankah kata itu terus kutemui dan memaksaku menangis lagi?
Ku tak ingin berpisah, sungguh. Jika perpisahan berwujud benda, pasti sudah ku bakar sampai mengabu. Jika tulisan, pasti kuhapus sampai tak terbaca. Jika, jika.., ah, sudahlah, jika hanya membuat imaji menggila, dan tatapan tak terarah. Ku tak bisa apa-apa selain menerimanya, kecewa, dan menangis.
Percuma ku berteriak, suara keras tak membuatmu kembali. Mengeluh, kau telah pergi. Tapi ku tak bisa tersenyum, tegar, dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Ku tak bisa berbohong, aku menangis, tak peduli siapa yang melihat, dan dimana ku berada.
Sekarang kau telah pergi, tak ada lagi yang mengomentari dengan berkata “jelek“ setelah ku turun dari mimbar, mengajak mengisi pengajian di luar, pergi ke warnet bersama, atau berdebat ketika besok ulangan umum. Semua hanya tinggal cerita.
Mulai dari suatu malam yang dingin, kalian masuk kelasku dengan wajah senyum dan penuh persahabatan. Ku sangat kesal, ngantuk dan capek. Ingin rasanya mengambil selimut, menutupi badan sampai esok. Tapi kalian masuk sangat lama, kelas begitu ribut. Perasaanku semakin boring, menyerapahimu dalam hati. Ku tak berani mengusirmu, mengeluh dihadapanmu. Sampai ketika sudah selesai, ku tersenyum lega, bersyukur.
Sedikit-sedikit terjadilah tragedi pais bekok, pais setum, dan goreng patut. Ku tak mengerti apa itu, mungkin makanan khas daerah seperti goreng pisang dan bala-bala. Kalian menyuruhku membelinya di Bu Oyon. Tak masalah, dan ku benar-benar melakukannya. Setidaknya sampai ku bersikap seperti orang bodoh, lalu semua orang memegangi perutnya dan tertawa sangat keras.
Beberapa hari kemudian kalian masuk asrama, bercerita tentang banyak hal. Aku menyukainya, meski setelahnya sering ketakutan jika sendiri di asrama. Ceritanya terlalu seram. Atau kadang ketika ku harapkan kedatangan kalian untuk duduk di kasurku dan ngobrol seperti hari-hari sebelumnya, kalian malah berbicara hal-hal boring yang tak kusukai. Membuatku ngantuk dan jengah.
Kemudian kita memulai saling mengerti di KMR, belajar tentang banyak hal. Bermuka tebal di hadapan puteri, ditertawai, merasakan kekaguman orang-orang, tepuk tangan, dan sebentar kadang menjadi obrolan banyak orang. Semua menikmati perjalanan ini. Lari ke Ngamplang setiap jum`at subuh, berdebat di Mesjid Agung suatu saat, melaksanakan mission impossible, uji mental di pengkolan, buka bersama, tahajud bersama, festival pocong yang menyenangkan–begitulah kita menyebut jurit malam yang tak menyeramkan dulu–, sampai penutupan yang gelap. Kau, aku, mereka menangis disana.
Atau dengan Hisapbu, ketika sore melewati waktu ashar menjadi saat yang luar biasa. Banyak hal yang seharusnya membuatku pusing dan ku kutuki seperti rumus-rumus fisika, data sejarah IPS, dan undang-undang di PPKn. Tapi ini berbeda. Ku, dan semua menyukainya. Ini menyenangkan, hebat.
Lalu Mading yang penuh kreasi. Meski tak bisa melahirkan tokoh imaji seperti Si Siuk dan Si Fulan, setidaknya ku masih punya puisi yang hebat–dulu ku anggap begitu–. Ini suasana menyenangkan, ketika banyak orang berkerumun untuk melihat apakah karya mereka dipajang, pagi-pagi, selepas bangun tidur di kelas.
Waktu membawa semua orang pada ruang yang berbeda. Ku memegang nama kelas II, dan kalian kelas V. Tak ada lagi KMR, KQR, Hisapbu, atau Mading seperti kemarin bersama. Kalian sudah harus mengurusi ini-itu IRM. Entahlah, ku tak begitu faham. Tapi ku senang. LT, Nasyfest, Marakat, MC dan semua yang kalian buat.
Tapi ini bukan sekedar tertawaan, hiburan yang menghilangkan stress akan hari ini yang entah berapa bahasa kita gunakan untuk menyebutnya, walau seakan tak tertemukan kata yang cocok. Kalian telah membuat sesuatu yang lebih. Dan sekarang, lihatlah, adik-adikmu sudah menjadi seperti ini.
18 Juni 2006, ketika kau memelukku dan menangis...
Ku kesal, tak ingin mengalirkan air mata lagi. Tak ingin kalian pergi, meninggalkan obrolan mesjid, kurawa di ruang makan, dan semuanya. Kalian juga begitu.
Sampai akhirnya, kau benar-benar menutup cerita ini. Tak banyak kata yang tertulis di paragrap terakhir, tapi sangat berharga.
”Maneh neruskeun di DA? hiks, hiks”
”–ku sangat bingung– Hiks, hiks, heueuh“
”Bal, maneh tong ngerakeun urang, nitip DA heueuh, hiks, hiks, hampura urang lamun sok salah ka maneh, hiks”
“Bal, A masih pengen ngobrol di mesjid lagi, hiks, becanda lagi, A gak pengen ninggalin DA, hiks.”
“Iya A, maafin Iqbal, hiks”
Tapi biarlah, kita tak punya jalan lain, karena memang beginilah hidup. Sudah bukan waktunya lagi kalian di sini, ini sudah selesai. Selamat, kalian hebat! Maafkan aku, Terimakasih Kak!
Sahabatku, Friend 14
Setelahnya kita tak lagi menundukkan kepala, dan berbisik sendiri
Bagaimana ujian Nahwu kemarin? Apa kalian juga membuat tanda tanya besar di lembar jawab? Atau sama-sama lieur dan mengutuk soal dengan berpuluh kata MUNADA disana? Atau mungkin lebih baik. Entahlah, bukan itu yang kita ingin bicarakan sekarang.
Aku tak begitu tahu tentang lingkup hari kalian. Kita tak hidup satu asrama, kau disana, dan ku disini. Pembina kalian perempuan, dan pembinaku laki-laki. Kelasku berlantai keramik, kelas kalian tidak. Kalian sering dipuji guru-guru, sedang aku diserapahi. Apa yang kalian lakukan ketika pertama kali masuk? Menangiskah? Bagaimana pembina kalian, kapan kalian biasa tidur malam, bagaimana tanggapan kalian tentang menu makan, siapa santri putera terganteng menurut kalian? Hm.. ku tak banyak mengerti, kalian jauh lebih tahu. Lantas, apa yang harus ku tulis? Dari mana kita mulai? Entahlah, tapi setidaknya, ada banyak cerita yang telah kita buat.
Dulu kita masih sangat malu-malu, meski sebenarnya ingin bersama berkenalan, ngobrol, tertawa, dan melakukan banyak hal layaknya seorang teman. Ku menyembunyikannya, mengatakan tak ingin, bersama orang-orang yang juga begitu. Bahkan mungkin orang yang membawa cap dan mengkampanyekan diri sebagai orang ter-JM juga menyimpan keinginannya dan menyulapnya menjadi rasa malu yang amat besar, sim salabim! Tapi itu hanya proses, karena sekarang kita sudah mempunyai cukup adrenalin untuk meeting di bawah aula, di Bu Apip, atau di depan rumah Bu bacih. Setidaknya sampai Pak Dudung datang, atau Pak Nasrun yang begitu watados duduk dan memperhatikan. Dulu kita masih menyimpan sendiri sebuah nama di memori khusus ingatan kita. Tanpa suara, ataupun hanya sekedar bisik-bisik. Mungkin karena terlalu malu. Tapi sekarang muka kita sudah cukup tebal untuk meneriakkan sebuah nama, memamerkannya, dan setelahnya, kita merasa bangga.
Sekarang asrama sudah terlalu ribut dengan kata-kata jadian, kabogoh, nembak, ditolak, dan lingkup love lainnya. Sedikit demi sedikit kita mulai mengatur strategi dan mewaspadai wilayah danger meeting, memilih waktu yang cocok untuk nge-date,sampai perencanaan pulang bareng. Kita sudah memasuki daerah terlarang, meski mungkin tak terlalu kriminal. Tapi darisanalah kita belajar dan mengetahui banyak hal: dari tempat yang bersinyal cukup kuat, menghemat uang jajan, belajar untuk tidak nervous, sampaipada psikologi seseorang: tentang perasaan putera dan puteri, tanda-tanda seseorang jatuh cinta, strategi pede-kate untuk mendapat hati seseorang, dan banyak hal besar lain.
Setelahnya, walau tak pernah kita sadari, kita tumbuh begitu dewasa, sudah begitu mandiri bahkan dalam berpacaran. Kau, aku, mereka, semua senang dengan saling menitipi salam, berkirim surat, sms, menelefon, berbagi cerita, dan semua yang selama ini telah membuat kita bersatu, saling mengerti. Kita telah melewati banyak proses. Sangat panjang.
Tapi ini tak sesederhana sebuah telenovela yang begitu saja menghilang dari obrolan pagi hari di halaman rumah setelahnya datang trelenovela lain yang lebih menjanjikan. Ini bukan cerita yang mudah lenyap. Kita tak hanya berkirim surat yang bertahan sebulan dua bulan saja, atau sms yang kadang tak terkirim, tak bisa membalas karena pulsa habis, juga jadian begitu saja putus ketika sudah merasa ”bosan”. Kita telah menyimpan sesuatu yang lebih selama ini. Surat-suratku padamu, makanan yang sering kali kau titipkan pada adik kelas, bantuanmu, kerja sama, bahkan ketika kita berperang sekalipun. Ku kotori kelasmu dengan lumpur, lalu kau soraki aku jika melewatimu, ”Hu...”.
Kita tak setiap hari bertemu. Kau tak pernah membangunkanku, hingga akhirnya sebuah sajadah mendarat di tubuhku. Kau tak pernah meminjamkanku piring, hingga Mak Dapur pergi, dan ku tak makan. Akupun begitu, padamu. Tapi sebenarnya kita ingin. Kau tak rela melihatku dipanggil dan dihukum, kau marah jika ku diganggu, kau ingin ku senang, akupun begitu.
Sekarang kita sudah satu hati, karena kemarin kalian juga menangis, sama seperti ku. Untuk semua kebersamaan dan persahabatan. Karena walaupun pembina kita berbeda, asrama kita jauh, kita adalah satu, menjalani hari yang sama.
Kau tak rela aku keluar, begitupun denganku. Kita ingin selalu bersama, membuat acara hebat lagi, meeting di bawah aula lagi, berkirim surat lagi. Tapi ini tak mungkin. Kau telah bersedia berpisah denganku saat pertama kali kita bertemu. Saat kau pertama kali menyalamiku. Saat dulu kau jadian denganku. Kita tak bisa berbuat apa-apa.
Atau jika kau bukan pacarku. Kita tak pernah jadian, kau tak pernah menyalamiku, memberiku gorengan dari pengkolan, jalan berdua, surat-suratan, juga menelfon dengan kata-kata romantis. Aku tak cinta kau, kau juga tak mencintaiku. Tapi ku tak ingin kau keluar, pergi dariku.
Aku ingin kita terus bersama, kau menitipi salam, dan ku menyampaikannya. Menyuruhku memanggil seseorang untuk meet, curhat tentang pacarmu, sahabatan, membuat acara hebat lagi, seperti dulu. Tapi sudahlah, kita memang tak bisa selalu begitu. Kau harus pergi, dan ku tetap disini. Atau sebaliknya. Masih banyak hal yang harus kita lalui.
Aku tak memberimu kenang-kenangan, ucapan selamat tinggal, menangis untukmu atau apapun, kau juga begitu.
Tapi ku tahu, kita telah berbagi banyak hal lebih. Karena sekarang ku tak lagi menundukkan kepala dan berpaling jika melihatmu, kau tak lagi menganggapku orang lain.
Kita tetap bersahabat, ku mengingatmu dan kau mengingatku.
Terima kasih FRIEND, jangan lupakan aku.
Sahabatmu,
SMART26
Bagaimana ujian Nahwu kemarin? Apa kalian juga membuat tanda tanya besar di lembar jawab? Atau sama-sama lieur dan mengutuk soal dengan berpuluh kata MUNADA disana? Atau mungkin lebih baik. Entahlah, bukan itu yang kita ingin bicarakan sekarang.
Aku tak begitu tahu tentang lingkup hari kalian. Kita tak hidup satu asrama, kau disana, dan ku disini. Pembina kalian perempuan, dan pembinaku laki-laki. Kelasku berlantai keramik, kelas kalian tidak. Kalian sering dipuji guru-guru, sedang aku diserapahi. Apa yang kalian lakukan ketika pertama kali masuk? Menangiskah? Bagaimana pembina kalian, kapan kalian biasa tidur malam, bagaimana tanggapan kalian tentang menu makan, siapa santri putera terganteng menurut kalian? Hm.. ku tak banyak mengerti, kalian jauh lebih tahu. Lantas, apa yang harus ku tulis? Dari mana kita mulai? Entahlah, tapi setidaknya, ada banyak cerita yang telah kita buat.
Dulu kita masih sangat malu-malu, meski sebenarnya ingin bersama berkenalan, ngobrol, tertawa, dan melakukan banyak hal layaknya seorang teman. Ku menyembunyikannya, mengatakan tak ingin, bersama orang-orang yang juga begitu. Bahkan mungkin orang yang membawa cap dan mengkampanyekan diri sebagai orang ter-JM juga menyimpan keinginannya dan menyulapnya menjadi rasa malu yang amat besar, sim salabim! Tapi itu hanya proses, karena sekarang kita sudah mempunyai cukup adrenalin untuk meeting di bawah aula, di Bu Apip, atau di depan rumah Bu bacih. Setidaknya sampai Pak Dudung datang, atau Pak Nasrun yang begitu watados duduk dan memperhatikan. Dulu kita masih menyimpan sendiri sebuah nama di memori khusus ingatan kita. Tanpa suara, ataupun hanya sekedar bisik-bisik. Mungkin karena terlalu malu. Tapi sekarang muka kita sudah cukup tebal untuk meneriakkan sebuah nama, memamerkannya, dan setelahnya, kita merasa bangga.
Sekarang asrama sudah terlalu ribut dengan kata-kata jadian, kabogoh, nembak, ditolak, dan lingkup love lainnya. Sedikit demi sedikit kita mulai mengatur strategi dan mewaspadai wilayah danger meeting, memilih waktu yang cocok untuk nge-date,sampai perencanaan pulang bareng. Kita sudah memasuki daerah terlarang, meski mungkin tak terlalu kriminal. Tapi darisanalah kita belajar dan mengetahui banyak hal: dari tempat yang bersinyal cukup kuat, menghemat uang jajan, belajar untuk tidak nervous, sampaipada psikologi seseorang: tentang perasaan putera dan puteri, tanda-tanda seseorang jatuh cinta, strategi pede-kate untuk mendapat hati seseorang, dan banyak hal besar lain.
Setelahnya, walau tak pernah kita sadari, kita tumbuh begitu dewasa, sudah begitu mandiri bahkan dalam berpacaran. Kau, aku, mereka, semua senang dengan saling menitipi salam, berkirim surat, sms, menelefon, berbagi cerita, dan semua yang selama ini telah membuat kita bersatu, saling mengerti. Kita telah melewati banyak proses. Sangat panjang.
Tapi ini tak sesederhana sebuah telenovela yang begitu saja menghilang dari obrolan pagi hari di halaman rumah setelahnya datang trelenovela lain yang lebih menjanjikan. Ini bukan cerita yang mudah lenyap. Kita tak hanya berkirim surat yang bertahan sebulan dua bulan saja, atau sms yang kadang tak terkirim, tak bisa membalas karena pulsa habis, juga jadian begitu saja putus ketika sudah merasa ”bosan”. Kita telah menyimpan sesuatu yang lebih selama ini. Surat-suratku padamu, makanan yang sering kali kau titipkan pada adik kelas, bantuanmu, kerja sama, bahkan ketika kita berperang sekalipun. Ku kotori kelasmu dengan lumpur, lalu kau soraki aku jika melewatimu, ”Hu...”.
Kita tak setiap hari bertemu. Kau tak pernah membangunkanku, hingga akhirnya sebuah sajadah mendarat di tubuhku. Kau tak pernah meminjamkanku piring, hingga Mak Dapur pergi, dan ku tak makan. Akupun begitu, padamu. Tapi sebenarnya kita ingin. Kau tak rela melihatku dipanggil dan dihukum, kau marah jika ku diganggu, kau ingin ku senang, akupun begitu.
Sekarang kita sudah satu hati, karena kemarin kalian juga menangis, sama seperti ku. Untuk semua kebersamaan dan persahabatan. Karena walaupun pembina kita berbeda, asrama kita jauh, kita adalah satu, menjalani hari yang sama.
Kau tak rela aku keluar, begitupun denganku. Kita ingin selalu bersama, membuat acara hebat lagi, meeting di bawah aula lagi, berkirim surat lagi. Tapi ini tak mungkin. Kau telah bersedia berpisah denganku saat pertama kali kita bertemu. Saat kau pertama kali menyalamiku. Saat dulu kau jadian denganku. Kita tak bisa berbuat apa-apa.
Atau jika kau bukan pacarku. Kita tak pernah jadian, kau tak pernah menyalamiku, memberiku gorengan dari pengkolan, jalan berdua, surat-suratan, juga menelfon dengan kata-kata romantis. Aku tak cinta kau, kau juga tak mencintaiku. Tapi ku tak ingin kau keluar, pergi dariku.
Aku ingin kita terus bersama, kau menitipi salam, dan ku menyampaikannya. Menyuruhku memanggil seseorang untuk meet, curhat tentang pacarmu, sahabatan, membuat acara hebat lagi, seperti dulu. Tapi sudahlah, kita memang tak bisa selalu begitu. Kau harus pergi, dan ku tetap disini. Atau sebaliknya. Masih banyak hal yang harus kita lalui.
Aku tak memberimu kenang-kenangan, ucapan selamat tinggal, menangis untukmu atau apapun, kau juga begitu.
Tapi ku tahu, kita telah berbagi banyak hal lebih. Karena sekarang ku tak lagi menundukkan kepala dan berpaling jika melihatmu, kau tak lagi menganggapku orang lain.
Kita tetap bersahabat, ku mengingatmu dan kau mengingatku.
Terima kasih FRIEND, jangan lupakan aku.
Sahabatmu,
SMART26
The Last Step, SMART 26
Dalam sebuah penjara suci, bersama menanti waktu
Mau kemana sekarang? SMA Negeri, SMK, atau terus di DA? Huh..., akhinya ini sudah selesai. Simpan saja semua frustasi itu, karena sekarang kita tak lagi harus memikirkan ujian, pembina yang garang, suara kaca yang bising ketika waktu sholat tiba, sajadah yang tiba-tiba membuyarkan mimpi, atau tempelengan yang siap mendarat kapan saja ketika lengah. Karena sekarang kita sudah tinggal di asrama lain, di kelas lain, di kehiupan lain.
Tak terasa, tiga tahun sudah kita habiskan untuk semua ini. Merasakan kehidupan baru, menghembuskan berjuta nafas, dan tumbuh bersama di DA yang sekarang menjadi rumah kita, walau sering kali kita berontak, “Uh, boring euy, hayang kaluar!”
Asrama yang terkadang hanya berlampu satu setelah yang lainnya pecah oleh bola basket, kelas yang seakan berganti fungsi menjadi tempat tidur, mesjid, aula dan semua yang ada di pondok dengan ciri khasnya masing-masing kini telah membawa kita pada banyak hal. Ditampiling pembina, bolos sekolah bersama untuk nongkrong di pojok, gigitaran, atau nyumput di lemari ketika pembina ngagiring ke asrama. Ha, ha, kita bersama mengutuk semua itu, tapi tak bisa kita sangkal, kita tumbuh bersamanya. Bersama semua hal yang kadang membuat kita lieur dan stress setengah mati.
Tiga tahun bersama disini, bukan waktu yang sedikit. Dulu kita memulai perjalanan panjang ini dengan sama-sama menitikkan air mata. Semua merasa kesepian, setelahnya tak ada lagi belaian hangat ibu, padahal malam begitu dingin. Tak ada lagi tawa ayah yang bersahabat, padahal malam begitu sepi. Kita merasa bosan dan tak bernafsu untuk menyentuh makanan yang sengaja dibeli dari super market, kita merasa sendiri. Dan akhirnya, seseorang menyembunyikan wajahnya di balik bantal, dua orang, tujuh orang, sepuluh orang, sampai semuanya, menangis: tanda rindu pada rumah, tanda sedih, tanda berontak, dan bahwa kita masih seorang anak kecil yang manja dan cengeng.
Tapi setelahnya kesal dengan hanya menutupi mata yang basah dan wajah yang pucat, kita ingin mencari suasana baru yang lebih baik. Sejak itu, mulailah kita berkenalan, curhat, walau dengan sekedar mengatakan: ”Urang leweh euh”. Sehari kemudian kita mulai mengobrol layaknya seorang teman, memberi sabun cuci piring yang dibungkus dengan plastik penggaris setelah selesai makan malam, barteran jeruk dengan Yakult, ku tersenyum, lalu kau membalasnya. Dua hari kemudian kita mulai berbuat jail dengan mengoleskan belsem pada teman lain yang sudah tidur, setidaknya sampai dia bangun dan menyerapahi kita, atau kadang membalas di malam berikutnya. Seminggu kemudian kita mulai berkelahi, mempersoalkan ini-itu, pabelik-belik. Dan sebulan kemudian kita pulang bersama, duduk di bis berdua.
Dulu semua masih terlalu kecil sehingga harus comel kepada pembina ketika ada yang nyarekan, ketika merasa tak aman, dan terlalu banyak alasan untuk melampiaskan kekanak-kanakan kita. Tapi kita terus menjalani hari itu: dijajah kakak kelas, meminjamkan uang walau tak jelas kapan kembalinya (atau kadang tidak kembali sama sekali), mengeluh dengan menu sarapan (hari gini makan cuanki?), dan semua yang entah dimana ujungnya. Tapi dari sanalah hidup kita yang sebenarnya dimulai, dari sanalah segala perubahan terjadi. Sedikit demi sedikit kita tak lagi mempermasalahkan piring yang tak dikembalikan kakak kelas yang terkadang kita temukan di pojok, di tong sampah dan di sembarang tempat lain. Atau gayung yang hilang dan tiba-tiba sudah hancur di atap WC kontes, sendal baru yang raib tanpa jejak di bawah kasur, dan hal lain yang kemudian kitalah yang melakukannya.
Sekarang kita sudah dewasa, tak lagi cengeng seperti ketika ditinggal orang tua dulu. Sekarang kita lebih senang mandiri dan membawa wajah ceria ketika sampai di pondok. Kita ceria dengan berebut sebungkus tahu sumedang, seplastik kacang rebus atau makanan lainnya yang jauh berbeda dengan cemilan di rumah. Kita senang dengan menjalani kehidupan ini: kelaparan di malam hari, meminjam uang teman karena bekal bulanan telah habis, dimarahi guru dengan tidur di kelas karena malamya main ping pong sampai larut, dan banyak hal lainnya.
Sampai pada suatu senja yang begitu suram...
Kemarin kehidupan sampai pada sudut 360 derajat dari rotasinya. Kita menitikkan air mata dan berteriak kembali, karena semua telah berakhir. Selama tiga tahun ini. Kita meratap dan tersedu-sedu seperti dulu, bahkan lebih keras. Tapi semua karena kita sudah bukan anak mama papa yang manja dan cengeng lagi, dan kita harus menangis, benar-benar menangis.
Setelah sama-sama membuat tanda tanya besar di lembar jawab ujian Ilmu Nawu, ku bertanya padamu.
”Maneh kaluar teu?”
”Heeuh, urang kaluar.”
Lalu ku menangis, kau juga.
”Hampura heeuh, urang sok jail ka meneh, urang sok nyarekan maneh, sok nyarekan bapa maneh, sok nyieun nyeri hate maneh...”
”Heeuh, urang oge, hampura nya, tong poho ka urang... urang masih teu rido maneh kaluar, hiks, hiks...”
Kita berpelukan satu sama lain, membludakkan kesedihan dan penyesalan dalam tangis dan teriak.
Kemudian semua keluar kelas bersama dengan sisa air mata yang membuat wajah pucat, bahkan sebagian masih menangis.
Dalam detik-detik terakhir, kita nga-HIT bersama di pinggir asrama HIT Menyoraki orang yang lewat, menyalami guru-guru, foto-foto, dan tertawa bersama. Mungkin karena kita sudah menjalani semuanya, dan yang lain belum.
Lalu semua kenangan ini memuncak dengan The Next Study Practice yang hebat. Menggigil di puncak, ngadugem di dalam bis, pacarekan-carekan, nonton bareng, observasi di TMII (walau mungkin kita sudah menggantinya dengan waktu caper abiz), dan menghabiskan perjalanan yang menyenangkan, sehari penuh. Seragam SMART Dua Genep yang keren, PIN dan ID card, dan semua yang telah kita buat.
Sampai ketika malam sudah begitu menyelimuti perjalanan pulang,
”Urang tiheula heueuh,”
”Naha, maneh moal ka Garut heula?”
”Moal siganamah.”
”Ah, atuh bal, malam terakhir di DA.”
”Sorry...”
”Bal, jangan lupa,tanggal 26 ke DA, ya!”
“Heueuh.”
Sekarang sebagian telah keluar, bebas dari penjara suci–begitulah orang-orang bilang–. Bebas dari keluhan-keluhan tentang jadwal belajar yang memaksa untuk membuka selimut jam setengah lima, karena kita sudah harus belajar dan memulai hari ini, beberapa jam lebih cepat dari anak SMP lain. Merelakan waktu main Persib untuk pelajaran Bahasa Indonesia, dan waktu santai malam untuk menggeluti buku-buku yang sering kali membuat kita berteriak, “Euh, jangar euy...!!!”
Tapi percayalah, bagaimanapun kehidupan baru nanti, suatu saat, di hari seperti ini, kita akan sama-sama kangen pada semua cerita ini. Kita ingin kurawa lagi, ingin babaledogan di kelas lagi, ingin main bola di lapang basket lagi, ingin pacarekan-carekan lagi, ingin ngadugem di asrama untuk melepas ke-jangar-an lagi, ingin bertemu dan ingin hidup bersama lagi. Dan percayalah, “This story hasn`t finished yet, and never!”
Banyak hal yang sudah kita lakukan, dan terlalu panjang untuk mengisi tulisan ini. Huh, biarlah, semua menjadi kenangan kita bersama, sangat indah. Hanya kita yang merasakan, hanya kita yang tahu. Karena ini buknlah kata, yang dapat mengalir dalam bahasa. Ingat, hanya kita yang tahu.
”Kawan, lihatlah, kau menangis, menangisiku ketika ku hendak pergi. Kau memelukku, mengatakan sesal dan harap yang belum pernah ku dengar langsung dari ucapmu. Selama ini. Biarlah, kali ini senja memisahkan kita. Simpan tangismu kawan, sekarang tersenyumlah, karena kita sama-sama berharap, kita menunggu senja lain yang masih menyediakan ruang untuk kita. Suatu hari nanti, bersama seperti ini lagi. Simpan semua kenangan ini kawan, jika besok atau lusa kau kangen padaku, pandangi ia, aku hadir disana. Kawan, yakinlah, kita masih punya hari seperti ini. Ini belum berakhir, dan tak akan pernah”.
Mau kemana sekarang? SMA Negeri, SMK, atau terus di DA? Huh..., akhinya ini sudah selesai. Simpan saja semua frustasi itu, karena sekarang kita tak lagi harus memikirkan ujian, pembina yang garang, suara kaca yang bising ketika waktu sholat tiba, sajadah yang tiba-tiba membuyarkan mimpi, atau tempelengan yang siap mendarat kapan saja ketika lengah. Karena sekarang kita sudah tinggal di asrama lain, di kelas lain, di kehiupan lain.
Tak terasa, tiga tahun sudah kita habiskan untuk semua ini. Merasakan kehidupan baru, menghembuskan berjuta nafas, dan tumbuh bersama di DA yang sekarang menjadi rumah kita, walau sering kali kita berontak, “Uh, boring euy, hayang kaluar!”
Asrama yang terkadang hanya berlampu satu setelah yang lainnya pecah oleh bola basket, kelas yang seakan berganti fungsi menjadi tempat tidur, mesjid, aula dan semua yang ada di pondok dengan ciri khasnya masing-masing kini telah membawa kita pada banyak hal. Ditampiling pembina, bolos sekolah bersama untuk nongkrong di pojok, gigitaran, atau nyumput di lemari ketika pembina ngagiring ke asrama. Ha, ha, kita bersama mengutuk semua itu, tapi tak bisa kita sangkal, kita tumbuh bersamanya. Bersama semua hal yang kadang membuat kita lieur dan stress setengah mati.
Tiga tahun bersama disini, bukan waktu yang sedikit. Dulu kita memulai perjalanan panjang ini dengan sama-sama menitikkan air mata. Semua merasa kesepian, setelahnya tak ada lagi belaian hangat ibu, padahal malam begitu dingin. Tak ada lagi tawa ayah yang bersahabat, padahal malam begitu sepi. Kita merasa bosan dan tak bernafsu untuk menyentuh makanan yang sengaja dibeli dari super market, kita merasa sendiri. Dan akhirnya, seseorang menyembunyikan wajahnya di balik bantal, dua orang, tujuh orang, sepuluh orang, sampai semuanya, menangis: tanda rindu pada rumah, tanda sedih, tanda berontak, dan bahwa kita masih seorang anak kecil yang manja dan cengeng.
Tapi setelahnya kesal dengan hanya menutupi mata yang basah dan wajah yang pucat, kita ingin mencari suasana baru yang lebih baik. Sejak itu, mulailah kita berkenalan, curhat, walau dengan sekedar mengatakan: ”Urang leweh euh”. Sehari kemudian kita mulai mengobrol layaknya seorang teman, memberi sabun cuci piring yang dibungkus dengan plastik penggaris setelah selesai makan malam, barteran jeruk dengan Yakult, ku tersenyum, lalu kau membalasnya. Dua hari kemudian kita mulai berbuat jail dengan mengoleskan belsem pada teman lain yang sudah tidur, setidaknya sampai dia bangun dan menyerapahi kita, atau kadang membalas di malam berikutnya. Seminggu kemudian kita mulai berkelahi, mempersoalkan ini-itu, pabelik-belik. Dan sebulan kemudian kita pulang bersama, duduk di bis berdua.
Dulu semua masih terlalu kecil sehingga harus comel kepada pembina ketika ada yang nyarekan, ketika merasa tak aman, dan terlalu banyak alasan untuk melampiaskan kekanak-kanakan kita. Tapi kita terus menjalani hari itu: dijajah kakak kelas, meminjamkan uang walau tak jelas kapan kembalinya (atau kadang tidak kembali sama sekali), mengeluh dengan menu sarapan (hari gini makan cuanki?), dan semua yang entah dimana ujungnya. Tapi dari sanalah hidup kita yang sebenarnya dimulai, dari sanalah segala perubahan terjadi. Sedikit demi sedikit kita tak lagi mempermasalahkan piring yang tak dikembalikan kakak kelas yang terkadang kita temukan di pojok, di tong sampah dan di sembarang tempat lain. Atau gayung yang hilang dan tiba-tiba sudah hancur di atap WC kontes, sendal baru yang raib tanpa jejak di bawah kasur, dan hal lain yang kemudian kitalah yang melakukannya.
Sekarang kita sudah dewasa, tak lagi cengeng seperti ketika ditinggal orang tua dulu. Sekarang kita lebih senang mandiri dan membawa wajah ceria ketika sampai di pondok. Kita ceria dengan berebut sebungkus tahu sumedang, seplastik kacang rebus atau makanan lainnya yang jauh berbeda dengan cemilan di rumah. Kita senang dengan menjalani kehidupan ini: kelaparan di malam hari, meminjam uang teman karena bekal bulanan telah habis, dimarahi guru dengan tidur di kelas karena malamya main ping pong sampai larut, dan banyak hal lainnya.
Sampai pada suatu senja yang begitu suram...
Kemarin kehidupan sampai pada sudut 360 derajat dari rotasinya. Kita menitikkan air mata dan berteriak kembali, karena semua telah berakhir. Selama tiga tahun ini. Kita meratap dan tersedu-sedu seperti dulu, bahkan lebih keras. Tapi semua karena kita sudah bukan anak mama papa yang manja dan cengeng lagi, dan kita harus menangis, benar-benar menangis.
Setelah sama-sama membuat tanda tanya besar di lembar jawab ujian Ilmu Nawu, ku bertanya padamu.
”Maneh kaluar teu?”
”Heeuh, urang kaluar.”
Lalu ku menangis, kau juga.
”Hampura heeuh, urang sok jail ka meneh, urang sok nyarekan maneh, sok nyarekan bapa maneh, sok nyieun nyeri hate maneh...”
”Heeuh, urang oge, hampura nya, tong poho ka urang... urang masih teu rido maneh kaluar, hiks, hiks...”
Kita berpelukan satu sama lain, membludakkan kesedihan dan penyesalan dalam tangis dan teriak.
Kemudian semua keluar kelas bersama dengan sisa air mata yang membuat wajah pucat, bahkan sebagian masih menangis.
Dalam detik-detik terakhir, kita nga-HIT bersama di pinggir asrama HIT Menyoraki orang yang lewat, menyalami guru-guru, foto-foto, dan tertawa bersama. Mungkin karena kita sudah menjalani semuanya, dan yang lain belum.
Lalu semua kenangan ini memuncak dengan The Next Study Practice yang hebat. Menggigil di puncak, ngadugem di dalam bis, pacarekan-carekan, nonton bareng, observasi di TMII (walau mungkin kita sudah menggantinya dengan waktu caper abiz), dan menghabiskan perjalanan yang menyenangkan, sehari penuh. Seragam SMART Dua Genep yang keren, PIN dan ID card, dan semua yang telah kita buat.
Sampai ketika malam sudah begitu menyelimuti perjalanan pulang,
”Urang tiheula heueuh,”
”Naha, maneh moal ka Garut heula?”
”Moal siganamah.”
”Ah, atuh bal, malam terakhir di DA.”
”Sorry...”
”Bal, jangan lupa,tanggal 26 ke DA, ya!”
“Heueuh.”
Sekarang sebagian telah keluar, bebas dari penjara suci–begitulah orang-orang bilang–. Bebas dari keluhan-keluhan tentang jadwal belajar yang memaksa untuk membuka selimut jam setengah lima, karena kita sudah harus belajar dan memulai hari ini, beberapa jam lebih cepat dari anak SMP lain. Merelakan waktu main Persib untuk pelajaran Bahasa Indonesia, dan waktu santai malam untuk menggeluti buku-buku yang sering kali membuat kita berteriak, “Euh, jangar euy...!!!”
Tapi percayalah, bagaimanapun kehidupan baru nanti, suatu saat, di hari seperti ini, kita akan sama-sama kangen pada semua cerita ini. Kita ingin kurawa lagi, ingin babaledogan di kelas lagi, ingin main bola di lapang basket lagi, ingin pacarekan-carekan lagi, ingin ngadugem di asrama untuk melepas ke-jangar-an lagi, ingin bertemu dan ingin hidup bersama lagi. Dan percayalah, “This story hasn`t finished yet, and never!”
Banyak hal yang sudah kita lakukan, dan terlalu panjang untuk mengisi tulisan ini. Huh, biarlah, semua menjadi kenangan kita bersama, sangat indah. Hanya kita yang merasakan, hanya kita yang tahu. Karena ini buknlah kata, yang dapat mengalir dalam bahasa. Ingat, hanya kita yang tahu.
”Kawan, lihatlah, kau menangis, menangisiku ketika ku hendak pergi. Kau memelukku, mengatakan sesal dan harap yang belum pernah ku dengar langsung dari ucapmu. Selama ini. Biarlah, kali ini senja memisahkan kita. Simpan tangismu kawan, sekarang tersenyumlah, karena kita sama-sama berharap, kita menunggu senja lain yang masih menyediakan ruang untuk kita. Suatu hari nanti, bersama seperti ini lagi. Simpan semua kenangan ini kawan, jika besok atau lusa kau kangen padaku, pandangi ia, aku hadir disana. Kawan, yakinlah, kita masih punya hari seperti ini. Ini belum berakhir, dan tak akan pernah”.
Langganan:
Postingan (Atom)